Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revisi Kecil-kecilan di Dunia Pendidikan, Agresi Besar-besaran di Dunia Bisnis

7 Juli 2015   03:25 Diperbarui: 7 Juli 2015   03:25 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan dengan semua keanehan yang saya miliki tersebut, yang diperlengkap lagi dengan segala rentang dan jaring yang saya punya, pengetahuan tentang dunia pendidikan yang saya geluti itu jelas tak akan kalah, bahkan oleh seorang praktisi senior dengan golongan IIIC sekalipun...! Yang menurut pengakuan beliau bahwa hanya setingkat Mendiknaslah yang bisa memecat beliau. Mungkin dengan bahasa yang lebih gaul beliau ingin menekankan bahwa posisi yang dimiliki nyaris seperti dalam dunia AL Pacino dengan julukan yang biasa dikenal dengan... The Untouchable!

Tentu yang saya maksud adalah pengetahuan saya tentang dunia pendidikan secara umum, dan bukannya jam terbang saya di dunia belajar-mengajar yang bisa saja baru serupa pengantin baru. Walau ketika datang sengak saya, saya berani menjamin bahwa belum tentu si golongan IIIC tersebut mampu untuk mendapatkan berlembar-lembar kertas berisi informasi tentang begitu banyaknya daftar sekolah se-Jakarta lengkap dengan alamat, nama Kepsek dan nomor telepon masing-masing, yang nyatanya bisa dengan amat mudah dan cepat tergeletak di meja saya melalui bantuan salah satu rekan terbaik saya yang non pendidik.

Tak sekedar mengetahui bau anyir yang terus menghambur dari dunia pendidikan yang disebabkan oleh para oknum praktisinya, atau dari sistem pendidikannya itu sendiri yang seringkali meluapkan cukup banyak ketidak sepahaman, kali ini saya kembali tertampar. Dan tamparan yang ini amat terasa pedasnya hingga terus mengendap dalam hati terkecil saya...!

Tak terasa banyak tahun sudah saya berkecimpung dalam dunia yang menurut sebagian orang adalah dunianya para ulama, sementara bagi sebagian orang yang lainnya lagi tak lebih dari sekedar dunia munafik dimana bisnis dan moral begitu bahu-membahu menyulap hampir segalanya menjadi cuma sebagai alat pengais rupiah saja. Dan selama masa yang tak terasa itulah saya justru merasa ada begitu banyak hal yang membuat saya putus asa sebagai manusia...!

Betapa tidak? Dalam rentang waktu selama itu, begitu banyak siswa yang datang dengan keadaan yang mirip Si Dungu, yang hanya dengan waktu selama satu kali terima raport, telah menyulap mereka menjadi ‘Yang Terdepan’ di sekolahnya. Benar-benar hanya dalam waktu 1 x terima raport...! Sementara untuk siswa yang kebakaran, dalam waktu yang tidak berbeda menjadi adem kembali buku sakti mereka, tanpa ada satupun warna darah yang terceplak di dalamnya.

Bukan sebuah keadaan yang aneh ketika setiap kali tiba masa daftar ulang, ada saja siswa yang begitu tergopoh-gopoh menyerahkan kopian lembar nilai dari raport mereka seakan bila satu detik saja mereka terlambat memberikannya maka akan hilanglah semua jejak tinta yang ada di lembar tersebut seperti dalam Mission Imposible, hanya karena mereka tak percaya sendiri pada angka 1 yang tertera pada kolom peringkat. Atau siswa yang lain dengan gaya narsis dan menggemaskannya mencoba memainkan perasaan dengan mengatakan bahwa selama dia belajar di tempat kami, nilai Bahasa Inggrisnya tak pernah mendapat angka 7 atau 8, yang setelah sempat memberikan feeling guilty karena merasa pastilah siswa tersebut gagal memperoleh nilai baik yang berarti program kami gagal total dalam tahap pencapaian yang dituju, dengan sangat menyebalkannya siswa tersebut kembali melanjutkan ucapannya, bahwa dia selalu mendapatkan angka minimal 9 di raportnya. Halaaah...!

 

Tapi bukan itu yang membuat saya putus asa...!

Terlalu sering saya mendapat laporan bahwa setelah siswa bersusah payah memperbaiki kualitas pendidikan yang mereka jalani, lulus sekolah mereka ternyata cuma terdampar sebagai pekerja konveksi, atau sablon, atau pekerjaan-pekerjaan yang sejenis lainnya.

Bukan pekerjaannya yang saya sesalkan, karena saya tahu pasti bahwa semua jenis profesi tadi jelas terjamin kehalalannya. Hanya saja tak adakah pilihan lain yang lebih baik bagi mereka? Atau justru inilah potret asli dari para pelaku pendidikan di negeri ini secara umum? Yang tidak akan pernah kau temui di surga Si Eksentrik, misalnya. Atau di dalam istananya Si B yang uang sakunya saja mungkin lebih dari cukup untuk membiayai begitu banyak SPP anak negeri. Atau bekas teras rumah dinas Si J yang saya duga mampu untuk menyelenggarakan ujian massal. Atau bahkan ruang keluarga Si D yang pasti tak sesak jika cuma untuk membimbing satu atau dua kelompok kecil siswa pilihan. Juga gudang rumah Si Dj yang penuh dengan onggokan meja dan kursi sekolah.

Adakah yang terlewat...? Setelah serangkaian percakapan pribadi yang terjadi, terungkaplah segala yang harus tersibak, atau mungkin akan lebih baik jika semua itu tak terucap...? Entahlah. Yang jelas, alasan terdepan yang mereka kemukakan hanya seputar wacana yang itu-itu saja. Tak ada biaya untuk melanjutkan kuliah, atau dengan kata-kata yang terkesan lebih terhormat karena ingin membantu keuangan keluarga, yang tentu saja mereka ucapkan dengan wajah tak sumringah serta jauh dari keadaan nyaman!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun