Sukma menghambur keluar dari kamarnya.
Semua sudah gila! Masa ada setan memfitnahku sebagi hantu? Bahkan ayahku sendiri tega ingin memakanku!
Lari punya lari, tanpa terasa Sukma tiba di pohon beringin besar yang menjadi penanda gerbang masuk desanya.
Terdorong oleh ribuan penasaran yang tak terpetakan, Sukma menghantamkan lengan kirinya ke batang pohon beringin. Karena menurut logika tengilnya, mencubit lengan hanya demi mengetahui apakah seseorang tengah bermimpi atau tidak telah menjadi terlalu mainstream.
Tapi bukannya memperoleh pencerahan, nalar Sukma justru semakit kusut dan bebeliet tak karuan!
Didahului bunyi ‘Krek!’ keras seperti ranting kering yang terinjak, tangan kiri Sukma patah sebatas pergelangan dan mencelat ke depan. Sakit. Tapi tidak berdarah.
Jika mimpi, mengapa aku mampu merasakan sakit? Dan jika bukan mimpi, mengapa pula kejadiannya bisa seaneh ini?
Pertarungan pikiran Sukma langsung berhenti ketika dilihatnya lengan putus itu mulai menggeliat dan mengucek-ucek kukunya, seperti baru saja terjaga dari lelap semalam suntuk.
“Kau terkejut, Sukma?” tangan kirinya bertanya sambil jemari melakukan gerakan membuka seperti mulut yang menguap.
Tapi Sukma mulai terbiasa dengan keanehan yang belakangan ini gemar mampir di hidupnya. Alih-alih merasa takut, Sukma justru terpesona, sebab ada berapa orang di dunia ini yang mampu berbicara dengan tangan kirinya sendiri, pada saat ‘mereka berdua’ masih hidup?
“Ada yang ingin kutunjukkan kepadamu.”