Mohon tunggu...
Ahmad Heru
Ahmad Heru Mohon Tunggu... wiraswasta -

penyuka kereta api, pengagum danau dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak-anak Langit

16 November 2013   22:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:04 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Waktu SD, saya dan kakak lelaki saya sering dibawa ke tempat usaha Jahitan oleh ayah, yang seorang tukang jahit. Bukan perjalanan wisata tentunya, karena hampir tiap hari kami dibawa ke tempat usaha itu.”

“Ya bukan perjalanan wisata namanya kalau dilakukan setiap hari mah Dek...”, respon Hakim. Junaidi terasenyum, melihat Tazkiya yang jadai agak gugup dikomen Hakim barusan.

“Ya... Itu memang semacam pembagian tugas antara Ibu dan Ayah, karena saat itu Ayahku belum punya Anak buah yang bisa membantu pekerjaan kami di rumah.” Kata Tazkiya mulai lancar ceritanya...

“Tiap hari kecuali hari Minggu, Saya menemani Ayah bekerja. Sedangkan kerjaan saya adalah bermain benang atau perca kain, saya atau kakak saya, suka tidur siang di kolong meja gunting. Meja gunting adalah sebutan Ayah untuk sebuah meja setinggi perut dengan panjang dua setengah meter, dan lebar satu meteran, yang digunakan Ayah untuk memotong kain. Di bawah meja itu tidak ada apa-apa selain sebuah ruang kosong yang muat untuk kami yang masih kecil-kecil tidur bersama deruman mesin potong kain dan deru mesin jahit yang dipacu untuk memproduksi ssepotong baju atau celana untuk segera dipasarkan”.

Ketika saya sedikit lebih besar, ketika kaki-kaki saya dan kakak saya mulai bisa menjangkau pedal mesin jahit dengan terampil, Ayah mulai mengajari kami menjahit. Sebuah aktivitas, yang kalau saya pikir-pikir, teramat mengasyikkan untuk anak kecil seusia kami.

Memasukkan benang ke lubang jahit, memutar pedal tangan, menginjak pedal kaki, alangkah menyenangkannya. Begitu pedal di injak, jarum jahit menghunjam lubang jahit turun-naik, menarik dan mengaitkan benang, menyambung-mengikat-menjerat dua sisi kain yang akhirnya bisa disatukan.

Setelah matang berlatih menjahit kain perca, Ayah menyuruh kami menunaikan tugas sungguhan pertama: menjahit bendera, pesanan sebuah sekolah untuk menyambut hari tujuh belasan. Menjahit bendera adalah bagian paling ringan dan paling kecil risikonya.” Terang Tazkiya, “tinggal menyambung dua helai kain dua warna, merah dan putih, melipat keempat sisinya, memberi tiga atau lima kain ikatan di salah satu sisinya, dan jadilah ia sebuah bendera.”

Hakim seksama mendengar teori menjahit bendera dari Tazkiya yang lancar mengungkapkan tehniknya itu.

“Di awal-awal bulan Juli seperti sekarang, beberapa minggu sebelum peringatan Hari Kemerdekaan RI, sudah banyak pelanggan yang datang mencari bendera, dan itu adalah masa-masa “bekerja” pula bagi saya dan kakak saya. Itu pulalah masa-masa kami mencari uang jajan tambahan, dengan keringat kami sendiri”.

Hakim, Junaidi, dan seluruh Anggota Anak Langit mengangguk kompak, dan terus memasang telinganya untuk mendengar penuturan Tazkia selanjutnya.

“Sedikit lebih besar lagi, saat duduk di kelas dua SMP (dan kakak lelaki saya di kelas tiga SMA), Ayah mulai menurunkan ilmu menjahitnya pada kami berdua lebih dalam lagi, mulai dari bagaimana memilih kain dan benang, bagaimana mengukur kemeja dan celana, bagaimana membuat pola, dan bagaimana memotongnya, dan mulai menjahitnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun