Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Legenda Pedang Tetesan Air Mata

21 September 2015   22:19 Diperbarui: 21 September 2015   22:19 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih seperti pengalaman malam pertama kebanyakan orang, kengerian yang Hanna Chandra rasakan sebelum meluncur di udara tadi perlahan menguap, berganti dengan kenikmatan yang sangat buah sensasi lain yang menerpanya kini. Tak terlukiskan!

Walau agak aneh, tapi Hanna Chandra benar-benar merasakan dirinya bergelayut manja dibawah tali-temali payung terjunnya, dengan hembusan angin yang genit meraba setiap pori yang ada di atas kulit tubuhnya. Belum lagi pemandangan super indah dengan begitu banyak bentuk yang mirip jajaran pegunungan, lembah juga kumpulan hijau serupa permadani yang kian waktu kian membesar dan memperlihatkan bentuk nyatanya sebagai pepohonan hutan.

Syuuutttt…! Hup.

Akhirnya Hanna Chandra mendarat di atas tanah dengan amat cantik. Tapi belum sempat dia melepas payung terjunnya, ketika sebuah erangan yang amat merintih keluar dari gua tepat di depannya.

Dengan agak berjinjit Hanna Chandra mendekati mulut gua, mencoba mengintip ada apa atau siapa di dalam sana, hingga tiba-tiba matanya tertumbuk tubuh sesosok pria yang terus muntah darah bercampur sedikit asap.

Sontak Hanna Chandra meloncat ke sosok yang terluka parah itu. Tanpa ba-bi-bu lagi dia langsung menotok tiga puluh lima jalan darah penting yang ada di dada, serta tujuh puluh sembilan titik nadi di punggung pria tersebut, untuk kemudian tangannya ditempelkan ke punggung si sakit untuk menyalurkan hawa murni.

Tak kurang dari sepeminum kopi lamanya, pernapasan yang penuh sengal berangsur teratur.

“Te… terima kasih atas kebaikan Nona yang telah menolong saya,” ucap pria tersebut sambil berpaling ke arah Hanna Chandra.

“ Tidak apa-apa, Pak. Sudah menjadi kewajiban sesama kaum persilatan untuk… Lho, Mas Aldy…?” kaget Hanna Chandra.

“Hah… Kamu? Mbak Hanna? Yang dulu biasa inbokan di Kompasiana versi lama itu, kan? Wah…”

Sesaat keduanya terpana, untuk kemudian tawa meledak melewati bibir keduanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun