Creng… creng… creng… Tiuuuuuuttttt…
Tiba-tiba terdengar suara kecapi dipetik. Nyaring. Tajam, walau bunyi akhirnya begitu memuakkan seperti suara berpuluh-puluh orang buang gas perut bersamaan.
“Panggilan rapat di pendopo kuning, Menor,” seru Mbah Mupeang sambil melesat dengan amat bergegas.
Sambil misuh-misuh Indira menggandeng tangan Dayat dan berlari dengan ginkangnya yang memang nyaris tanpa tanding.
“Mentang-mentang cerita silat sok-sokan Mandarin dengan berkecapi ria. Kenapa tak memakai angklung atau gending saja sih biar terkesan lebih nusantara…? Huh!”
***
Ketika Indira dan Dayat tiba di pendopo kuning, situasi telah ramai. Bisik-bisik terdengar riuh sambil sesekali menyebut nama Dayat, untuk kemudian kembali menjadi gelombang bisik yang amat berisik.
“Biarkan remaja itu duduk di sampingku, Indira!” seru seseorang yang duduk di bale bambu. Agaknya pemimpin dari mereka.
Hufh. Sekali melayang mereka berdua tiba di hadapan sang pemimpin, yang ternyata… Bay!
Ribut-ribut kembali menggaung lebah. Semua pendekar yang ada di pendopo kuning sontak berdiri dan terkagum-kagum melihat bentuk tulang dan paras Dayat.
“Subarashi!” teriak Weedy Khosino berjepang ria. Buku-buku tangannya yang menggenggam erat gagang katana terlihat agak memutih saking keras dan bersemangatnya dia mencengkeram.