“Ah, Hanna tahu… Pasti Golok Pembunuh Naga punya Sin Tiaw Tayhiap Yoko dan istrinya Si Cantik Siaw Liong-li…!!” setengah berteriak Hanna Chandra bertepuk tangan sendiri atas kecerdasan tebakannya, yang kembali harus kecewa sebab lagi-lagi kepala sang kakek menggeleng.
“Yang lebih menakutkan dari itu semua adalah… Pedang Tetesan Air Mata, Nduk…” lanjut MjK Riau dengan sorot mata yang jauh menerawang.
“Dan kisah sedih inilah yang ingin kakek bagi kepadamu, dengan harapan kelak kau dapat menemukan kembali pedang sakti itu lalu menggunakannya untuk menegakkan keadilan di tanah pertiwi yang kini penuh rayap dan busuk luar biasa…” harap MJK Riau.
Tertarik luar biasa Hanna Chandra atas prolog sang kakek, hingga tanpa sadar duduknya bergeser ke arah kakek, membuat sang kakek tersenyum penuh mahfum.
“Dahulu waktu masih zaman dungtong, ada seorang pendekar bernama Zoel Z’anwar yang mengembara ke Tanah Jawa. Kesukaannya akan syair dan hujan, serta tindakannya yang agak sadis dalam memberantas penjahat hingga berkubang darah, menjadikan beliau memperoleh paraban Pendekar Syair Berdarah-darah. Hingga suatu hari, kesukaannya yang lain mempertemukan beliau dengan Sam Trader, Cianbunjin Partai Pena Inspirasi yang juga penggila puisi pendek tujuh kata.”
MJK Riau menghela napas sejenak, sebelum kembali melanjutkan ceritanya.
“Sayangnya perkenalan yang akrab tersebut harus berakhir dengan tragedy, yang berakhir dengan pertarungan mereka berdua…”
Kembali MJK Riau menghela napas, yang membuat Hanna Chandra berpikir bahwa tragedi yang akan diceritakan oleh kakeknya pastilah amat mengenaskan hingga membuat beliau terus-menerus menghela nafas.
“Apakah mereka berkelahi karena memperebutkan es dawet, Kek?” sela Hanna Chandra dengan tak sabar.
Dari sedih MJK Riau langsung terbahak mendengar pertanyaan lugu dari cucunya itu. Bagaimana mungkin dua pendekar besar bertarung hanya demi es dawet?
Tapi ia tak menyalahkan sang cucu, karena walaupun usianya sudah mulai beranjak dewasa, namun kehidupan tenang di pedesaan kaki gunung yang jauh dari hiruk-pikuk politik yang penuh kemunafikan, menjadikannya menganggap bahwa es dawet adalah sesuatu yang pantas diperebutkan mati-matian. Seperti kejadian beberapa tahun yang lalu ketika sang cucu tersebut membuatnya repot karena jambak-jambakan di tengah jalan dengan anak gadis kepala kampung, hanya demi memperebutkan segelas terakhir es dawet jualannya Mbok Sarumpaet.