Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelajaran yang Bisa Diserok dari Mengikuti Even Fiksi ‘Aku Punya Impian’ di Kompasiana

8 Juli 2015   04:01 Diperbarui: 8 Juli 2015   06:17 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itu ucapan sosok yang lainnya lagi, yang kabarnya memiliki nama William Strunk, Jr, yang jika rajin nge-search maka jelas bukan perkara yang amat rumit untuk mengetahui siapa dia sebenarnya, walau memang seringkali kita telah menjadi begitu pemalas, yang bahkan untuk mencari tahu tentang diri sendiripun amatlah enggan…^_

Apakah setelah memperoleh pemahaman ini saya kemudian langsung menjadi orang yang paling hebat dalam ber-fiksi mini? Emmhhh... dengan tersapu sipu saya jawab: Enggak. Terutama jika dilihat dari karya perdana saya yang berjudul, "Monolog Luka" yang cukup memalukan seperti yang diposting sebelum ini. Mungkin lebih tepatnya: Memilukan. Hiks...

Karena -seperti juga pengetahuan dan apapun yang lainnya- ini cuma sekedar alat. Dan memiliki sebuah pahat bukankah tak lantas menjadikan seseorang bermetamorfosis secara otomatis sebagai pemahat terbaik di seantero jagat? Karena memang butuh lebih dari sekedar keilmuan untuk bisa menjadi pintar juga benar. Barangkali latihan. Atau bisa jadi penghayatan. Entahlah... Tapi setidaknya, memiliki sesuatu jelas masih jauh lebih baik dibandingkan jika tidak memilikinya.

Tinggal waktu yang kelak kembali menjadi Tukang Cuci, apakah sesuatu itu memang pantas kita miliki hingga kemudian terus berkembang serta bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi sekitarnya, atau justru kitalah si pandir, yang tak akan pernah mampu untuk walau sekedar menerapkannya, alih-alih mengembangkannya. Mirip seperti kepemilikan kita terhadap kekayaan Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi ini bukan, Kawan? Uhuk...!

“ Tapi ini adalah sastra, Bung…! Yang nilai seninya justru baru akan terlihat nyata ketika kita banyak menggunakan deretan gerbong kata yang kepompong-kepo-rempong seperti Burung Hong, dengan muatan warna serta nada diksinya yang cantik-menggelitik, juga yang liris-puitis-estetis, serta entah akhiran ‘is’ apalagi yang lainnya, yang…”

Saya cuma tersenyum arif mendengar kalimat yang penuh dengan aura gugat dan protes itu. Maksud saya bukan arif yang bermakna bijak, melainkan arif yang -katanya- menurut boso wong jowo tuh artinya: Ngantuk.

Toh hikmah memang milik siapa saja yang memang berminat untuk menghirupnya. Tapi jelas tak akan pernah sekalipun menjadi milik dia... yang lebih suka untuk meributkannya.

Terima kasih Kompasiana. Terima kasih Desol, fiksianers, kompasianers, juga Pak Erte (haha...). Dan terutama sekali, terima kasih, Tuhan, karena telah memberi saya dini hari ini nikmat mengopi sambil berbagi kata juga hati kepada teman-teman di ruang maya ini, sementara pada kesempatan yang sama nun di belahan bumi yang berbeda, masih banyak sosok-sosok yang bahkan untuk merasa sehat dan waraspun sudah amat kesulitan!

Salam hangat perkawanan…^_

 

Secangkir Kopi Memetik Hikmah Dini hari, Kompasiana-2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun