Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revisi Kecil-kecilan di Dunia Pendidikan, Agresi Besar-besaran di Dunia Bisnis

7 Juli 2015   03:25 Diperbarui: 7 Juli 2015   03:25 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hehehe... Saya tahu semuanya karena kebetulan saya adalah orang yang pernah ngampus di UI dan ngantor tepat di depan Kasi pendidikan. Dan salah satu kantor saya yang terletak di kompleks pendidikan negeri yang cukup ternama di Jakarta, menjadikan nomor telepon kantor saya sering kali disasari oleh informasi tentang dana pemerintah dan juga informasi lainnya yang berkaitan dengan dunia pendidikan.

Dan dengan pengguna jasa saya yang berasal lebih dari 25 institusi formal dengan beragam latar belakang, menjadikan informasi tersaji seperti secangkir kopi yang terus saja saya hirup dengan nikmatnya. Ditambah kebijakan saya yang memposisikan diri untuk nyaris secara 24 jam membuka diri terhadap segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupan seluruh siswa dan juga keluarga mereka, menjadikan saya sebagai satu-satunya shelter tempat bertanya tentang hampir semua hal. Entah itu peluang, terlebih lagi kendala. Walau untuk yang terakhir selalu saya tekankan bahwa semua advise yang saya berikan adalah mutlak pendapat pribadi, yang apabila digunakan oleh mereka, maka segala konsekuensi yang mungkin berpotensi terjadi dan akan mereka terima adalah murni pilihan dan tanggung jawab mereka sendiri. Walau bukan berarti dengan cara itu saya melepaskan diri seratus persen dari pilihan mereka.

Saya tahu semuanya karena mungkin juga secara kebetulan saya memiliki tampang mahasiswa abadi. Bahkan hingga saat-saat terakhir keaktifan saya, tak ada yang pernah menduga bahwa saya adalah seorang direktur sebuah Lembaga Pendidikan yang cukup punya nama. Apalagi jika rambut saya dicukur pendek dan melepaskan baju batik seperti yang biasa saya kenakan. Paling banter mereka hanya akan menduga bahwa saya cuma mahasiswa yang mungkin tengah melakukan observasi atau entah apalagi namanya di dunia pendidikan, tanpa pernah sedikitpun mereka mengira bahwa saya adalah salah satu dari sekian banyak praktisi yang memiliki kantor, lab dan SDM sendiri. Dan hal itu justru memberikan keuntungan tersendiri buat saya, karena saya jadi bisa mendengarkan informasi yang sebenarnya saat duduk bersama tanpa sepengetahuan mereka di kantin dan atau ruang tunggu. Tentang plus-minus Lembaga Pendidikan saya dari sudut pandang mereka. Juga tentang kepuasan dan atau ketidak sukaan mereka terhadap output dari program yang tengah diselenggarakan, yang tentu saja tidak akan pernah bisa saya peroleh secara obyektif jika hanya mengandalkan laporan dari staf dan atau orang-orang saya sendiri.

Siapa sangka tampang mahasiswa saya yang berdurasi cukup panjang itu bisa demikian berguna? Terutama bila mengingat betapa saya sering merasa jengah karena dikira mahasiswa oleh wanita-wanita muda di buskota tatkala masih menjadi cleaning service di Slipi Jaya. Atau betapa tak nyamannya saya saat masa-masa awal berhadapan dengan para calon pengguna jasa pendidikan saya, yang menatap dengan pandangan kurang percaya akan jangkauan serta jam terbang saya... cuma karena wajah saya yang kurang tua!

Juga ketika saya melakukan akuisisi dan merger pertama saya untuk mengambil alih operasional gedung sekolah dan menyelenggarakannya sesuai versi dan kebijakan saya sendiri, dan sebagainya dan sebagainya yang seringkali membuat saya berpikir adakah cara instan untuk membuat wajah sedikit lebih dewasa...?

Mungkin dengan memanjangkan rambut hingga sebahu akan selesailah masalah itu. Hanya saja saya merasa kurang sreg sendiri jika harus terus bergaya slenge dan bohemian, terutama saat saya harus berseliweran di Dunia Pendidikan, yang jelas-jelas menuntut tidak sekedar kemampuan mengajar saja. Walau untuk waktu yang cukup lama saya masih suka kemana-mana hanya dengan berkaos dalam dan memakai sendal jepit saja, meski ke kantor sekalipun. Tentu saja jika bukan untuk urusan dinas yang resmi.

Dengan tampang anak sekolah itulah kemudian saya menjadi bebas untuk berkeliling ke tempat manapun yang saya perlukan. Kampus, Lembaga Pendidikan, Bimbel, PAUD, PKBM, TK, SD, SMP, SMU, juga beberapa organisasi umum dan keagamaan seperti YISC dan RISKA. Tidak secara formal memang. Tanpa saya perlu mengajukan permohonan ijin secara prosedural yang tentu saja akan memakan waktu yang lebih lama serta dengan cara yang lebih berkelok, yang jika di-ACC pun maka pertemuan yang terjadi pastikah akan sangat kaku dan birokratif. Walau tentu saja kau tidak akan menemui satupun nama saya tertera dalam buku tamu tempat-tempat yang saya kunjungi tersebut. Dikiranya nyaman apa, kemana-mana harus mengenakan name tag ‘VISITOR’...? ^_

Butuh informasi Prodip Kebidanan? Tinggal meluncur ke UI Salemba, yang setelah menyelusup kesana-kemari seperti orang benar, tak ketemu juga informasi yang dicari. Langsung saja balik arah ke sebuah rumah sakit swasta di daerah Tanah Abang, yang memang berfungsi juga sebagai kampus penyelenggara program tersebut.

Butuh wacana tentang PAUD? Dalam waktu yang kurang dari satu jam saya telah bergerombol bareng dengan begitu banyak mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni UNJ, turut membaur dan menyerap segala informasi yang berkaitan dengan yang tengah saya butuhkan itu. Mengingatkan saya ketika menjadi pengawas UMPTN di sebuah SMU Negeri tatkala masih berstatus mahasiswa dulu.

Dan bukannya duduk dengan nyaman di lokasi yang telah disediakan untuk pengawas, saya justru lebih memilih nongkrong bareng dengan siswa peserta ujian tersebut. Ngobrol ngalor-ngidul tentang materi ujian yang akan dilakukan hari itu, tanpa mereka tahu bahwa saya adalah pengawas mereka, hehehe... Walau sampai sekarang saya tak pernah paham kenapa Si Afkir tak berhasil ketika saya delegasikan untuk melakukan hal yang sama, melainkan justru ditanyai macam-macam oleh satpam kampus UI, yang berbuntut dengan dilarangnya dia masuk ke kampus kuning tersebut.

Gerak-geriknyakah yang mencurigakan? Atau tampang seseorang memang tak lebih dari jendela karakter yang dimilikinya? Benar-benar sebuah pengalaman yang jauh dari menggembirakan buat dia. Datang jauh-jauh setelah berkendara lebih dari satu setengah jam, hanya untuk diusir dari tempat yang ditarget. Poor Afkir...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun