Apa susahnya memberi bekal pendidikan bermutu bagi sang buah hati...? Dan untuk urusan yang sepenting itu, tentu saja saya tak akan menyerahkannya kepada sekolah…! !!! Sementara dengan amat nyamannya saya banting-banting tulang dan memerah lelah seakan-akan hanya dengan cara itu nafkah keluarga barulah bisa terjaga.
Ada begitu banyak jalan menuju Roma, yang jika kita memutar sedikit mungkin akan sampai juga ke Mekkah atau ke desa nenekmu, misalnya. Dan pengetahuan tentang aneka macam jalan itu seringkali menjadikan saya merasa kaya, terlepas dari jumlah rupiah yang ada dikantung saya atau berapapun digit yang tercetak dalam buku rekening bank saya.
Dengan pengetahuan yang amat sederhana itu saya tetap yakin bisa seperti Yohannes Surya, dedengkot Olimpiade Fisika Indonesia yang mengajari materi eksakta kelas 3 SD kepada anaknya yang baru berusia lima tahun.
Dengan keyakinan yang sama pula saya dapat membuat tim kecil Instruktur Tiga Bahasa Besar Dunia dengan pencapaian seperti yang telah saya tulis dalam bagian kedua kisah ini, yang semuanya tetap dengan alokasi penggunaan waktu yang tak akan memenggal sedikitpun masa kanak-kanak buah hati saya tersebut.
Kurang lengkap? Dengan anggaran yang fleksibel dan amat minimalis saya dapat memindahkan lab peternakan dan perikanan menjadi kebun binatang pribadi yang setiap saat bisa diteliti, yang mungkin jauh lebih lengkap atau setidaknya lebih ril dan membumi dari lab yang dimiliki sekolah manapun.
Atau sambil saya gendong saya ajak si kecil merebus air dan mengamati secara langsung perubahan fisika yang terjadi dari cair menjadi gas, yang lantas setelah agak dingin, dengan bahan yang tadi juga kembali saya jinjing bocah itu menuju kulkas untuk paham proses membeku, yang setelah ditinggal sejenak untuk menonton acara TV kegemarannya, kembali saya ajak si mungil untuk menaruh es batu yang tadi itu ke dalam sebuah wadah, dan memperhatikan betapa udara di sekitar wadah itu dapat mengembun dengan arifnya, dengan proses mencairnya es batu tersebut sebagai double effect-nya. Adakah metode pengajaran yang lebih mengakar dan termarjinal kuat melebihi ini…?
Dengan proses yang sama sederhananya saya masih dapat pula membuatnya mahir merekayasa senter. Entah itu dari barang bekas dan seadanya atau dari benda-benda yang mutlak didapat dari toko. Sambil sesekali saya selipkan tentang rangkaian seri dan pararel, yang tentu saja telah saya sesuaikan bahasanya dengan dunia si bocah.
Membuat alarm pribadi? Kenapa tak langsung dibopong saja ke daerah Glodok dan memborong bahan-bahannya yang cuma seharga gocengan itu...? Membatik? Bikin Gerabah? Kerajinan lilin? Origami dan Ikebana sederhana? Pengetahuan sejarah? Atau perlukah saya sebutkan semuanya hingga mulut berbuih-buih dan penuh busa...?
Dan semua itu bisa saya lakukan bersama si kesayangan saya itu, bahkan sejak usianya masih amat belia, tanpa perlu direpoti dengan segala macam prasyarat dan ketentuan seperti yang termaktub dalam GBPP dan sebagainya. Atau menunggu hingga umur tertentu seakan-akan waktu adalah penentu mutlak keberhasilan dari semua kegiatan.
“Gak terlalu muda, Bay...? Nanti ada efek negatifnya pegimana...?”
Tolong jangan tanyakan hal itu kepada saya. Tapi bertanyalah dengan tujuan memperoleh jawaban kepada Glen Doman, dan bukan bertanya demi mempertahankan pendapat yang selama ini diyakini pribadi. Dan jika pembahasan dari pakar syaraf dan pengembangan anak tersebut masih tetap menyisakan keraguan, ada baiknya kita kembali kepada diri sendiri dan bertanya dengan lebih jujur mengapa kita harus terus merasa takut terhadap ‘isi’, dan bukannya justru lebih mewaspadai ‘metode’ yang dipakai...?!