Akhirnya Na siuman. Dan pemandangan perdana yang dilihatnya adalah wajah Bay yang merah padam menahan sakit.
“B-Bay… lekas kurangi hawa murnimu… aku sudah agak baikan…” pinta Na gugup. Ia tahu Bay tengah mengalami sesat jalan darah karena mengobati dirinya ketika kondisi tubuhnya sendiri tengah terluka berat. Dan jika hal itu tidak segera ditanggulangi, maka akan berakibat amat mengerikan.
Ditariknya lengan yang menjadi ‘jembatan penghubung’ antara dirinya dengan Bay. Tapi tenaganya belum pulih, sementara Bay pura-pura tak mendengar dan terus melanjutkan tindakannya.
“Kumohon, Bay… tubuhmu bisa lumpuh separuh… bahkan bisa mati… Lepaskan, Bay…” suara Na bercampur isak. Matanya yang bening menatap Bay dengan berkaca-kaca, yang tetap tak dihiraukan sedikitpun oleh Bay. Agaknya Bay memang mati-matian ingin menyelamatkan Na dari segala marabahaya, tanpa mempedulikan apapun resikonya.
“Mengapa kau melakukan hal ini untukku, Bay… Mengapa, Bay…” kali ini suara Na terdengar lebih seperti merintih.
Akhirnya ia mengambil keputusan. Seluruh sisa tenaga yang ada ia pusatkan ke lengan yang masih menggenggam pedang hujan, dan mulai menggesernya perlahan, siap untuk mengutungi tangannya sendiri demi menyelamatkan Bay. Dan ketajaman pedang hujan bukanlah sesuatu yang dapat dibuat enteng. Cukup dengan menjatuhkannya ditambah sedikit tekanan, niscaya akan langsung memotong besi sekeras apapun bagaikan memotong tahu. Apalagi jika sekedar untuk memotong tangan. Dan ia lebih rela kehilangan tangan, daripada menyaksikan Bay tewas karena menolongnya.
Belum lagi Na menggerakkan pedang, ketika genggam tangan Bay mengendur tiba-tiba, yang berlanjut dengan tubuhnya yang terjerembab ke arah Na.
“Bay… kau tidak apa-apa, Bay…? Bay…?” pegangannya pada pedang hujan terlepas. Dalam cemas yang sangat Na hanya mampu menggeragapi wajah Bay.
Bay menggeleng lemah, untuk kemudian kembali tak sadarkan diri.
***
Tepi Telaga, Waktu Indonesia Bagian Cinta.