Kampung mati. Tanah kerontang dan rumah-rumah kosong. Semua penduduk mengungsi ke kota karena alam tak bisa lagi dimanfaatkan.
Aku menelusuri jalanan, berharap ada tumbuhan atau apa pun yang bisa dimakan. Hingga di sebuah gubuk, terdengar rintihan. Kubuka pintu lapuknya. Di atas lantai tanah, anak-anak kucing menggeliat.
"Satu, dua, tiga... delapan ekor!" pekikku. Bahagia, takjub, dan heran campur aduk.
"Kau heran tidak ada induknya?" tanya seorang kakek dari belakangku. "Induk-induk kucing ikut majikan mereka ke kota," lanjutnya.
Kakek tua itu bakal mengurangi jatahku. Aku kira sudah tak ada orang.
"Kau lapar, bukan? Aku empat. Kau empat...," ucapnya sembari mengangkat anak-anak kucing. (lathifahedib)
Dari even fiksi di Kompasiana ini saya jadi lebih banyak belajar, bahwa seni menulis flash fiction mengajarkan kita tentang nilai kejujuran dan kesederhanaan, sebagaimana makna sejati cerita fiksi itu sendiri, seperti yang pernah diucapkan oleh dedengkot fiksi mini yang juga terkenal akan buah ketiknya yang berjudul ‘The Old Man and The Sea’ yang amat fenomenal itu.
“Cerita fiksi itu cuma 6 kata, selebihnya hanya imajinasi (Ernest Hemingway).
“Kalimat harus tidak mengandung kata-kata yang tidak perlu, paragraf tanpa kalimat yang tidak perlu, karena alasan yang sama bahwa sebuah gambar seharusnya tidak perlu garis dan mesin tidak ada bagian yang tidak perlu.”