“Ti-titip inn… nniii… Lan… lanjutkan semuanya bersama seluruh kerabat yang ter… sisa… Dari lanjutan cersil ini… kelak kita semua akan paham… betapa amat berharganya nilai diri kita… dan… seluruh… anggota… Pe… na… hek…”
Zoel Z’anwar mati. Tapi wajahnya penuh senyum. Barangkali berwasiat kepada teman kepercayaan memang selalu menenangkan.
Masih dengan terguguk Sam Trader melihat benda yang dititipkan Zoel Z’anwar kepadanya. Sepertinya kitab pedang.
Tapi Sam Trader terlonjak ketika membaca tulisan yang tertera di sampul bagian depan.
“Hah? Kitab ini?!”
Bergegas Sam Trader meraih pedang di pinggang Zoel Z’anwar dan ditariknya keluar dari sarungnya, dan kembali Sam Trader kaget, untuk kemudian semakin terbenam dalam sedu-sedan yang penuh sesal.
“Ternyata kau adalah penerus orang itu, Zoel, hu… hu… hu… Maafkan aku, Zoel… huuuuuuu… Kenapa… hu… kau tak melawan… huhuuuuu…”
Setelah menangis agak lama, Sam Trader bangkit lalu bertabik tiga kali kepada jasad Zoel Z’anwar dengan penuh penghormatan, lalu menunjuk layar hape dan monitor dengan ujung telunjuk yang tepat mengarah ke hidung pembaca sambil memohon, “Tolong lanjutkan perjuangan kami di dunia reka kata…” yang lalu dengan gerakan amat sebat dia menggorok leher sendiri dengan pedang milik Zoel Z’anwar.
Puk-puk hangat di punggung Hanna Chandra menyadarkannya dari pemandangan menakutkan tersebut. Ternyata tangan kakeknya. Sontak Hanna Chandra membenamkan tangis di dada sang kakek.
“Sabar, Nduk… Sabar…” hibur MJK Riau sambil mengusap punggung sang cucu dengan penuh kelembutan.
Setelah surut kesedihannya, Hanna Chandra bertanya kepada sang kakek, “Bagaimana kisah selanjutnya, Kek?”