“Kau salah, Nduk. Pedang ini justru terkenal sebagai pedang keadilan yang amat ampuh, hingga mampu menghukum nyaris setiap kejahatan yang ada di Tiongkok dulu, bahkan termasuk juga para pejabat negara yang korup pada masa Dinasti Anu, di mana ada kejadian salah satu anggota kesatuan militer setingkat kepolisian kerajaan ditampar oleh juragan pompa namun tak ada yang berani menangkapnya, karena kabarnya si juragan pompa dibeking oleh anggota yang sama tapi dengan pangkat yang jauh lebih puncak.”
“Saat itulah Pedang Tetesan Air Mata kembali menunjukkan taringnya, dengan cara mengebiri si juragan pompa di alun-alun kerajaan hingga menjadi tak berbeda dengan seorang thaykam istana.”
Tiba-tiba MJK Riau melompat dan berjumpalitan di udara. Tangannya meraih Hanna Chandra untuk dibawa berlari dengan amat cepat. Hanya sekejap jarak ratusan li sudah terlampaui oleh keduanya.
“Ad-ada apa, Kek? Kita mau kemana?” tanya Hanna Chandra bingung, walau diam-diam dia amat kagum dengan ginkang kakeknya yang maha dahsyat ini. Tapi dia heran, kenapa waktu pergi haji kakek tak menggunakan ginkang saja. Bukankah lebih cepat dan terutama sekali: Gratis…!!!
“Kau harus ke Kalimantan, sementara kakek akan ke jurusan yang lain. Darurat sipil,” jawab MJK Riau misterius.
“Ja-jauh sekali, Kek. Memang ada masalah apa? Tapi ginkang Hanna tak akan mampu menuju ke sana dalam waktu singkat.”
MJK Riau terbahak-bahak sambil terus mempertahankan laju larinya. Sungguh sebuah kepandaian yang amat langka, mengingat seseorang jika berlari mempergunakan ginkang biasanya harus mengatur napas sedemikian rupa tanpa boleh sedikitpun tertawa.
“Kau pikir ini zaman Wiro Sableng apa Nduk? Hahaha… Kau ke sana naik Sukhoi bareng kenalan kakek waktu jaman perjuangan kemerdekaan dulu, yang kini telah jadi perwira di angkatan udara.”
Diam-diam hati Hanna Chandra bersorak mendengar dirinya akan naik pesawat keren tersebut.
“Jangan senang dulu, Nduk, karena kau akan turun pesawat dengan cara terjun tandem dari ketinggian 17.000 meter.” Kembali MJK Riau tertawa, sementara wajah Hanna Chandra langsung pucat pasi.
“Ap-apakah kakek bercanda?”