Anak Langit di Bantown.
Matahari siang di Kota Tangerang Bantown, tak pernah kompromi. Panasnya, selalu begitu. Menyengat. Selalu sama, aroma bakar panasnya cukup untuk membuat para pemakai jalan raya menjadi ngebut memacu roda kendaraannya, dan ingin segera sampai tujuan. Tak terkecuali aku. Dengan mengendarai Supra Fit Hitam kesayanganku, yang kudapatkan dari hasil kerja keras ayahku tercinta. Aku bergegas menuju kampus. Anak kuliah semester 5 sepertiku memang sedang asik-asiknya kuliah. Rajin datang ngampus tiap hari.
Maklumkanlah sobat. Untuk aktivis sepertiku dan juga seperti Junaidi, dan juga kak Hakim, kegiatan kami berjubel dan antri untuk dilakukan stiap hari diasamping tugas kuliyah. Namun Kami senang, “karena memang untuk itulah kita hidup, untuk berkarya, dan harus punya karya nyata, dan karya itu haruslah konkrit. Kita masih muda kawan, mari kita tanamkan rasa malu jika kita harus mengemis, baik pada oarangtua, maupun pada para pengguna jalan raya...”. Itulah kata-kata Kak Hakim didepan Tujuh bocah yang dibinanya di komunitas Anak Langit di bantaran sungai Cisa done dekat kampus kami.
Saat aku sedang menuju tempat Komunitas anak Langit di sore itu, trafic line lalulintas didepanku melototkan matanya kearahku. Lampu merah. Sebagai pengendara yang baik, aku ikuti peraturan yang ada. Kuhentikan motorku tepat di belakang marka jalan. Aku berhenti di perempatan Jalan Perintis UMT. Salah satu perempatan padat di Jalan Kalipasir, tepi sungai Cisadane.
“Kak, minta uangnya Kak..” dua anak kecil menghampiriku dengan tatapan memelas.
Yang satu laki-laki, berbadan cukup lumayan besar, dan dekil sekira masih belasan umurnya. Sedang yang satunya lagi perempuan umur belasan juga, namun berperawakan lebih kurus dengan potongan rambut kriwil ala Rege band. Membuatku miris mendapaiti mereka saat begini.
Tak kubalas sapaan mereka. Aku hanya melambaikan tangan kosong. Sebuah isyarat bahwa aku tidak akan memberikan apa-apa dan menyuruhnya segera pergi.
Aku bukannya anti beramal. Aku suka beramal. Tapi ini masalah ideologi. Memberikan uang recehan pada anak-anak di jalanan adalah sebuah kesalahan. Dengan mudahnya kita memberikan uang kita, mereka akan mengira mencari uang itu adalah hal yang gampang dan tidak perlu perjuangan. Cukup minta sana-sini, maka uang akan muncul sendiri. Jika mental itu terbawa sampai mereka dewasa, bukankah negeri Bantown ini akan semakin terpuruk?
Jika memiliki uang lebih, bukankah lebih aman wal manfaat?, jika kita sumbangkan pada panti atau rumah singgah saja, atau dinas sosial?. Untuk selanjutnya, uang itu digunakan mengurusi anak-anak jalanan agar lebih memiliki masa depan. Sebagaimana yang aku bersama kawan-kawan kak Hakim lakukan. Mengorganisir mereka dalam sebuah komunitas. Komunitas Anak Langit Bantown kami beri nama.
***
“Eh kang, Hoy.. kang, eh... neng... sini, apa kalian tau Komunitas anak langit?” panggil seorang Mahasiswa bermotor vespa diego jadul, pada serombongan pengamaen di jalan Perintis, yang sedang berteduh di musholah taman kota.
Seorang mendekat, namun yang lain cuek seolah tak hirau saja.
“Tau kak, itu dekat komplek pemakaman cina disana, Tanah Gocap, setelah jembatan sungai Cisa done itu...”
Si lelaki pengamen menunjuk ke sebelah barat dari jalan raya.
“Tolong antarkan saya, mau? Ya... nanti saya kasih ongkos...”
“Siiipp... bonceng ya Kak?”
Sang Mahasiswa mengangguk, lantas melecut sela vesva bututnya beberapa kali, vespa mengepulkan asap putih bercampur hitam, Glutaak! masuk gigi... grrruuuungg... merekapun meluncur kearah yang dimaksud.
Tanpa di undang mereka menyergap. Serombongan trantib tiba-tiba saja datang, mengejar serombongan lelaki dan wanita gepeng[1] yang tadi ada bersama si lelaki pengamen, yang kini lebih beruntung itu, ia telah pergi bersama mahasiswa penunggang vesva. Mereka para gepeng, spontan pada berhambur. Kabur lari terbirit. Mabur begitu saja.... tak tertangkap jejak mereka. Menyelinap dibalik klakson dan ingar bingar kendaraan... mereka hilang seperti angin kaget..., dan para trantib pun berhenti menyergap, lantas pergi mengejar target lain dijalan lain...
“Untung saya mau mengantar Kakak ya, coba jika tidak? saya pasti sudah diciduk trantib, makasih ya kak...?
“Iya, panggil saya Jun.. Junaidi.”
“Iya kak Jun...” katanya kemudian, “Ah.. Iya, Kak Junaidi!, ngomong-ngomong ada apa kakak menanyakan komunitas Anak Langit?”. Tanya lelaki pengamen diatas vesva Junaidi yang sedang meluncur.
“Oh... ini saya mau ketemu dua orang kawan saya, sedang ada pelatihan menjahit disana katanya, saya diundang untuk berbagi pengalaman...
“Sebenarnya saya salah satu anggota komuniotas Anak Langit lho kak....?”
“Wah kebetulan ya, siapa namamu?”
“Hee, iya, namaku Saglik kak!... kakak pasti mau ketemu Kak Hakim dan Kak tazkiya, kan?”
Tidak lama mereka tiba ditempat yang dituju, di bantaran tepi sungai cisa done, nampak di kejauhan ada saung bambu yang lumayan tertata.. ada sekelompok orang yang sedang guyub disana... di komunitas anak langit.
***
Didalam saung bambu yang terbuka. Berkumpul lah mereka para Aktivis dan anggota komunitas Anak Langit... Ada seorang pria yang berkaos abu-abu sedang berdiri di tengah yang lainnya, sementara dibelakangnya ada sebuah kanvas lukisan, berukuran kira-kira satu kali satu setengah meter, yang sedang ditunjuk-tunjuknya. Dalam formasi setengah lingkaran... pria itu sedang berpuisi? Entah sedang bercerita dia itu... atau entah apa?
Disisi lain, ada Jun yang baru saja datang bersama bocah yang kukenal sebagai salah satu anggota komunitas ini juga, mereka tak segera masuk, karena tak ingin mengganggu suasana mungkin?
“Sebagai seorang mantan gelandangan aku mengenal hampir tiap inci kota ini. Mulai dari gedung balai kota yang mewah, sampai kepada sudut perkampungan yang kumuh dan kotor. Mulai dari taman kota yang indah, sampai kepada tempat pembuangan akhir yang jorok dan busuk. Aku hafal semua itu, seperti hafalnya aku pada bau keringat ditubuhku sendiri,” kemudian lanjutnya....
“Tapi kali ini, dalam tarian kanvas senjaku, aku ingin menceritakan sebuah tempat yang mungkin tak pernah terbayang, bahkan dalam mimpi kalian sekalipun. Tempat itu bernama Bantown.”
“Kisah ini rahasia dalam rahasia. Kisah ini, Awalnya hanyalah sebuah cerita dari mulut ke mulut sesama kaumku. Lalu ibarat bangkai tikus di tong sampah yang baunya menguap ke udara, berita ini lantas menyebar tak terkendali, meluas di kalangan kami semua. Tapi anehnya hanya kami, atau setidaknya hanya aku, orang yang mau repot-repot ambil pusing mengenai hal rahasia itu.” Kata laki-laki berkaos abu-abu itu, lalu sebentar ia terdiam...
“Ayoo.. dilanjutkan ceritanya bang Samboja.”... pinta mereka serempak pada laki-laki berkaus abu-abu yang ternyata bernama Samboja itu.
Hakim dan Tazkiya terlihat mengangguk, tangan kanan Hakim kemudian terangkat setinggi bahu, menyapa dua pendatang baru disaung ini, menyilahkan mereka duduk membaur, sambil terus menyimak Samboja yang sedang menyambung cerita di balik lukisannya lagi. Junaidi lantas duduk dan tersenyum pada semua yang hadir, termasuk pada Tazkiya.
“Sudahlah urus saja urusanmu Kang. Orang gelandangan lain saja tidak ada yang mau ambil pusing!, kata pacar gembelku.” Lanjut Samboja meneruskan ceritanya.
“Mereka tidak ambil pusing karena mereka tidak tahu, O.. pacar cantikku!.” jawabku.
“Kata siapa mereka tidak tahu, lebih baik akang ngegelandang lebih giat. Katanya mau membelikan aku kalung.” Nasehat pacar gembelku kemudian!
“Memang susah bicara dengan gelandangan. Mungkin itulah sebab mereka dan aku tentunya, terus menggelandang, karena mereka tak mau repot-repot memikirkan hal lain. Atau bisa juga karena hanya sisa-sisa nasi dan ikan asin yang masuk ke perut mereka, sehingga otak mereka tak cukup bergairah untuk memikirkan hal yang lain.
Setelah merasa tak ada guna meminta nasihat dari pacar gembelku, akupun bertekad akan mengambil keputusan sendiri. Akan aku laporkan semuanya, sejelas-jelasnya. Siapa tahu? mereka percaya dengan mulut bauku ini. Tapi sebelumnya untuk kesekian kalinya, aku ingin memastikan terlebih dahulu, agar dapat menyusun laporan sebaik mungkin.
Aku ingat malam itu malam minggu, tempat itu pasti sepi. Kecuali saat itu ada satu dua pendosa yang berpikiran yang sama denganku, sehingga melakukan kekejiannya juga di saat itu.
Tempat itu sebenarnya hanyalah sebuah sudut pertemuan antara tembok belakang sebuah gedung dengan tembok pembatas taman kota. Dan aku rasa tempat itu tak terlalu tersembunyi. Bahkan aku yakin Pak Walikota pun sering lewat kemari jika ingin menyampaikan permohonannya pada Sang Khalik. Cuma ketika malam gelap, tempat yang lebih mirip sudut terkutuk itu terlihat sangat gelap dan menyeramkan. Entah kenapa tidak ada penerangan disana.
Ketika aku sibuk mereka-reka kalimat yang akan kulaporkan, tiba-tiba dari mulut gang muncul sepasang manusia. Ternyata mereka adalah sepasang calon pendosa baru. Berjalan mereka perlahan menuju tempat itu. Ketika sampai di pojok sudut, si lelaki muda mengamati keadaan. Melongok-longok ia. Lalu adegan sok dramatis tiba. Si wanita, yang tampak lebih muda dari lelaki itu, merengek-rengek dan menangis haru. Setelah dengan sedikit rayuan, akhirnya ia mau meletakkan sebungkus keranjang mungil itu di pojok sudut, lantas berlalu gontai.
Seakan mendapat inspirasi aku berusaha merekam semua kejadian itu dengan otakku yang pas-pasan. Berharap mampu untuk melaporkannya besok. Tiba-tiba lamunanku terhenti ketika pintu gedung belakang itu terbuka. Sesosok wanita keluar dari gedung itu dan memungut bingkisan itu. Mungkin karena kaget, yang di dalam bingkisan pun menangis. Dengan sigap wanita itu membawa bingkisan itu masuk. Entah sampai kapan ini berhenti.
Lalu aku kekantor polisi pagi-pagi sekali.
“Jadi begitu laporan anda?”
“Benar pak?”
“Baiklah kalau begitu, akan kami segera proses.”
“Terima kasih Pak”, ucapku bangga.
Lalu Ingin segera kutemui pacar gembelku dan mengatakan kalau ternyata di mata hukum gembel pun boleh bicara. Kepala polisi setengah baya yang berwajah tegas dan berwibawa itu adalah bukti nyata, bahwa masih ada yang peduli dengan ini semua.
Malamnya, entah mengapa aku ingin mengunjungi sudut sialan itu lagi. Aku berharap sepasukan polisi datang dan menangkap para pendosa yang tak bertanggung jawab disana. Tapi ternyata aku salah.
Di malam itu, seperti malam-malam yang lain, tetap ada saja pasangan terkutuk yang membuang buah cinta terlarang mereka di sudut laknat itu. Sebenarnya bagiku itu sudah biasa. Tapi yang membuat aku ngilu adalah ternyata malam itu si pendosa adalah seorang lelaki setengah baya yang berwajah tegas dan berwibawa yang aku temui tempo lalu.
Tapi mungkin pacarku benar, siapa mau peduli dengan ucapan yang keluar dari mulut gelandangan sepertiku.begitulah kronologi prosessku berubah yang kutuangkan dalam lukisan ini.
Lihatlah dalam lukisan ini, ada gelap temaram, ada lembayung senja, ada pak polisi, ada bekground gedung dan seorang ibu-ibu yang menangisi sebuah bungkusan. Dan di balik semak-semak disudut kanvas itu kkulukis sepasang mata merah perak, itulah mataku yang sedang mengintip, hehehe....
“Tapi itu dulu. Tidak sekarang.” Kata si kaos abu-abu yang bernama Samboja sang pelukis itu, dengan pandangan bersemangat.
Terdengar tepuk tangan meriah dari yang hadir dalam acara berbagi cerita itu.
“Sekarang Aku punya tekad kuat untuk berhenti menggelandang, aku akan terus belajar meningkatkan kualitas lukisanku, ditambah belajar keterampilan lain, seperti keterampilan menjahit di sore ini, di komunitas ini, yang dibina oleh Kak Hakim dan Kak Tazkiya di bantaran kali cisa done ini, setiap sabtu dan minggu sore. kak Hakim dan kak Tazkiya terima kasih sudah datang kemari, untuk mengajari kami keterampilan menjahit.”
Suasana disore itu meriah sekali. Lalu terdengar sambutan tepuk tangan lagi.... Setelah tepuk tangn reda, suasana disaung bambu itu lengang sejenak, karena suara Azan Ashar berkumandang dari arah Masjid kali pasir, masjid tertua dikpota Tangerang itu.
Setelah azan selesai. “Aku ingat pernah kak Tazkiya bercerita padaku disini, sebelum kami semua diajarkan menjahit secara kelompok. Kak Tazkiya menceritakan pengalamannya tentang pengemis, penjahat dan penjahit padaku, unik dah ceritanya.” Kata Saglik penuh inisiatif, memecah suasana, “Silakan kak Tazkiya bercerita lagi pada kami semua, jika tak keberatan?”
Terdengar tepuk tangan menyambut Tazkiya, tak lama kemudian langsung berdiri ditengah lingkaran... “Apa perlu saya cerita lagi?” tanya tazkiya pada,
Semua Anggota anak langit mengangguk setuju, banyak terlontar tatapan penasaran pada wajah mereka.
“Nah kawan-kawan, sebelum giliran saya bercerita, perkenalkan ini dia teman saya, Junaidi namanya, dialah orang yang akan membantu kita belajar keterampilan tepat guna lainnya, untuk tambahan bekal hidup kita. Kak Jun mulai sekarang Akan menjadi bagian dari keluarga kita disini. Maka.... karena sudah masuk Waktu Ashar kita jeda sholat dulu ya... nanti di imami oleh Kak Junaidi. Oekke,,,
Semua orang menoleh ke arah Junaidi. Lantas Junaidi tersenyum kepada semua yang menatapnya di saung bambu Anak Langit di sore itu. Lalu mereka bergegas berwudu, untuk sholat ashar berjamaah.
***
Setelah Sholat Ashar berjamaah selesai, mereka kembali duduk seperti formasi semula, setengh lingkaran. Kini tazkiya berada ditengah mereka....
“Baiklah,” kata Tazkiya, “Begini ceritanya:
“Saya—sedikit atau banyak—hidup bersama mesin jahit.” Tazkiya mulai bercerita di hadapan Hakim, Junaidi dan serombongan Anak langit.
“Waktu SD, saya dan kakak lelaki saya sering dibawa ke tempat usaha Jahitan oleh ayah, yang seorang tukang jahit. Bukan perjalanan wisata tentunya, karena hampir tiap hari kami dibawa ke tempat usaha itu.”
“Ya bukan perjalanan wisata namanya kalau dilakukan setiap hari mah Dek...”, respon Hakim. Junaidi terasenyum, melihat Tazkiya yang jadai agak gugup dikomen Hakim barusan.
“Ya... Itu memang semacam pembagian tugas antara Ibu dan Ayah, karena saat itu Ayahku belum punya Anak buah yang bisa membantu pekerjaan kami di rumah.” Kata Tazkiya mulai lancar ceritanya...
“Tiap hari kecuali hari Minggu, Saya menemani Ayah bekerja. Sedangkan kerjaan saya adalah bermain benang atau perca kain, saya atau kakak saya, suka tidur siang di kolong meja gunting. Meja gunting adalah sebutan Ayah untuk sebuah meja setinggi perut dengan panjang dua setengah meter, dan lebar satu meteran, yang digunakan Ayah untuk memotong kain. Di bawah meja itu tidak ada apa-apa selain sebuah ruang kosong yang muat untuk kami yang masih kecil-kecil tidur bersama deruman mesin potong kain dan deru mesin jahit yang dipacu untuk memproduksi ssepotong baju atau celana untuk segera dipasarkan”.
Ketika saya sedikit lebih besar, ketika kaki-kaki saya dan kakak saya mulai bisa menjangkau pedal mesin jahit dengan terampil, Ayah mulai mengajari kami menjahit. Sebuah aktivitas, yang kalau saya pikir-pikir, teramat mengasyikkan untuk anak kecil seusia kami.
Memasukkan benang ke lubang jahit, memutar pedal tangan, menginjak pedal kaki, alangkah menyenangkannya. Begitu pedal di injak, jarum jahit menghunjam lubang jahit turun-naik, menarik dan mengaitkan benang, menyambung-mengikat-menjerat dua sisi kain yang akhirnya bisa disatukan.
Setelah matang berlatih menjahit kain perca, Ayah menyuruh kami menunaikan tugas sungguhan pertama: menjahit bendera, pesanan sebuah sekolah untuk menyambut hari tujuh belasan. Menjahit bendera adalah bagian paling ringan dan paling kecil risikonya.” Terang Tazkiya, “tinggal menyambung dua helai kain dua warna, merah dan putih, melipat keempat sisinya, memberi tiga atau lima kain ikatan di salah satu sisinya, dan jadilah ia sebuah bendera.”
Hakim seksama mendengar teori menjahit bendera dari Tazkiya yang lancar mengungkapkan tehniknya itu.
“Di awal-awal bulan Juli seperti sekarang, beberapa minggu sebelum peringatan Hari Kemerdekaan RI, sudah banyak pelanggan yang datang mencari bendera, dan itu adalah masa-masa “bekerja” pula bagi saya dan kakak saya. Itu pulalah masa-masa kami mencari uang jajan tambahan, dengan keringat kami sendiri”.
Hakim, Junaidi, dan seluruh Anggota Anak Langit mengangguk kompak, dan terus memasang telinganya untuk mendengar penuturan Tazkia selanjutnya.
“Sedikit lebih besar lagi, saat duduk di kelas dua SMP (dan kakak lelaki saya di kelas tiga SMA), Ayah mulai menurunkan ilmu menjahitnya pada kami berdua lebih dalam lagi, mulai dari bagaimana memilih kain dan benang, bagaimana mengukur kemeja dan celana, bagaimana membuat pola, dan bagaimana memotongnya, dan mulai menjahitnya.
“Sebenarnya, menjahit itu dibagi ke dalam dua bagian kemahiran menjahit.” Jelas tazkiya lagi, “Pertama, kemahiran menjahit di lekuk potongan bahan. Kedua, kemahiran mengukur, membuat pola, dan memotongnya. Di antara dua kemahiran ini, ilmu kedualah memiliki tingkat kerumitan lebih tinggi. Ketika ingin jadi seorang penjahit, sipapun harus pandai terlebih dahulu menjahit dengan rapih. Kalau sudah mahir, baru akan diajari bagaimana cara mengukur, membuat pola, dan memotongnya. Paling tidak, seperti itulah yang diajarkan Ayah saya.
“Awalnya, saya dan kakak saya, melakukan pemberontakan kecil-kecilan terhadap upaya Ayah memaksa kami untuk mau belajar menjahit. Saya dan kakak saya tidak pernah bercita-cita jadi penjahit. Kami sudah cukup melihat betapa susahnya hidup dari profesi itu dijalani ayah kami itu. Dan, di antara saya dan kakak saya, sayalah yang paling kuat memberontak. Saya bilang pada Ayah, saya tidak punya bakat menjahit. Saya bilang, saya ingin jadi guru atau ahli di bidang hukum saja. Saya tidak ingin keluarga saya hidup susah kelak, sebagaimana susahnya ekonomi Ayah membesarkan saya dan keluarga.
Namun Ayah berkata, “Kalau kamu tidak mau menjadi penjahit, tidak mau menjadikan ini sebagai mata pencaharian, tak apa yang penting, anak seorang penjahit, dilarang jadi penjahat ya!!!” canda Ayah saya, kemudian lanjutnya, “Tapi paling tidak, saat kelak hidupmu tiba-tiba susah, tiba-tiba kau terjepit hidup, kau bisa menjadikan ilmu menjahit ini sebagai ban cadangan, sampai kesempitanmu hilang. Nah, Lebih baik jadi penjahit daripada jadi penjahat dengan alasan apapun, bukan?!” tanya Ayahku kemudian.
Kata-kata beliau itu ternyata lekat di kepala saya sampai hari ini. Dan satu lagi yang beliau pesankan pada saya dan kakak saya: “Meski nanti kalian insyallah sudah jadi orang kaya, milikilah sebuah mesin jahit di rumah. Pasti bahagia rasanya, bisa sesekali melihat anak-anak kalian kelak bisa memakai kemeja dan celana yang dijahitkan orangtua mereka sendiri. Atau jika tidak, bagilah ilmu menjahit warisan dari bapakmu ini, ajarilah orang yang tak punya keahlian dengan keterampilan menjahit yang kalian punya,agar mereka tidak memilih jadi pengemis jalanan karena alasan tidak sekolah dan kurang keterampilan kerja. Seperti sekawanan gepeng yang makin menumpuk saja ditiap sudut lampu merah kota ini. Percayalah pada Ayah, memberi keterampilan pada gepeng lebih mulia ketimbang melontarkan uang recehan pada mereka, meskipun kalian lakukan setiap hari seumur hidup.”
Kata-kata itu tak lantas langsung saya ikuti. Sampai sekarang, saat saya jauh dari orang tua, kalau ada keperluan memotong celana yang kepanjangan kakinya, atau baju yang terlalu longgar, saya pasti lari ke tukang jahit terdekat. Mengupah mereka untuk mengerjakan sesuatu yang sebenarnya sudah saya kuasai sejak saya masih kecil.
Sementara kakak saya, setelah berlika-liku mencari peruntungan dengan ijazah sarjananya, akhirnya memutuskan untuk menjadi penjahit juga seperti Ayah, tentu saja dengan skala yang berbeda. Begitulah kenangan saya tentang sebuah mesin jahit.
Kini, saat saya bersama kalian di komunitas Anak Langit ini, keinginan saya untuk memiliki sebuah mesin jahit kembali menggebu-gebu lagi karena kalian. Saya rindu mendengar derak-derik suara pedalnya, dan suara tik-tik saat benang kawin dengan benang, dan melihat putaran rodanya yang dulu sekali waktu kecil pernah menjepit jari-jari saya.
Saya juga terinpirasi pesan Ayah saya, untuk mengajarkan sedikit keterampialn yang saya punya kepada orang-orang yang yang kurang terampil untuk bekerja dan untuk apa saja asal jangan hidup mengemis, padahal kita masih mampu berusah belajar dan bekerja.
“Apa kalian mau jadi pengemis?” Tanya Tazkiya kemudian
Serentak semua menggeleng. “Tidaaak....” jawab mereka.
“Apa kalian mau belajar keterampilan menjahit?”
“Mauuu.....”
“Nah sekarang yang jadi soal adalah dari mana kita bisa punya mesin jahit untuk mulai belajar. Nanti setelah mahir, akan kita buka jasa permak Levis atau terima jahitan dari para tetangga sekitar sini.”Tanya Samboja untuk semua yang hadir.
“Nah itu dia Kak dari mana mesinnya?” sambut Saglik.
“Saya akan coba bantu dengan menggalang dana dari kawan-kawan mahasiswa, dan saya usul, mulai sekarang kita kumpulkan sampah botol bekas aqua...disepanjang kali cisadane ini, kita sortir sampahnya, pilih apa saja yang masih bisa dijual ke para pendaur ulang bahan pelastik. Kita kumpulkan uangnya, lalu kita beli mesin jahit.”
“Ide yang bagus kak Hakim.”
Laksanakan....
(*)
Catatan: gepeng : gelandangan dan pengemis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H