Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mengapa Karya Burukpun Berhasil Menjadi Juara?

26 Oktober 2015   00:46 Diperbarui: 26 Oktober 2015   01:00 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh waktu sebelum saya nge-jam session dengan Desol pada link yang ini, saya telah lebih dulu berbalas puisi bersama DP Anggi. Langsung mangslup ke tekape yah, Kawan…^_

# DP Anggi

bagaimana aku tidak mencintai-mu?

sedang diriku adalah milik-mu yang utuh...

bagaimana tidak kuhambakan diriku?

sedang hadirku menjelma wujud karena cinta-mu...

#Bay

tak cukupkah hanya aku untukmu

hingga kau tak perlu lagi terus berlari

hingga kau tak perlu lagi terus mencari

hingga kau, pada putaran yang terakhir kali

tak sanggup lagi untuk kembali, menuju-ku

 

Terus, apa hubungannya sama judul artikel ini, Bay?

Saya jawab: Gak ada (Haha…^_).

 

Cuma bercanda, Sobat.

Kolaborasi sepihak yang sekilas mirip cinta muda-mudi namun sejatinya bergenre religi itu, mengingatkan saya pada teori ‘Jalan Pintas Menjadi Penulis Cadas’ karangan saya sendiri. #Huekss…

Tidak percaya? Mari kita masuk ke jalan pintas yang pertama, yang kebetulan terselip pada karya Ang Tek Khun yang berjudul “Bahagia Untuk Gabriella”.

Jika dilihat secara materi lomba, karya ini termasuk kategori karya buruk, namun anehnya justru keluar sebagai pemenang even fiksi “Aku Punya Impian” yang diselenggarakan FC.

Ada beberapa point kekurangan dari karya ini, meliputi:

Point pertama.

Apa tema besar even FC tersebut? Aku Punya Impian.

Lantas, impian apa yang ditawarkan Ang Tek Khun melalui tokoh ‘aku’nya di cerita tersebut?

Tidak ada. Bahkan jika dipaksakan membela lewat judulnya, yaitu: Bahagia Untuk Gabriella, tetap saja mentah. Karena dalam karya tersebut, tokoh aku ‘sekedar’ menghadiri perkawinan orang yang dicintainya, tanpa pernah melakukan tindakan apapun yang menunjukkan bahwa sang tokoh aku tengah ‘memperjuangkan’ sesuatu yang menjadi bukti bahwa si tokoh aku melakukannya demi membuat Gabriella bahagia.

Point kedua.

Apa genre yang diusung pada even FC tersebut? FF alias fiksi mini.

Apakah karya Ang Tek Khun telah termasuk dalam kategori genre tersebut? Tidak. Karena dari bentuknya, karya tersebut adalah sekedar ‘outlines’, atau dalam bahasa bebasnya adalah penggalan dari kisah utuh pada sebuah karya, dan bukannya bentuk jadi dari keseluruhan karya itu sendiri.

Dan mengenai ulasan tentang FF telah saya posting pada link yang ini beberapa waktu setelah even lomba tersebut. Sila mampir lagi demi menambah pengetahuan, atau setidaknya demi menyingkron balik tentang tentang kebenaran point kedua yang saya ajukan ini. Kan lumayan, jika salah bisa buat bahan nge-bully yang punya lapak ini, haha…^_

Point Ketiga.

Tanda baca dan EYD.

Tak perlu masuk ke dalam karya, karena bahkan judulnyapun telah mengandung kesalahan.

Judul yang harusnya tertulis ‘Bahagia untuk Gabriella’, ditulis oleh Ang Tek Khun sebagai ‘Bahagia Untuk Gabriella’ dengan huruf U capital pada kata ‘untuk’.

Tak hanya itu, pada paragraf pertama kalimat ketiga, yaitu kalimat ‘pernah kurehatkan di sini’ menjadi agak janggal, karena mestinya adalah ‘pernah kurehatkan di sana’. Serta beberapa kesalahan yang lainnya lagi termasuk juga salah penggunaan koma dan spasi.

Dan khawatir artikel ini menjadi terlalu panjang, saya cukupkan saja dengan tiga point di atas, yang menurut pendapat saya pribadi, menegaskan bahwa karya Ang Tek Khun melanggar setidaknya dua point ‘berat’ (jika memang point ketiga tak perlu disertakan).

Lantas, mengapa karya Ang Tek Khun berhasil menjadi juara? Apakah karena dewan juri even FC tak paham soal sastra? Atau memiliki selera berfiksi yang kurang menggairahkan?

Oopssttt…!!!

Ada baiknya kita tak berburuk sangka sejauh itu, Sobat…^_

Setelah puas jelek-jelekin karya Ang Tek Khun sampai muntah, sekarang giliran saya mengangkatnya tinggi-tinggi. Tentu saja dengan beberapa data yang mendukung, sebab memuji tanpa data yang dapat dipertanggung jawabkan –jika menurut pendapat saya pribadi- adalah perbuatan para penjilat! Dan saya jelas bukan seorang penjilat handal, kecuali jika terhadap istri yang sah secara hukum dan norma agama, hahay…^_

Dalam tulisan lawas saya di K, saya pernah memposting tentang apa yang lebih penting dari teknik, dalam postingan panjang berbaur kisah cinta kelam pada link yang ini.

Yah. Apa yang lebih penting dari teknik penulisan fiksi?

Jawabannya hanya dua, yaitu: Ide, dan jiwa.

Seburuk apapun karya kita, jika kita memiliki dua modal paling penting di atas, maka lewatlah segala macam aturan main dan sebagainya yang menyebalkan tersebut.

Dua hal penting itu saya peroleh dengan amat berdarah-darah, melalui petualangan pengalaman pribadi yang kelam, yang banyak tahun setelahnya baru saya dapati bahwa dua hal penting itu pula yang ternyata menjadi patokan bagi penerbit-penerbit mayor negeri ini. Jadi klop deh…^_

Kembali ke Ang Tek Khun. Saya menduga Kompasianer yang kabarnya tinggal di KL ini TIDAK mengetahui ‘keajaiban’ akan dua hal penting tersebut, sama seperti pengakuan Desol yang katanya tak paham sedikitpun tentang sastra, namun dengan beberapa keadaan yang agak anomali, nyatanya tetap mampu membuat karya yang gurih-gurih asyoi tapi ngehek itu.

Apa ide yang digadang Ang Tek Khun?

Cuma ide yang amat biasa, yaitu tentang cinta yang normal-normal saja. Hanya saja cinta versi Ang Tek Khun memiliki beberapa keistimewaan.

Pertama, cinta tersebut mengandung konflik kesedihan yang mendalam namun tak terjebak melow guslaw, alay, lebay juga melambai, yang jika boleh saya sarankan, Ang Tek Khun sepertinya cocok jika menjadi motivator bagi grup ababil yang susah move on dari putus cintanya…^_

Kedua, pilihan paragraf pembuka Ang Tek Khun top cihuy, langsung menjambak pembaca untuk berkecipak di ruang imajinasi penuh rasa, mengingatkan saya pada paragraf pembuka yang dipakai Ayu Utami pada novel “Saman”. Walau kadang saya berpikir, alangkah baiknya jika dua paragraf pembuka tersebut dirombak lalu digabung menjadi satu paragraf cantik penuh warna dan rasa. Tapi biarlah itu menjadi urusan pengarangnya.

Siapa Ayu Utami? Kalo tak salah ingat, beliau sastrawan muda yang pasca memenangkan lomba Dewan Kesenian Jakarta, namanya langsung dempet dengan Helvy Tiana Rosa, yang mesti berlelah-lelah menapaki jalur sastra melalui media islami yang penuh gejolak.

Yang satu penulis Kristiani, yang lainnya penulis Islami, dan keduanya super terampil menggunakan sudut agama mereka dalam karya tanpa perlu sok agamis atau justru amat monoton. Juga super berani mendobrak hal-hal tabu yang ada pada keyakinan semasingnya. Keren…^_

Ketiga, Ang Tek Khun  amat berbakat menjadi ‘penipu ulung’, yang lincah melompat dari paragraf bersudut pandang ‘aku’ ke paragraf tokoh Andra Prasetya. Dan ini adalah sebuah pilihan yang amat berani mengingat tak semua juri di even fiksi FC memiliki kemampuan bersastra yang mumpuni.

Jika saja Ang Tek Khun sial, maka karyanya saya pastikan akan langsung dilempar ke tong sampah karena juri menganggapnya kurang konsisten dalam menggunakan ‘point of view’. Oh, ya. Dalam hal ini sayapun sempat tertipu dan agak heran juga menyayangkan waktu membaca untuk yang pertama kali.

“Kenapa karya sebagus ini memiliki cacat yang amat parah? Alangkah sayangnya!” demikian pikir saya waktu itu, yang setelah membaca ulang sambil ngopi, barulah saya sadar, bahwa saya telah kena tipu. Jadi pesan moral pada paragraf ini adalah: “Mengopilah, jika memang anda tak ingin menjadi korban penipuan, haha…^_”.

Bagaimana dengan jiwa yang ada pada karya Ang Tek Khun?

Wainii…!!!

Saya cuma bisa angkat topi tinggi-tinggi bagi karya ini. Jiwa dalam karya ini kuat sekali, menjadikan pembaca yang memang penikmat fiksi langsung mendapat sedihnya, harunya, dan entah akhiran ‘nya’ apalagi yang lainnya.

Besar dugaan saya, Ang Tek Khun membuat karya ini dengan sekali jadi tanpa editan. Dan setelah setelah karya tersebut selesai, barulah ia fokus bin serius mengeditnya. Coba bandingkan dengan orang yang baru belajar menulis fiksi. Bagaimana tidak akan macet idenya, lha wong baru juga nulis satu kalimat udah langsung diedit ratusan kali, hihihi…^_

Kenapa saya menduga seperti itu? Karena saya teringat ucapan Affandi, salah satu pelukis besar negeri ini. Beliau mengatakan selalu menyelesaikan lukisannya sekali jadi sampai selesai, dan tidak ingin menundanya. Alasannya tak lain dan tak bukan hanya demi mencurahkan semua emosi yang dimiliki saat menggarap sebuah tema lukisan, yang jika ditunda maka emosi yang ada telah berubah dari yang semula.

Akhirnya saya pribadi paham, tentang mengapa karya burukpun berhasil menjadi juara. Dan ini tidak hanya berlaku di even besutan Fiksiana Community saja, melainkan merata pada belahan fiksi serta dunia sastra yang lainnya.

Dari studi kasus even pertama yang saya ikuti ini, saya mendapat cukup banyak amunisi untuk menggarap kasus-kasus yang lainnya, yang tentu saja masih berkaitan dengan dunia perfiksian. Berikut bocorannya, Kawan…^_

 

  • Ingin Mahir Berfiksi? Jangan Pernah Menggunakan Teori Sastra Selain Membuangnya.

Studi kasus berfiksi otodidak ala anak jalanan non sekolahan, dengan Kompasianer Desol sebagai kandidat kelinci percobaan, mempreteli segala kelebihan dan kekurangan cara model ini, yang biasanya tidak pernah disadari oleh pelakunya.

  • Mengeplak Admin, Merebut Kanal NT.

Studi kasus even [Merah-Putih RTC], pembicaraan singkat melalui kolom komen dengan Kompasianer Bambang Setyawan, Suyono Apol dan Agung Soni. Clue dari artikel ini adalah menormalisasi kekuasaan admin agar tak sehebat ‘tuhan’ dalam menentukan karya baik dan buruk, tanpa harus melakukan ‘canglimen’ alias jualan asongan ’kacang-link-permen’ yang biasanya hanya berakhir dengan perolehan komen autobot. Dengan memodifikasi cara ini, diharapkan ke depannya akan muncul gairah sastra melalui pengujian karya di sesama fiksianer, yang kelak akan berimbas dengan lahirnya kembali sosok-sosok sastrawan muda dari kompasiana seperti era Leil Fataya di Kompasiana lama.

  • Jangan Bangga Gila Menjadi Admin, Sebelum Paham Apa Fungsi Utama Admin yang Sebenarnya.

Studi kasus terhadap beberapa oknum yang gembelengan petantang-petenteng menyunggi jabatan admin, tanpa mau paham apa tugas admin yang paling mendasar.

  • Mengkloning Sekar Mayang, Mencetak Stok Editor Komunitas.

Tips n trik memperbanyak jumlah stok editor komunitas tanpa perlu berlelah-lelah makan bangku sekolahan dan belajar materi fiksi hingga sakit gigi. Singkat, padat, muncrat.

  • Mengembalikan Keangkeran Komunitas di Era Individual.

Berapa nilai komunitas yang kita ikuti, baik secara moral maupun material? Alih-alih sekedar menjadi bebek yang selalu mengikuti giringan dari para petinggi, ada baiknya jika kita paham berapa nilai mereka, yang dengannya semoga kitapun menjadi lebih paham akan nilai diri sendiri, dengan paham yang tak sekedar asal paham.

  • Perlukah Belajar Sastra demi Menjadi Fiksianer Terbaik di Kompasiana?

Studi kasus kolaborasi jadul Hilman ‘Lupus’ Hariwijaya dan Zarra Zattira Zr, teknik pembukaan cerpen ciamik ala Jihad Rajbi, berliris-liris bersama cerpen Presiden Penyair Sutardji Chalzoem Bahri, belajar dari cerpen pilihan Kompas “Déjà vu, Khatmandu”, dan lain-lain.

  • Gagalnya Program Bedah Sastra di Komunitas Fiksi.

Studi kasus program bedah sastra online di panpage Gola Gong dan ‘Komunitas Rumah Dunia’nya, hingga akhirnya bergeser untuk fokus kepada pelatihan TeWe berbiaya relatif tinggi.

  • Apa Yang Dibutuhkan Fiksianer Dalam Mendongkrak Karya Fiksi?

Studi kasus Ganito Ibrahim dan Gola Gong, yang dengan sedikit modifikasi niscaya akan langsung menelurkan fiksianer handal jika mereka tak tipis telinga dan mau menerima masukan. Karena yang dibutuhkan fiksianer bukannya pujian kosong semata, melainkan apresiasi tulus pada setiap karyanya.

  • Menggugat Tjiptadinata Effendi, menghapus stigma tentang tak bisa berfiksi.

Tulisan ini awalnya dibuat sebagai cersil usil. Tapi karena saya ijin di kolom komen beliau dan tak ditanggapi, akhirnya batal, dan dirubah menjadi artikel fiksi demi berbagi kepada mereka-mereka yang mengaku tak pandai berfiksi.

By the way, jika fiksianer ada yang berminat memilih artikel mana yang baiknya diposting di K terlebih dahulu, silakan menitip pesan lewat komentar, yah… #Awas! Paragraf ini mengandung modus! Haha…^_

Kembali ke tema utama. Tak perlu karya Ang Tek Khun jika memang ingin mencari hikmah, karena bahkan hanya dari sempaknya Kompasianer Arke saja akan bisa dicuri beberapa kebaikan.

Penyebabnya sepele saja, yaitu karena sempak arke, mengingatkan bahwa hidup tak lebih serupa sempak: Pendek dan kotor.

Tugas kitalah yang terus berusaha melakukan yang terbaik sekuat mampu, agar kelak kenangan tentang diri kita di mata generasi penerus, jauh lebih panjang serta lebih bersih… dari sekedar sempak!

Selamat menempuh fiksi baru…^_

 

Secangkir Kopi kangen berfiksi tapi sebal sama adminnya, haha, Thornvillage-Kompasiana, 25 Oktober 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun