Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Demi Menolong Na, Tak Peduli Meski Terkena ‘Jalan Api Menuju Neraka’

9 Oktober 2015   23:02 Diperbarui: 9 Oktober 2015   23:32 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

tanyakan pada dunia, apa itu cinta?

yang terus mengangkangi tentu bukan cinta

yang tak harus memiliki jelas tidak cinta

tapi cinta selalu saja cuma cinta

seperti kita yang seringkali cuma kata

Demi Menolong Na, Tak Peduli Meski Terkena ‘Jalan Api Menuju Neraka’.

Bay siuman terlebih dahulu dari Na. Tangannya masih menggenggam jemari Na dengan amat erat.

“Na…” Bay coba memanggil. Akan tetapi dara cantik itu tak menjawab. Bahkan wajah pucatnya bertambah pias waktu ke waktu.

Sekuat tenaga Bay berusaha bangkit. Giginya bergemeretak menahan sakit luar biasa, dengan urat biru mengejang di pelipis serta keringat dingin yang seperti dituang seember ke sekujur tubuh. Tapi bahkan dengan usaha yang seperti itu, Bay tetap tak berhasil bangkit.

Kembali Bay mencoba, dan kembali ia gagal, hingga akhirnya ia hanya bisa pasrah. Tenaganya habis. Hawa murninya macet. Yang tersisa hanya perasaan hampa buah harapan yang semakin kosong dan mengering.

“Barangkali Tuhan memang menakdirkan kami harus berakhir seperti ini,” gumam Bay sambil memandang haru ke sosok yang napasnya mulai menyurut itu. Ia yang tak pernah lelah menghadapi apapun yang menimpa, akhirnya harus mengalami pula bagaimana rasanya dihinggapi keputus asaan.

Betapa tak enaknya hidup, ketika kita merasa telah mengeluarkan kemampuan hingga ke batas terakhir yang dimiliki, akhirnya tetap tak mampu melawan kenyataan, dan dipaksa untuk sujud pada ketidak berdayaan.

Bay merasa pikirannya semakin kosong, hingga akhirnya hanya mampu menyerahkan segalanya kepada Dia Sang Maha Isi.

Deg.

Kosong?

Isi?

Dia…

Sang Maha… Isi…?

Ah, ternyata begitu…!!!

Sebuah kesadaran yang tak disengaja membuat dada Bay seperti meledak saking girangnya. Kesadaran yang langsung menyemai ulang tunas harapannya yang sempat ranggas, hingga kembali melahirkan kuncup-kuncup daya juang yang kian merimbun.

Bay teringat bagian terakhir Kitab Bayangan Mengejar Sinar yang tak pernah berhasil ia latih,   karena maknanya yang memang terlalu dalam dan tak terjangkau daya nalarnya. Tapi, siapa tahu? Justru pada saat sekarat seperti inilah ia justru berhasil menyingkap hakikatnya!

Bergegas Bay mendawam ulang kiam hoat tersebut, sambil bathinnya khusuk menelad setiap garis dan gurat yang terkandung di dalamnya.

kosong kosong kosong isi isi isi

kosong menjelma isi

isi tak lagi kosong

kukosongkan isiku Kau isikan kosongku

aku kosong Kau isi aku isi Kau tetap isi

kosongku kini isi isiku memperjelas isiMu

isi aku dengan isiMu

kosongkan aku untuk isiMu

isi isi isi isi isi isi isi isi isi

Mu

Akan ada waktu untuk menutup segala yang ada di raga demi sumber segala sumber. Saat debur ombak menumbuk dan amuk segara begitu dahsyat mencekat, pada titik itulah kesejatian diri mencapai titik tersunyi: Adakah sekedar makhluk fana yang gandrung akan kealpaan, atau hanya terjelma cermin laduni bagi terpantulnya mata air kesegalaan?

kosong isi kosong isi

kosong ketemu isi

isi kosongku lari

kosong tak lagi bohong

isi

tak lagi cuma mimpi

ke isiNya segala kosong: Kembali!

kosong isi kosong isi

kosongku isi Kau

isiku cuma isi Kau

Kau isi ku kosong Kau isi kosongku jadi isi Kau

isi isi isi isi isi isi isi isi isi

Mu

Jika Kau mau, bawa aku memahami-Mu jauh ke kedalaman nafas yang Kau hembus, jauh ke kekeberuntunan kejadian yang kau tebar ke seluruh semesta. Diam dan rasakan setiap gerak kehidupan, berkelindan amat perlahan di setiap jiwa-jiwa yang mencintai dan dicintai.

Perlahan namun pasti, Bay merasakan aliran hangat muncul dan bergeletar-geletar di bawah pusatnya. Bay berusaha keras untuk tetap tenang, dan mati-matian menahan haru yang menggumpal di relung hati terdalamnya. Rasa haru yang teramat gegap mengingat sebentar lagi ia dapat menyelamatkan Na.

Hanya saja mengingat Na membuat hati Bay sedikit goyah. Terburu-buru ia salurkan lwekang yang mulai tumbuh dan membesar itu ke telapak halus yang tak pernah lepas dari genggamannya. Tapi usahanya terbentur sia-sia.

Sadar akan kesalahannya, Bay membuang segala keduniawian yang menggelayuti pikiran. Dihimpunnya hawa murni dengan lebih sabar, lalu memutarnya ke seluruh tubuh, sambil menyisipkan seketip doa semoga Na mampu bertahan.

Agak terkejut juga Bay merasakan lwekangnya berjalan tak seperti biasanya. Tidak lagi zig-zag, melainkan berputar searah jarum jam, yang lalu berbalik arah serta beberapa kali terasa pecah di tengah untuk kemudian menebar ke seluruh jalan darah secara bersamaan.

Baru saja Bay mencapai titik paling kritis dari penyembuhannya, ketika ia merasa nadi tangan Na berhenti berdetak, membuatnya gagal mempertahankan ketenangan.

Akibatnya cukup fatal. Uap putih halus di ubun-ubun Bay membuyar, dengan bagian tubuh sebelah kiri yang terasa kemeng hingga separuh badan. Agaknya Bay mengalami apa yang biasa dikenal sebagai Jalan Api Menuju Neraka.

Tapi Bay tak peduli. Alih-alih memulihkan terlebih dahulu hawa murninya yang tersesat, Bay justru memaksanya untuk lebih tersalur ke telapak tangan Na. Ia seperti bersicepat dengan maut. Terlambat sedikit saja, bisa dipastikan nyawa Na akan langsung melayang.

Satu kali. Dua kali. Hingga pada kali yang ketiga akhirnya Bay berhasil. Tak dipedulikannya rasa kaku serta sengatan ngilu yang mulai melumpuhkan separuh tubuh bagian atas. Terus menerjang segala rintang: Hanya demi menyelamatkan Na!

Akhirnya Na siuman. Dan pemandangan perdana yang dilihatnya adalah wajah Bay yang merah padam menahan sakit.

“B-Bay… lekas kurangi hawa murnimu… aku sudah agak baikan…” pinta Na gugup. Ia tahu Bay tengah mengalami sesat jalan darah karena mengobati dirinya ketika kondisi tubuhnya sendiri tengah terluka berat. Dan jika hal itu tidak segera ditanggulangi, maka akan berakibat amat mengerikan.

Ditariknya lengan yang menjadi ‘jembatan penghubung’ antara dirinya dengan Bay. Tapi tenaganya belum pulih, sementara Bay pura-pura tak mendengar dan terus melanjutkan tindakannya.

“Kumohon, Bay… tubuhmu bisa lumpuh separuh… bahkan bisa mati… Lepaskan, Bay…” suara Na bercampur isak. Matanya yang bening menatap Bay dengan berkaca-kaca, yang tetap tak dihiraukan sedikitpun oleh Bay. Agaknya Bay memang mati-matian ingin menyelamatkan Na dari segala marabahaya, tanpa mempedulikan apapun resikonya.

“Mengapa kau melakukan hal ini untukku, Bay… Mengapa, Bay…” kali ini suara Na terdengar lebih seperti merintih.

Akhirnya ia mengambil keputusan. Seluruh sisa tenaga yang ada ia pusatkan ke lengan yang masih menggenggam pedang hujan, dan mulai menggesernya perlahan, siap untuk mengutungi tangannya sendiri demi menyelamatkan Bay. Dan ketajaman pedang hujan bukanlah sesuatu yang dapat dibuat enteng. Cukup dengan menjatuhkannya ditambah sedikit tekanan, niscaya akan langsung memotong besi sekeras apapun bagaikan memotong tahu. Apalagi jika sekedar untuk memotong tangan. Dan ia lebih rela kehilangan tangan, daripada menyaksikan Bay tewas karena menolongnya.

Belum lagi Na menggerakkan pedang, ketika genggam tangan Bay mengendur tiba-tiba, yang berlanjut dengan tubuhnya yang terjerembab ke arah Na.

“Bay… kau tidak apa-apa, Bay…? Bay…?” pegangannya pada pedang hujan terlepas. Dalam cemas yang sangat Na hanya mampu menggeragapi wajah Bay.

Bay menggeleng lemah, untuk kemudian kembali tak sadarkan diri.

***

Tepi Telaga, Waktu Indonesia Bagian Cinta.

Creng! Creng!

Ting tong ting tung ting ting ting

 

“Bagaimana lengan kirimu, Bay?”

“Alhamdulillah telah kembali normal, Na, walau untuk beberapa gerakan masih belum leluasa.”

Kembali keduanya menabuh alat musik masing-masing. Kali ini mereka memainkan “Belum Ada Judul” nya Iwan Fals, sebagai kenangan karena di alam nyata, lagu tersebut pernah menemani penulisnya bekpeker menuju kota kecil yang menyempil di pelosok desa, demi penyelenggaraan pernikahan mereka berdua, yang dilantunkan penuh perasaan oleh pengamen bus antar provinsi.

pernah kita… sama-sama susah
terperangkap di dingin malam
terjerumus… dalam lubang jalanan
di gilas kaki sang waktu yang sombong
terjerat mimpi yang indah… lelap

pernah kita… sama-sama rasakan
panasnya mentari hanguskan hati
sampai saat… kita nyaris tak percaya
bahwa roda nasib memang berputar
sahabat masih ingatkah… kau

sementara… hari terus berganti
engkau pergi… dengan dendam membara…
di hati…

cukup lama… aku jalan sendiri
tanpa teman… yang sanggup mengerti
hingga saat… kita jumpa hari ini
tajamnya matamu tikam jiwaku
kau tampar… bangkitkan aku

sobat…


sementara… hari terus berganti
engkau pergi… dengan dendam membara…
di hati…

 

Usai memainkan lagu pesanan sang pengarang cersil usil tersebut, keduanya saling menatap sambil tersenyum. Dan sebuah tatapan bersama secercah senyum, seringkali menjadi bahasa paling purba dari cinta yang tak perlu lagi diungkap lewat kata.

Cinta bertanya jawab dengan cinta. Cinta menggenggam erat jemari cinta. Dan cinta, seperti tak berhenti untuk berkata:

betapa amat bertubi-tubi peristiwa yang menghampiri

memberi heran bahwa telah sejauh itu waktu berlalu

mendampar kita pada tepi yang kini

sambil sesekali melintas persimpangan lalu dan nanti

dan menyibak rindu dalam entah berapa banyak temu.

“Saat-saat seperti ini entah mengapa mengingatkanku pada kisah roller coaster cinta yang penuh bertabur emosi, tentang seseorang yang pernah menghabiskan hidupnya dengan terus berlari. Pernahkah kau membaca kisahnya, Bay…? Jika tidak salah, yang bertitel Dunia Aneh Si Bayangan jilid 1…”

Bay mengangguk. Tentu saja dia tahu! Sebab dia adalah pemeran utama di kisah cinta yang pedih itu, dengan sosok Mulan sebagai lawan mainnya, yang pernah diposting di Kompasiana pada masa-masa awal.

“Maukah kau berjanji, Bay, bahwa kisah kita tak akan pernah serupa sedihnya dengan si mahasiswa muda dan Mulan di kisah tersebut…?”

Bay kembali mengangguk. Kali ini sambil menggigit bibir kuat-kuat, menahan kenangan yang pernah amat memilukan itu.

“Terima kasih atas kesediaanmu, Bay, karena aku tahu, bahwa kau tak pernah menganggap enteng janji sekecil apapun kepada siapapun. Terima kasih juga untuk pembuatan ending cersil usil ini, yang sekaligus membuktikan, bahwa si pelari itu… kini benar-benar tak akan pernah lagi berlari, untuk selamanya…”

Mendadak Na melompat dari sampan. Tubuhnya berpusing beberapa kali di udara secara terbalik, untuk kemudian hinggap dengan anggun di atas daun teratai yang mengapung di tepi telaga, sambil menggaungkan sebait sajak pendek yang menyiratkan berakhirnya kisah masa lalu yang pernah riuh itu.

“tepat saat kakinya berhenti berlari, semesta hening…”

Terpancing oleh ucapan Na sebelumnya, Bay sontak menjawab dengan hikmah yang terpetik dari kisah yang sama.

“aku lelah, ucapku nyeri

meski cuma pada diri sendiri

setelah semua yang datang lalu pergi lagi

setelah semua yang datang untuk tak lagi kembali

 

tapi kelak barangkali sempat kau bacai

serenada sedih yang tak sudah ini

tolong, awetkan jasadku, dalam puisi”

Na menyanggah sambil melayang kembali ke dalam sampan, setelah sebelumnya berlarian mengelilingi danau dengan menutul-nutulkan kakinya di atas air seperti capung yang tengah bertelur.

“rintih pedih 
bersama langkah tertatih
butir butir sejuk menyerpih

entah, jawabnya sedih
karena memang ku tak pandai mengawet kata penuh buih”

Kembali mereka saling berhadapan. Dan entah siapa yang memulai, ketika tahu-tahu kedua pasang tangan mereka telah saling bertaut erat. Mata memandang mata. Hati menatap hati, membawa serta jutaan mimpi yang berpendar mengelilingi mereka tak ubahnya kerlip begitu banyak kunang-kunang menyusuri malam demi mengurai setiap helai rindu yang datang menyerbu.

#Bay

telah kuberi aku punya jiwa, tapi
tak ada yang kuberi
karena ternyata
aku tak punya jiwa

*Na

semilir sejuknya malam
menemani kelam
sayup terdengar teriakan menggema
yang entah apakah masih punya jiwa

#Bay

ku kata kau kau kata aku lalu kau aku
jadi kita dalam kata
ku kata -mu kau kata -nya lalu -dia
jadi haru dalam jiwa

*Na

ketika kau adalah aku 
ketika aku adalah kau
apalagi yang dapat ku kata

tak ada lagi makna dalam kata
kecuali -dia

#Bay

lalu harus dengan cara apa lagi kita mencintai-nya

*Na

ketika kata tak lagi enggan punya jiwa
ketika doa tak lagi sungkan punya makna 
hanya sajadah usang tersisa

sebagai bukti mencinta-nya

#Bay

di pintuku aku merutuk
aku tak jera terkaing
di pintumu aku mengetuk
aku tak bisa berpaling
di pintu-nya, aku, cuma bisa merajuk
dalam hening yang tak kunjung menggeming

*Na

tak pantas rasanya
jiwa penuh dosa
bersimpuh di bawah arasy-nya

hanya tuk sebuah pinta
ampunan tuk segala dosa yang menjelaga

#Bay

setidaknya, cinta
tak lagi perlu kita baca: noda
setidaknya, bahagia
tak lagi butuh syarat dan rupa selama kita: bersama

*Na

saat cinta menjelma
saat bahagia menyata
mungkin kita tak sempat menyambutnya

kita hanya sibuk dan berdiri di tepiannya
tak sadar akan hakikat sebenarnya 
apa itu cinta, apa itu bahagia

#Bay

tanyakan pada dunia, apa itu cinta?
yang terus mengangkangi tentu bukan cinta
yang tak harus memiliki jelas tidak cinta
tapi cinta selalu saja cuma cinta
seperti kita yang seringkali cuma kata

*Na

tak perlu ku bertanya 
tentang apa itu cinta
pada insan juga dunia

karena cinta tetaplah hanya cinta
hati yang merasa

Kembali mereka berdua saling bertukar tatap mata, untuk kemudian melayang bersama menuju tepi tepi telaga.

Pandangan mereka tak berhenti melekat satu sama lain. Juga tangan yang terus saling mnggenggam itu, hingga senja hadir memberi kesadaran betapa jauh di dalam hati, Bay merasa bahwa dirinya tak lebih dari manusia yang benar-benar biasa saja.

Untuk yang ke sekian kalinya mereka berdua larut dalam tatapan penuh cinta, memberi kesadaran bahwa sehebat apapun seseorang, tak peduli bahkan jika dia adalah pendekar terhebat yang pernah mengguncang jagad, pada akhirnya tetap saja tak mampu menahan gempuran jurus sederhana, yang pernah dikenal sebagai: Cinta.

lapar dapat kutahan

juga semua derita

dan beban

tapi tidak dengan cinta

Secangkir Kopi Legenda Silat Indonesia, Babad yang ke-8, Thornvillage-Kompasiana, 101015..

  • Puisi utama dalam cersil usil ini berjudul “Setitik Haru Selaksa Rindu”, merupakan ‘jam session’ antara Bay dan Na, beberapa saat setelah menikah…^_
  • Proses kreatifnya dilakukan berdampingan di dalam kamar melalui daring, sebagai nostalgia awal perkenalan melalui dunia maya, yang setelah beberapa waktu terjebak ke kisah yang penuh liku lalu berakhir menuju gerbang pernikahan. Berbalas puisi sebait-sebait secara bergantian di medsos dalam satu periode waktu.. sambil sesekali bertukar senyum… yang entah haru entah bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun