Metode lebih baik daripada isi. Bukan saya yang bicara, melainkan si tua HAMKA yang seringkali namanya kita temukan dalam peta sejarah dan sastra Indonesia. Masih dengan kutipan yang itu pula saya yakinkan bahwa selama masa aktif saya di Dunia Pendidikan, saya belum pernah menemukan satupun efek buruk dari isi yang terlalu tinggi kala diberi kepada siswa-siswa mungil tersebut, seberat atau se-nyeleneh apapun muatan yang ada di dalamnya.
Silahkan kau klik facebook Rheta Rxxxfiiifffxxx, siswa pertama saya yang pernah menggegerkan lingkungan ketika dengan atraktifnya membaca koran di teras rumah saat masih berusia 4 tahun, yang kini tengah duduk dengan nyamannya di SMPN 216 jakarta Pusat.
Atau dengan usia yang sebaya, seluruh angkatan dibawahnya mampu menyelesaikan 40 soal matematika tingkat SD semester II, hanya dalam waktu rata-rata sepuluh menit, dan menulis rapi dengan menggunakan pensil isi ulang ukuran 0,5 tanpa harus sering patah.
Atau dengan cara yang relatif sama dapat kau telusuri siswa lainnya yang ketika masih menjabat sebagai siswa kelas 5 SD, telah mampu menyelesaikan modul Bahasa Inggris setebal Al Qur’an terjemahan yang biasa digunakan oleh mahasiswa Program Bahasa. Dan sebagainya-dan sebagainya yang semoga saja menjadikan segala kekhawatiran tentang usia muda tak lagi bertahan lama. Walau bukan berarti dengan serampangan kita bebas mencekoki anak batita dengan materi broadcasting, misalnya.
Bahkan hingga hari inipun masih sering kita jumpai cukup banyak siswa yang notabene telah cukup usia, merasa ngap dan gelagapan mempelajari penjumlahan dasar yang paling sederhana, hanya karena metode dan atau teknis-teknis lainnya yang digunakan begitu menekan. Sementara perhitungan angka dengan bobot yang lebih tinggi tetap mampu diserap sambil tertawa oleh siswa usia dini, dengan metode tarian jari, contohnya. Karena, sekali lagi, bukan isinya yang mesti ditakuti, melainkan metode yang dijadikan mode. DAN BUKANKAH UNTUK MENDIDIK MANUSIA, KITA HARUS PULA MENJADI MANUSIA...??!!!
Untuk Hidden curriculum, ada baiknya kau tengok Nuril Hxxxfiiifffxxx. Murid TK yang cantik menggemaskan dengan senyum bandelnya ini siapa sangka telah memiliki track record mendaki gunung yang jauh lebih luas, bahkan jika dibandingkan dengan saya sebagai pendaki yang cukup aktif pada masanya sekalipun...! Menguatkan kesadaran betapa lahir duluan memang bukan jaminan untuk menjadi yang terdepan.
Cara Si Nuril jelas menarik minat saya untuk diterapkan terhadap mini me kelak. Setidaknya dengan model itu si kecil jadi bisa lebih dalam mengenal alamnya, yang dalam beberapa waktu ke depan siapa tahu telah di klaim dan atau dikuasai oleh negara lain?
Atau dengan keanehan seperti yang pernah ditimpakan takdir terhadap saya, saya ajak mini me untuk turut menjadi pangeran kodok. Berlompatan kian kemari menapak-tilasi setiap lokasi yang pernah saya singgahi: Lengkap dengan segala macam peradaban dan pelaku sejarahnya. Dan untuk selebihnya? Paling-paling saya hanya perlu meningkatkan kesabaran hingga setingkat begawan, saat menarik masuk si kecil ke dunia digital dan memoderatori hingga dia mampu membuat minimal blog pertamanya, sejak usia dini. Mudah-mudahan dengan cara sederhana ini dapat mempermudah jalannya kelak untuk menjadi Warga Dunia, yang tentu saja tanpa lengah terhadap Kampung Akhirat.
“Lho... Kalo engga sekolah ga punya ijasah dunk, Bay...? Apa kata dunia...!!!”
Sambil menggerutu panjang pendek hingga mulut kisut karena sebal dengan pertanyaan ini –seakan memang tak ada lagi topik lain yang lebih menarik- saya tekan angka-angka pada perangkat ajaib seluler saya. Dan setelah suara di seberang saluran menyepakati jumlah rupiahnya, mungkin sore nanti ‘kertas sakti’ tersebut sudah akan tersaji dengan amat nyamannya di bingkai ruang tamu saya.
Atau dengan cara yang lebih sopan dan terhormat saya dapat mengikut sertakan Si Kecil dalam program home schooling yang pernah dimotori oleh Kak Seto. Atau mengekor jejak anti mainstream-nya Si Andri Rizki Putra yang karena mutung akibat kecurangan UN di SMP, melabrak Dinas Pendidikan, hanya demi meyakinkan bahwa dia tetap bisa mengikuti ujian kesetaraan dengan pola pendidikan seperti itu. Bahkan, dia tertantang mengambil ujian paket C setara SMA dengan sistem akselerasi, yang membuatnya menjalani pendidikan tingkat SMU hanya dalam kurun waktu 1 tahun saja: Dengan menghabiskan biaya pendidikan yang ‘HANYA’ sebesar Rp. 100.000,- saja. Serta banyak lagi cara lain yang intinya mensahkan secara administratif tentang pendidikan anak saya kelak. Apa susahnya? Begitu aja koq repot-repot...^_