Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelajaran yang Bisa Diserok dari Mengikuti Even Fiksi ‘Aku Punya Impian’ di Kompasiana

8 Juli 2015   04:01 Diperbarui: 8 Juli 2015   06:17 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai penikmat wanita, aeh… maksud saya penikmat kutak-katik kata, sebelumnya saya tak pernah tergiur sedikitpun terhadap yang namanya flash fiction alias fiksi mini, karena saya berpendapat sastra adalah sebuah ‘pelepasan’, yang tentu saja tak boleh dikhianati oleh sekedar pembatasan jumlah kata serta aturan main yang lainnya. Sebab jika itu yang terjadi, namanya bukan pelepasan melainkan pengungkungan…^_

Hingga akhirnya di selasar Kompasiana, saya melihat banyak sekali postingan fiksi berawalan [FAPI] di depan judul, yang ber-pradaksina secara amat ajaib, yang langsung membuat membuat mata sipit saya kian sepat kriyap-kriyep tak karuan.

Iseng, saya klik beberapa. Ternyata even fiksi. Waini…!

Akhirnya, tanpa tahu hadiahnya serta apa saja aturan mainnya, saya latah turut nyemplung dan langsung berkubang kata bersama peserta yang lainnya. # Serasa jadi kerbau, eh…^_

Tapi masalah kemudian muncul ketika saya coba mengulik karya beberapa peserta, hanya demi mengetahui makhluk ghaib apa sih fiksi mini itu sebenarnya?

Hasilnya? Baru dapat bingungnya, doang, kawan, karena dari sample yang ada saya tak menemukan bentuk utuh seperti apa sebenarnya creature hasil kesepakatan manusia yang bernama fiksi mini tersebut. Ada yang terlihat sama seperti cerpen biasa, ada yang serupa outlines dan atau penggalan cerpen, bahkan ada pula yang mirip humor seperti yang banyak berkeliaran di perkampungan maya.

Akhirnya kembali saya kelayapan ke tetangga sebelah. Dan bersualah yang seharusnya ketemu.

Ooh… Jadi kayak begini toh wadag kasar dari yang namanya fiksi mini…? Gumam saya sambil anggut-anggut layaknya burung ocehan dicetrekin jempol dan telunjuk sama pemeliharanya.

Dan anggut-anggut saya semakin jarang terayun seiring dengan habisnya beberapa laman yang menyajikan kudapan tentang fiksi mini, lengkap dengan beberapa contohnya, yang langsung mengusir anggat-unggut saya seketika itu juga lalu berbalik mengundang begitu banyak deretan decak, “Wuih…!” buah keheranannya.

Betapa tidak? Tak seperti ayam cebol yang tampak wagu walau lucu akibat keterbatasan fisiknya, fiksi mini justru sebaliknya: Melebarkan sayap kalimat dengan justru mengecilkan jumlah katanya, What a wonderful word…!!!

Dari banyak laman hebat itu pulalah akhirnya saya suntuk sebagai murid –walau tentu saja tanpa kantuk seperti yang biasanya menjadi tren menular di kalangan anak sekolahan- yang coba mati-matian membangun imajinasi  tentang sastra yang lebih terkini, dalam bentuk yang lebih mini,  serta -saya pikir: Lebih efektif dan efisien dalam mengolah kata tanpa perlu banyak bemasturbasi huruf, hanya demi menghadirkan latar kisah dengan rangkaian kalimat yang tak diperlukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun