Mohon tunggu...
Ahmad Iqbal Athok Illah
Ahmad Iqbal Athok Illah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

Pelajar SMAN 3 KOTA MOJOKERTO

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arti Hidup

21 Oktober 2024   09:14 Diperbarui: 21 Oktober 2024   09:38 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dika, seorang anak yany tinggal di tengah kota kecil yang sunyi. Suatu hari di bawah teriknya siang di sebuah taman dengan pepohonan rimbun dan bangku kayu, Dika duduk merenung. Ia memandangi sekelompok anak muda yang sedang tertawa, menikmati kebersamaan. "Nia, apa sih sebenarnya arti hidup?" tanya Dika, sambil melipat tangannya di belakang kepala.

"Wah, Dika. Kenapa kamu selalu berpikir terlalu dalam sih? Hidup ya hidup. Kita harus nikmati aja," jawab Nia sambil menggoyang-goyangkan kakinya.

"Enak aja, Nia. Mudah sekali bagi kamu. Semua orang tampak bahagia, tapi aku merasa kosong," Dika berkata, masih menatap ke arah teman-temannya.

"Gini deh," Nia mulai, "coba kamu lihat bunga di sini. Dia tidak tahu kenapa dia ada, tapi dia tetap mekar dan memberi keindahan. Kadang, kita tidak perlu tahu jawabannya."

Dika tersenyum setengah hati. "Tapi kan, bunga juga mati. Apa kita cuma hidup untuk mekar sebentar?"

"Bisa jadi. Tapi mungkin kita juga harus ingat bahwa keindahan itu tidak selalu bertahan lama. Yang penting, kita memberi warna pada hidup orang lain," Nia menambahkan.

---

Hari-hari berlalu, dan Dika merasa semakin terasing di sekolah. Di kelas, teman-temannya berbicara tentang mimpi dan rencana masa depan. "Dika, kamu mau kuliah di mana?" tanya Andi, teman sekelasnya.

"Entahlah. Mungkin... di tempat yang punya pemandangan bagus," Dika menjawab, mencoba bersikap santai.

"Kenapa enggak fokus ke jurusan yang menjanjikan? Kamu kan pintar!" Andi membalas.

Dika hanya mengangguk, tapi hatinya merasa berat. Mengapa semua orang tampak tahu arah hidup mereka, sedangkan dia hanya bingung?

---

Setelah kelas, Dika dan Nia berjalan pulang bersama. "Kamu harusnya lebih percaya diri, Dika. Tidak semua orang harus punya rencana hidup yang jelas," Nia menyemangati.

"Aku tahu, tapi kadang aku merasa seperti tersesat. Seolah-olah aku berputar-putar tanpa tujuan," keluh Dika.

Nia berpikir sejenak. "Mungkin kamu perlu waktu untuk menjelajah. Aku dengar ada hutan di pinggiran kota ini. Kenapa kita tidak pergi akhir pekan ini?"

---

Akhir pekan pun tiba. Dika dan Nia berangkat menuju hutan yang diceritakan. Setelah berjalan beberapa menit, mereka menemukan jalan setapak yang dikelilingi pepohonan tinggi. Suara burung berkicau menambah suasana ceria.

"Lihat, Dika! Betapa indahnya!" Nia berteriak. Dika tersenyum, merasakan kedamaian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Mungkin, di sinilah aku bisa menemukan jawaban," gumam Dika pelan.

---

Setelah berjalan cukup jauh, mereka berhenti di sebuah tebing kecil. Dari situ, mereka bisa melihat pemandangan yang luar biasa: hutan lebat, sungai mengalir, dan langit biru cerah.

"Nia, kadang aku merasa kita hanyalah debu di alam semesta ini. Seberapa pentingkah kita?" Dika bertanya dengan serius.

"Dika, setiap debu punya perannya masing-masing. Kita bisa menjadi penting bagi orang lain, meskipun kita kecil," jawab Nia.

Sementara mereka berbincang, tiba-tiba mereka melihat seorang kakek tua mendekati mereka. "Apa yang kalian bicarakan, anak-anak?" tanyanya sambil tersenyum.

"Kami... sedang mencari arti hidup," jawab Dika ragu-ragu.

Kakek itu tertawa kecil. "Ah, pertanyaan yang berat. Tapi, kadang jawaban ada di tempat yang tidak kita duga."

"Bagaimana kakek bisa tahu?" Nia penasaran.

"Kakek telah menghabiskan banyak waktu di sini. Alam mengajarkan saya banyak hal. Kadang kita perlu berhenti mencari dan mulai merasakan," kata kakek itu sambil menunjuk ke arah pohon besar di dekat mereka.

"Rasakan? Maksudnya?" Dika bertanya.

"Coba peluk pohon itu. Rasakan getaran hidupnya," kakek itu mendorong.

Dengan ragu, Dika mendekati pohon itu dan memeluk batangnya. Ia terkejut merasakan kehangatan dan getaran lembut. "Wow, ini aneh... tapi nyaman," ujarnya sambil tersenyum.

Nia bergabung dan ikut memeluk. "Kakek, apa maksudnya?" tanyanya.

"Pohon ini tidak bertanya mengapa ia ada. Ia hanya tumbuh, memberi oksigen, dan menjadi rumah bagi banyak makhluk. Hidup juga bisa sederhana seperti itu," kakek menjelaskan.

Setelah percakapan itu, kakek mengajak mereka untuk duduk di tepi sungai. "Hiduplah seperti air. Mengalir, tanpa terlalu banyak berpikir. Temukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil," nasihat kakek.

Dika merenung. "Tapi bagaimana jika kita salah arah?" tanyanya.

"Tidak ada arah yang benar atau salah. Yang penting adalah perjalanan itu sendiri," jawab kakek sambil tersenyum.

Mereka menghabiskan waktu berjam-jam mendengarkan cerita kakek tentang kehidupannya. Kakek itu menceritakan pengalamannya, kegagalan, dan bagaimana ia menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana.

"Sejak itu, kakek belajar bahwa kita tidak perlu mengerti segalanya untuk menikmati hidup. Kita hanya perlu merasakannya," tutup kakek dengan bijak.

Setelah kakek pergi, Dika dan Nia duduk diam di tepi sungai. Dika merasa hatinya lebih ringan. "Nia, aku merasa... aku bisa mulai memahami sedikit demi sedikit."

"Bagus! Kadang kita perlu mendengar dari orang lain untuk menemukan jawaban kita sendiri," jawab Nia, bersemangat.

---

Malam pun tiba, dan mereka memutuskan untuk pulang. Dika merasa bersemangat. "Aku ingin mulai menulis lagi. Mungkin aku bisa mengekspresikan apa yang kutemukan hari ini."

"Bisa jadi sebuah blog atau jurnal. Siapa tahu, banyak orang yang juga mencari jawaban yang sama," Nia mendorong.

Keesokan harinya, Dika mulai menulis. Setiap kata yang ia tulis terasa seperti langkah kecil menuju pemahaman. "Kehidupan bukan tentang menemukan jawaban, tapi tentang merayakan perjalanan," tulisnya dalam jurnalnya.

---

Di sekolah, Dika mulai berbagi pemikirannya dengan teman-temannya. "Kalian tahu, hidup itu seperti perjalanan. Terkadang kita tersesat, tapi itu yang membuatnya menarik," ujarnya saat istirahat.

"Andaikan semua orang berpikir seperti kamu, Dika. Hidup jadi lebih asyik!" kata Andi dengan senyuman.

Dika tersenyum. Mungkin, ia tidak sendiri dalam perjalanan ini.

Semakin lama, Dika merasa lebih percaya diri. Ia mulai berani berbicara di depan kelas, menyampaikan pemikiran dan pandangannya tentang kehidupan. "Kita semua punya cerita, dan setiap cerita itu berharga," katanya di hadapan teman-teman sekelasnya.

---

Suatu hari, Nia menanyakan, "Jadi, apa rencanamu selanjutnya, Dika?"

"Entahlah. Mungkin aku akan belajar lebih banyak tentang hal-hal yang membuatku penasaran. Dan tentu saja, menulis lebih banyak," jawab Dika.

"Kalau begitu, aku dukung kamu!" Nia tersenyum.

Dika merasakan dukungan itu, dan itu membuatnya merasa lebih kuat. Ia mulai aktif mengikuti berbagai kegiatan di sekolah dan komunitas. Ia bahkan menjadi anggota klub sastra, tempat ia bisa mengekspresikan diri dan belajar dari orang lain.

---

Beberapa bulan kemudian, saat duduk bersama Nia di taman, Dika tersenyum lebar. "Nia, terima kasih sudah ada di sini. Aku merasa hidupku semakin berarti," ucapnya tulus.

"Aku senang kamu menemukan jalanmu, Dika. Ingat, perjalanan ini masih panjang, dan aku akan selalu ada di sampingmu," balas Nia.

Dika menatap langit senja yang indah. Ia menyadari bahwa arti kehidupan adalah tidak hanya mencari arti kehidupan itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun