Masih merasa takjub Sukma mengikuti tarikan lengan kirinya. Bagaimana bisa lengan kirinya menyeret lengan kanannya untuk mengikuti ajakannya? Bukankah itu berarti dirinya mengajak dirinya pergi? Yang entah menuju kemana, karena dia sudah merasa lelah menggunakan akal sehat, dan memilih untuk hanya berjalan sesuai arus, hanya demi mempertahankan setitik kewarasan dari serbuan kegilaan yang bertubi-tubi.
“Kau tunggu saja di sini,” ucap lengan kiri langsung memotes telinga kanan Sukma, dan melayang bersama ke Gedung Kelurahan yang kini tak lagi menjadi representasi warganya.
“Bagaimana urusan Sukma, sudah beres?” seseorang bertanya, membuat Sukma mengernyit alis sebab suara itu amat tak asing bagi dirinya. Suara Pak Lurah Sadikin!
“Dia berhasil lari,” jawab seseorang yang lain, yang langsung menghasut Sukma untuk menggigit bibir sebab suara itu adalah suara ayahnya.
“Saya harap hari ini terakhir kau habisi dia. Reportasenya di kumpulan blog populer milik salah satu perusahaan media terkemuka akan sangat merepotkan kita.”
“Mengapa harus aku yang melenyapkannya?”
“Karena kau adalah ayahnya.”
“Tapi bukankah kau yang menjadi lurah di sini, yang otomatis pula semua warga adalah anak-anakmu? Lagi pula, dia hanya anak pungutku. Anak haram hasil kolaborasi terselubungmu dengan Si Minah. Maka sebutan anak agaknya sudah mulai harus diakhiri.”
Tanpa terasa Sukma menggigit terlalu keras, hingga bibirnya mengucur darah cukup deras.
Jadi… aku cuma anak pungut? Dan Mbok Minah adalah ibuku?
“SIAPA DI SITUUU…?!!”