Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fiksi Penggemar RTC] Geger di Tanjung Priuk: Siapa Penjahatnya?

10 September 2015   21:45 Diperbarui: 11 September 2015   04:16 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nomor 26: Ahmad Maulana S.

“Liar sekali imajinasimu! Kau pikir ini tulisan nenek moyangmu, hingga semua tokoh kau tarik dengan seenak wudelmu sendiri…?! ” kecam Adhieyasa seraya melancarkan pukulan Seribu Sawit Menggelinding Bareng ke sosok sengak berhidung gondrong tersebut. Badannya sedikit membungkuk, dengan kelebat warna yang berubah-ubah antara hitam, merah dan perak yang menyelubungi tubuhnya.

“Selamatkan bocah itu terlebih dahulu!” bentak Febri dan Desol berbarengan sambil melontarkan Belati Hawa Nafsu dengan jurus yang sangat keji namun indah memukau, disusul kelebatan Rindy melalui Ajian Gerbong Peluru andalannya yang amat keras kepala berusaha tetap merampas bocah remaja dari tangan sosok sengak tersebut. Sementara dengan kesigapan yang sama Jekey menghantam dengan jurus Tiga Puluh Lima Ribu Megawatt Korsleting Semua.

Tapi menghadapi serangan mematikan dari kelima tokoh aneh tersebut, sosok sengak berhidung gondrong itu hanya tersenyum sinis. Dikempitnya bocah remaja itu di ketiak kiri, untuk kemudian lenggang kangkung dengan santainya ke arah depan.

Tring! Tring!

Dua kali jarinya menyentil ke kanan, membuat belati merah jambu bercampur ungu itu berbalik mengejar pemiliknya, yang dengan amat gugup berjumpalitan menghindar sambil teriak: “Wow…!” layaknya komentar ABG zaman kuno di media sosial. Sementara hantaman ribuan sawit bunglon yang seperti tak putus-putusnya menerjang hanya dipapas dengan kibasan lengan bajunya yang menggelembung penuh hawa sakti.

Duk! Dess! BLAARRR…!!!

Tubuh sosok sengak berhidung gondrong tersebut sedikit terhuyung, sementara Adhieyasa terlempar beberapa tombak dan menghantam tumpukan kontainer hingga melesak, dengan lelehan merah kental yang mengucur deras di ujung bibir.

Duakk!!! Kembali sosok sengak berhidung gondrong itu terhuyung ke belakang ditabrak gerbong peluru Rindy, yang disusul dengan rasa tersengat yang amat sangat buah hajaran Jekey yang memercik api membentuk lambang Gundala Putera Petir.

Tapi ia berhasil mempertahankan bocah remaja tersebut, untuk kemudian dengan langkah zig-zag yang amat aneh dan cepat ia terobos kepungan sambil mencengkeweng si bocah lalu menghilang di kegelapan malam.

“Hah! Langkah Bayangan Mengejar Sinar…!!!” teriak Desol berbarengan dengan Febri.

“Uhuk… Ja… jangan dikejar…Uhuk…Orang itu adalah dia… Uhuk…” cegah Adhieyasa kepada Rindy yang kembali bersiap mengeluarkan Ajian Gerbong Peluru andalannya tersebut.

“Kau tidak apa-apa, Dhie?” tanya Jekey dengan khawatir. Dipapahnya tubuh Adhieyasa untuk dipindahkan ke bagian pelabuhan yang terang untuk diperiksa.

“Luka dalamnya cukup berat,” ucap Febri setelah memeriksa nadi dan pernapasan Adhieyasa. “Mungkin untuk enam bulan lamanya kau tak boleh beraktivitas apapun…” lanjutnya.

“Ah, bagaimana jika kita obati dengan Diksi Penghisap Iblis, barangkali cukup dengan mendeklamasi satu-dua paragraf Rima Penuh Noda dapat langsung mengembalikan separuh kekuatannya?” tawar Desol langsung berancang-ancang mendeklamasikan Ratapan Kerinduan Yang Menohok yang memang merupakan keahlian pamungkasnya.

“JANGAANNN…!!!” teriak Adhieyasa, Rindy, Febri dan Jekey berbarengan, dengan mimik wajah yang jauh lebih memelas dibandingkan wajah anak kos tanggal 20-an.

Sontak rambut Desol njegrig. Tersinggung. Tapi sebelum dia mengumbar emosi, dengan mata yang penuh permohonan Febri menatapnya, membuat rambut yang sekaku lidi itu kembali melemas.

“Biar kuantar Adhieyasa ke Padepokan Sawit miliknya,” ucap Rindy, yang langsung dengan amat sigap membantu Jekey memapah Adhieyasa. “Tapi sebelum itu, kita hubungi Konsorsium Empat Datuk Hantu untuk bersama merencakan ulang semua pergerakan. Dan kalian berdua bertugas menghubungi Datuk Perkebunan. Bilang padanya rencana ini akan menambal operasional perguruannya yang terus merugi secara abadi itu.”

Sebelum Desol dan Febri protes, Rindy dan Jekey langsung melesat, meninggalkan keduanya yang penuh dirundung ketidak puasan. Yang tersisa hanya kata-kata “Kita bertemu di Istana pada purnama yang kedua…!” sebelum semuanya kembali senyap.

“Benar-benar sok kuasa, dia,” umpat Febri dengan amat sengit. “Dikiranya enak apa, berhubungan dengan Datuk Perkebunan yang sok priyayi itu… Kita jadi seperti dipaksa makan kotoran,” gerutunya lagi.

“Menurutmu, Feb, mana yang lebih menyebalkan? Makan kotoran atau orang yang memaksa kita untuk makan kotoran?” tohok Desol tiba-tiba.

Mendengar pertanyaan aneh yang penuh dengan aroma ketidak warasan itu, Febri hanya mampu mendelik layaknya orang yang kelolodan tumis kangkung tapi tak bisa ditelan maupun ditarik keluar. Tetap menyangkut ditenggorokan dan membebani jakun hingga naik-turun dan bergetar tak karuan.

“Kita hubungi Aldy saja di Pang Kehutanan, Sol. Bukankah aliran dia sama-sama pohon dengan Datuk Perkebunan?”

Tapi Desol seperti tak mendengar, tetap meributkan tentang apa atau siapa yang lebih menyebalkan tersebut, tak peduli bahwa Febri telah setengah mati menahan kesebalan terhadap topik anehnya yang mendongkolkan tersebut.

***

Berada dalam kempitan seseorang yang tengah berlari benar-benar tidak menyenangkan! Tapi Dayat tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya merasa bingung, tentang apa sebenarnya semua ini?

Masih terekam jelas dibenaknya saat malam tadi ia tengah asyik ‘membakar panggung’ dengan deretan lagu hits dari Band STANZA besutannya, ketika tiba-tiba kekacauan itu terjadi. Tiga lelaki dan dua orang wanita seperti tumbuh tiba-tiba ditengah panggung mengepungnya. Dan sebelum siapapun mengerti apa yang terjadi, tahu-tahu tubuhnya dipanggul seseorang dari mereka melayang melewati ribuan penonton.

Apakah mereka penggemar fantikku? Alangkah brutalnya penggemar di era yang kini, hingga tak sungkan-sungkan menculik idola mereka tepat di hadapan ribuan fans yang lainnya. Ah, tapi… bukankah penggemarku rata-rata remaja? Dan bukannya orang dewasa seperti yang membopongku saat ini? Atau bapak tua yang berlari mengiring di sebelahku? Atau dua wanita paruh baya yang menjaga dibelakangku ini? Ah…

Tengah asyik Dayat bertanya-jawab sendiri, ketika tubuhnya terasa melayang, terbang, dan mendarat halus di atas tanah beton kasar dengan punggung ditenteng seseorang.

Ada apa lagi ini?

TANJUNG PRIOK PORT

Hah? Bukankah tempat ini yang kemarin geger? Yang jika tidak salah sampai melibatkan salah satu Menko dan bahkan Wakil Presiden? Dan berakhir anti klimaks dengan korban salah satu petinggi kepolisian sebagai efek dominonya?

Kembali Dayat melihat sekeliling, dan kembali dia terkejut.

Dilihatnya orang-orang yang tadi menculiknya kini membentuk formasi mengepungnya.

