Tak hanya itu, pada paragraf pertama kalimat ketiga, yaitu kalimat ‘pernah kurehatkan di sini’ menjadi agak janggal, karena mestinya adalah ‘pernah kurehatkan di sana’. Serta beberapa kesalahan yang lainnya lagi termasuk juga salah penggunaan koma dan spasi.
Dan khawatir artikel ini menjadi terlalu panjang, saya cukupkan saja dengan tiga point di atas, yang menurut pendapat saya pribadi, menegaskan bahwa karya Ang Tek Khun melanggar setidaknya dua point ‘berat’ (jika memang point ketiga tak perlu disertakan).
Lantas, mengapa karya Ang Tek Khun berhasil menjadi juara? Apakah karena dewan juri even FC tak paham soal sastra? Atau memiliki selera berfiksi yang kurang menggairahkan?
Oopssttt…!!!
Ada baiknya kita tak berburuk sangka sejauh itu, Sobat…^_
Setelah puas jelek-jelekin karya Ang Tek Khun sampai muntah, sekarang giliran saya mengangkatnya tinggi-tinggi. Tentu saja dengan beberapa data yang mendukung, sebab memuji tanpa data yang dapat dipertanggung jawabkan –jika menurut pendapat saya pribadi- adalah perbuatan para penjilat! Dan saya jelas bukan seorang penjilat handal, kecuali jika terhadap istri yang sah secara hukum dan norma agama, hahay…^_
Dalam tulisan lawas saya di K, saya pernah memposting tentang apa yang lebih penting dari teknik, dalam postingan panjang berbaur kisah cinta kelam pada link yang ini.
Yah. Apa yang lebih penting dari teknik penulisan fiksi?
Jawabannya hanya dua, yaitu: Ide, dan jiwa.
Seburuk apapun karya kita, jika kita memiliki dua modal paling penting di atas, maka lewatlah segala macam aturan main dan sebagainya yang menyebalkan tersebut.
Dua hal penting itu saya peroleh dengan amat berdarah-darah, melalui petualangan pengalaman pribadi yang kelam, yang banyak tahun setelahnya baru saya dapati bahwa dua hal penting itu pula yang ternyata menjadi patokan bagi penerbit-penerbit mayor negeri ini. Jadi klop deh…^_