“Jadi begitu laporan anda?”
“Benar pak?”
“Baiklah kalau begitu, akan kami segera proses.”
“Terima kasih Pak”, ucapku bangga.
Lalu Ingin segera kutemui pacar gembelku dan mengatakan kalau ternyata di mata hukum gembel pun boleh bicara. Kepala polisi setengah baya yang berwajah tegas dan berwibawa itu adalah bukti nyata, bahwa masih ada yang peduli dengan ini semua.
Malamnya, entah mengapa aku ingin mengunjungi sudut sialan itu lagi. Aku berharap sepasukan polisi datang dan menangkap para pendosa yang tak bertanggung jawab disana. Tapi ternyata aku salah.
Di malam itu, seperti malam-malam yang lain, tetap ada saja pasangan terkutuk yang membuang buah cinta terlarang mereka di sudut laknat itu. Sebenarnya bagiku itu sudah biasa. Tapi yang membuat aku ngilu adalah ternyata malam itu si pendosa adalah seorang lelaki setengah baya yang berwajah tegas dan berwibawa yang aku temui tempo lalu.
Tapi mungkin pacarku benar, siapa mau peduli dengan ucapan yang keluar dari mulut gelandangan sepertiku.begitulah kronologi prosessku berubah yang kutuangkan dalam lukisan ini.
Lihatlah dalam lukisan ini, ada gelap temaram, ada lembayung senja, ada pak polisi, ada bekground gedung dan seorang ibu-ibu yang menangisi sebuah bungkusan. Dan di balik semak-semak disudut kanvas itu kkulukis sepasang mata merah perak, itulah mataku yang sedang mengintip, hehehe....
“Tapi itu dulu. Tidak sekarang.” Kata si kaos abu-abu yang bernama Samboja sang pelukis itu, dengan pandangan bersemangat.
Terdengar tepuk tangan meriah dari yang hadir dalam acara berbagi cerita itu.