Bukan mengepungnya, melainkan mengepung sosok yang baru saja menculik ulang dirinya dari grup penculik sebelumnya, mengingatkan kepada sejarah penculikan di negeri yang baru saja giat berbenah akhir-akhir ini.

Ada apa ini? Apa maksud mereka dan kenapa harus aku? Lalu…

Belum lengkap kebingungannya diuraikan, ketika tiba-tiba ia merasa dadanya begitu sesak. Sekilas ia melihat sosok yang menculiknya pertama kali bergerak-gerak seperti mengeluarkan begitu banyak buah sawit warna-warni dari tubuhnya, sebelum semuanya menjadi gelap, hingga akhirnya kini ia merasa dikempit seseorang yang berlari dengan amat pesat.

“Indira…! Mupeang…! Tolong lindungi anak ini dari kuntitan orang…!” ucap si pengempit sembari melemparkan tubuh Dayat ke dua orang yang tengah asyik-masyuk bermain catur.

“Hey… hey… hey… ada apa ini…!” seru Mbah Mupeang sambil menimpuk beberapa bidak catur ke tubuh Dayat dengan gerakan Bang Haji Berdendang Jangan Begadang.

Ajaib, Dayat merasa ada suatu arus tenaga meledak-ledak yang menyelusup dari titik tubuhnya yang baru saja terkena timpukan pion, hingga membuatnya spontan berjumpalitan dan mendarat di bangunan pendopo tanpa kurang suatu apapun.

“Hak… hak… hak… Ternyata kau berhasil membawa bocah ini, Bay… Hak… hak… ha-hey! Kenapa kau…?!” Secepat kilat Mbah Mupeang menangkap sosok sengak berhidung gondrong yang hampir rubuh itu. Jemarinya bergerak cepat menotok beberapa jalan darah penting, sebelum akhirnya menghembuskan napas lega. Bergantian dengan Indira yang entah sejak kapan merangkapkan tangan dipunggung si Bay ini, dan menyalurkan iwekang Hati Gadis Suci aliran Kobongpay dengan amat khusuk hingga uap tipis melayang di ubun-ubun keduanya. Sementara Dayat hanya bisa terpaku dalam diam yang semakin bingung.

Tak terasa seperempat jam berlalu dengan penuh kecemasan, hingga akhirnya…

“Huakkk…!!!”

Sosok sengak berhidung gondrong tersebut memuntahkan beberapa gumpalan darah hitam, sebelum akhirnya benar-benar siuman.

“Hampir saja nyawamu dipinjam oleh Giam Lo-ong, Bay, ternyata umurmu memang tak kalah gondrong dengan hidung betetmu itu, hak… hak… hak…” gelak Mbah Mupeang menertawai lelucon garingnya sendiri. Sementara itu Indira telah selesai bersuillan mengembalikan hawa murni yang tadi banyak terkuras, dan membawa sosok sengak berhidung gondrong tersebut beristirahat di pendopo perawatan.

Sepeninggalnya Indira dan sosok sengak berhidung gondrong, Mbah Mupeang menatap tajam ke arah Dayat dengan mata beluluknya yang penuh aura selidik.

“Kemari kau, Nak.”

Dengan takut-takut Dayat beranjak menghampiri.

“Seb-sebenarnya tentang apa semua ini, Paman…?” tak tahan Dayat bertanya, walau masih dengan rasa takut yang sama besarnya seperti tadi.

“Hak-hak-hak… Ini semua murni cuma trik catur sederhana… Nih lihat, harusnya Si Menor Indira melangkahkan kudanya kesini lalu menyerang dengan peluncur, dan diakhiri dengan manisnya menaruh benteng di sini. SKAK MAT. Sesederhana itu, dan benar-benar hanya butuh tiga langkah kecil untuk mematikan lawan. Sayangnya dia terlalu keminter dan menganggap semua tindakanku adalah tipu-tipu kelas atas hingga membuatnya terkeder-keder sendiri, hak-hak-hak…”

“Ma-maksud saya bukan tentang catur ini, Paman, melainkan tentang kenapa saya dibawa ke sini?” terang Dayat, setelah sebelumnya terbengong-bengong sendiri mendengarkan trik catur yang amat tak nyambung dengan kejadian penculikan dirinya.

“Hak-hak-hak…” Kembali Mbah Mupeang terbahak-bahak.

Tapi tiba-tiba tawanya terhenti, dan dengan suara yang amat misterius Mbah Mupeang kemudian bertanya, “Tahukah kau mengapa kami bawa ke sini, Nak?”

Kontan Dayat ingin teriak, “Haddeeehhhh…!!!” keras-keras. Betapa tidak? Alih-alih tanyanya berjawab, justru ia kini yang diberondong ulang dengan pertanyaannya sendiri. Agaknya dunia memang benar-benar telah tua…

“Sudah… sudah… Tak usah lagi kau goda anak itu, Mupeang…” entah sejak kapan, tahu-tahu Indira telah duduk kembali di tempat semula dan mulai memindahkan biji catur sesuai dengan arahan Mbah Mupeang kepada Dayat tadi, yang akhirnya dengan amat mudah memenangkan pertandingan tepat tiga langkah. Tidak kurang dan tidak lebih, membuat Mbah Mupeang menggaruk kepalanya sendiri tanpa bisa berkata apa-apa lagi

Creng… creng… creng… Tiuuuuuuttttt…

Tiba-tiba terdengar suara kecapi dipetik. Nyaring. Tajam, walau bunyi akhirnya begitu memuakkan seperti suara berpuluh-puluh orang buang gas perut bersamaan.

“Panggilan rapat di pendopo kuning, Menor,” seru Mbah Mupeang sambil melesat dengan amat bergegas.

Sambil misuh-misuh Indira menggandeng tangan Dayat dan berlari dengan ginkangnya yang memang nyaris tanpa tanding.

“Mentang-mentang cerita silat sok-sokan Mandarin dengan berkecapi ria. Kenapa tak memakai angklung atau gending saja sih biar terkesan lebih nusantara…? Huh!”

***

Ketika Indira dan Dayat tiba di pendopo kuning, situasi telah ramai. Bisik-bisik terdengar riuh sambil sesekali menyebut nama Dayat, untuk kemudian kembali menjadi gelombang bisik yang amat berisik.

“Biarkan remaja itu duduk di sampingku, Indira!” seru seseorang yang duduk di bale bambu. Agaknya pemimpin dari mereka.

Hufh. Sekali melayang mereka berdua tiba di hadapan sang pemimpin, yang ternyata… Bay!

Ribut-ribut kembali menggaung lebah. Semua pendekar yang ada di pendopo kuning sontak berdiri dan terkagum-kagum melihat bentuk tulang dan paras Dayat.

“Subarashi!” teriak Weedy Khosino berjepang ria. Buku-buku tangannya yang menggenggam erat gagang katana terlihat agak memutih saking keras dan bersemangatnya dia mencengkeram.

“Wah… tenyata bocah itu sangat tampan.” Seru Wahyu Sapta Si Pendekar Angan Yang Ingin, bersebelahan dengan Ay Mahening yang tak putus-putusnya menggunakan Ajian Memandang Tanpa Bulu.

“Fisik aja lu Wahyu, lihat dong perawakannya… Benar-benar tulangan yang bagus untuk menjadi seorang pendekar tanpa tanding!” kecam Mike Reyssen sambil berulang kali menelan air liur seperti harimau betina melihat anak kambing.

“Jika dilihat dari kurasi keseluruhan tubuhnya, jelas remaja ini lebih cocok menjadi pewarisku,” Serobot Yosmo Si Datuk Kurator.

“Setidaknya kubawa dulu berkeliling gunung dan rimba, juga mencicipi karang terjal lewat climbing di sana” ucap Den Bhaghoese sambil menyebut lokasi favorit para climber berlatih border.

“Buang-buang waktu! Mending langsung kubawa ke BEI untuk menggebrak dunia perpialang sahaman dan keuangan, dijamin dolar sialan itu akan langsung mengkeret ditendang rupiah,” sergah Bli Putu tajam, akurat dan terpercaya.

“TENANG SEMUA… PEMIMPIN INGIN BICARA…!” suara koor lima orang kembar mengumandang meredam kebisingan. Rupanya Anhus Anhis Anhus dan lima bayangan mayanya yang amat lucu itu, walau entah mengapa hari ini dia dan saudara virtualnya terlihat begitu berwibawa.

Bay si sosok sengak berhidung gondrong mengangguk kepada Mbah Mupeang, yang langsung mengambil alih forum dengan tawa khasnya yang agak menyebalkan.

“Hak-hak-hak… Seperti kalian semua tahu tentang trik catur…”

“Jangan bertele-tele, Mupeang, langsung saja ke pokok tujuan!” tukas Indira dingin, paham jika Mbah Mupeang mulai berbicara tentang trik catur maka dijamin waktu makan malam akan bergeser mengganti sarapan.

“Huh! Baiklah… Sudah diputuskan sebelumnya bahwa bocah yang bernama Dayat ini akan dididik pertama kali oleh Si Master Pornoaksi Ilmu-Ilmu Peternakan di Jogja…!”

Forum pendekar kembali hingar, penuh dengan interupsi serta teriakan ketidak puasan.

Bay si sosok sengak berhidung gondrong menjentik ke sosok di belakangnya, yang setelah mengangguk kecil langsung berdiri di sebelah Bay dan mengeluarkan raungan Seciap Bagai Ayam Sedencing bagai Besi, sejenis dengan auman singa kepandaian khas dari aliran para Biksu Budha.

“BERANTAS MAFIAAA DAN SETENGAH MAFIAAA DI PELISTRIKAAANNNNN… ROARRRR…!!!”

Akibatnya sungguh dahsyat. 17 saka penahan pendopo langsung bergetar hebat, sementara 8 usuk dan belandar langit-langit bergoyang tak henti-henti, dengan 45 genting yang beterbangan dari atap pendopo dan berputar membentuk puting beliung sebelum akhirnya meletup dan terserak menjadi serpih debu.

Suasana langsung mencekam, memperdengarkan engah napas Dayat yang wajahnya masih terpucat-pucat walau tadi telah dibantu aliran tenaga dalam oleh Indira.

“Cukup, Rejal…” ucap Bay seraya memandang satu-persatu perwakilan pendekar tanah air yang ada di depannya.

“Kenapa dia ada di sini, Pem?! Bukankah dia telah menjadi orang istana kini?!” jengit seseorang berbarengan dengan melompatnya satu tokoh tua ke tengah pendopo dengan amat gagah.

“Ya! Benar Ki Axtea! Dia sekarang telah menjadi salah satu pentolan dari Kabinet Pembising di Istana…!!! ” suara yang lain kembali terdengar.

“Benar…! Benar…!!!” teriak yang lainnya lagi dengan suara yang sahut-menyahut, mengingatkan pada efek echo di audio murahan yang sengau.

Kembali Bay mengangkat tangan, dan kembali suasana menyirap.

“Aku yang memerintahkannya untuk mengabdi ke Istana, karena Raja yang berkuasa sekarang terlalu halus perasaannya hingga butuh Meminjam Tangan Untuk Menabok” terangnya.

Suasana kembali sunyi, sebelum akhirnya dipecahkan oleh Mike Reyssent, “Tapi kenapa Dayat harus berguru pada Master Pornoaksi Ilmu Peternakan, Pem? Bahkan dari gelar dan parabannya saja sudah begitu tak sedap di dengar, saya khawatir kelak Dayat akan tertular menjadi pribadi yang porno dan cabul juga…!”

“Benar…! Benar…!!!” teriakan para pendekar kembali bersahut-sahutan. Ada nada kekhawatiran dan ketidak puasan di dalamnya.

Kali ini Dayat turut penasaran dan memandang sosok berhidung gondrong yang menjadi pemimpin para pendekar lintas suku bangsa ini.

Tapi sosok berhidung gondrong ini kembali mengangkat tangan ke udara, membuat Dayat berpikir centil, apakah Sang Pemimpin ini sebenarnya tengah mengiklankan sebuah produk anti bau ketiak secara diam-diam?

“Tahukah kalian sebab apa beliau diberi julukan Master Pornoaksi Ilmu-Ilmu Peternakan?” Tanya Bay, yang setelah beberapa saat ditunggu tak ada yang memberi jawaban, kembali dia melanjutkan kalimatnya, “Karena beliau selalu mengajarkan semua teori dan praktek kepada perguruannya di media sosial secara gratis dan tuntas hingga ke cawet-cawetnya, tanpa ada satupun ilmu yang beliau sembunyikan, dan bukannya karena watak beliau yang porno atau cabul…”

Ratusan “Ooo…” serentak bergema tanpa dikomando mendengar penjelasan Sang Pemimpin. Dan sebelum ada lagi yang interupsi, sosok berhidung gondrong itu kembali melanjutkan pembicaraannya.

“Saya paham bahwa masih terlalu banyak hal yang butuh dikoordinasi ulang dalam pertemuan ini, tapi saya berharap atas nama sumpah setia bersama yang kita lakukan kemarin ketika mendaulat saya menjadi Sang Pemimpin di Liga Pendekar Tanah Air, percayalah bahwa apa yang saya lakukan kini telah sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dan pernah kita rumuskan bersama.”

“Negara membutuhkan kita,” lanjut sosok berhidung gondrong itu. “Saya akan pergi dahulu ke Jogja bersama Dayat untuk mengadopsi kemandirian, dan setelahnya Ciheras menjadi lokasi yang paling beperan penting bagi penciptaan swasembada listrik dan energi berbasis non migas yang tak akan pernah bisa habis di negeri ini.”

“Bagaimana dengan kami semua, Pem? Apa yang harus kami lakukan di sini?”

“Dua bulan lagi saya akan kembali, dan saat itu saya ingin kalian telah merumuskan ulang kepandaian pamungkas kalian dalam bentuk Program Pelatihan Kanuragan Berbasis Akselerasi berdurasi dua minggu, sebab paling lambat sebelum pemilu Dayat sudah harus siap menjadi apapun dan siapapun…!”

Situasi kembali heboh, dengan kepanikan besar yang menggaung lewat begitu banyak mulut yang berebutan untuk bersuara.

“Bagaimana mungkin meringkas kepandaian tunggal andalanku yang butuh latihan 40 tahun ini menjadi hanya 2 minggu?”

“Kau masih mendingan. Ajian Serpihan Mutiara Somplak dan gabungan jurus Musyawarah Bebek milikku justru butuh 61 tahun latihan siang dan malam tanpa henti untuk benar-benar bisa menguasainya.”

“Bagaimana dengan Bambu Runcing Memiting Kepinding andalanku? ”

Serta masih banyak lagi ungkapan panik lainnya yang hingar di sana-sini, yang terpenggal buah pamit Sang Pemimpin.

“Saya pergi dulu… Mupeang dan Indira, waktu kalian dua jam untuk mengumpulkan bahan multijus yang kita bicarakan kemarin. Jangan lupa bawa serta ginseng jawa sakti, kencur mustika serta temulawak berusia ribuan tahun di pendopo obat.”

“Siap, Bay…!”

“Kau Rejal, koordinasi seluruh pendopo di sela waktu ngantormu di Istana, dan laporkan semua secara berkala pada saya. Jangan lewat medsos, tapi gunakan jaringan telepati level 11 agar tak terlacak…!”

“Siap, Pem, roarrr…!”

“Dan kalian semua jangan lupa, waktunya hanya dua bulan untuk mempersiapkan pelatihan, karena kita semua ingin Dayat benar-benar siap beberapa waktu sebelum euforia pemilu, agar tak ada lagi celah sedikitpun bagi mereka yang ingin mengulang kembali kesuksesan memecah belah bangsa…!”

Seketika seluruh pendekar menjawab, “SIAP, PEM…!!!” dengan sangat menggelegar, yang setelah gemanya mereda, sosok sengak berhidung gondrong tersebut telah menghilang bersama Dayat.

“Langkah Bayangan Mengejar Sinar…!!!” seru mereka berbarengan dengan amat kagum, sebelum semuanya kembali sunyi. Sunyi yang menyimpan geger baru tepat tujuh bulan kemudian, dalam kisah Liga Pendekar Tanah Air Mengguncang Nusantara pada posting yang entah ke berapa setelah kisah yang ini…

 

Secangkir Kopi Legenda Silat Indonesia, Thornvillage, Kompasiana, DARemaja, 10 september 2015.

(Posting kenang-kenangan buat semua sahabat di Kompasianer…^_)

 

Karya Ini Orisinil dan Belum Pernah Dipublikasikan, suwweeerrrrr…^_

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun