Atau dengan besaran rupiah yang jauh lebih kecil dari uang pendaftaran SMU Negeri yang isunya gratis itu –walau tentu isu tersebut tetap saja isu pada sebagian besar lokasi- saya dapat menunjukkan dimana bisa memperoleh ijazah SMU, yang tentu saja terjamin keasliannya...! yang ,sekali lagi, boleh kau peroleh tanpa perlu berlelah-lelah sekolah juga tanpa harus terbebani dengan biaya SPP, buku paket serta biaya ini-itu yang lainnya.
Akta mengajar IV untuk para guru? Dengan gratis saya bisa mendapatkannya. Apa susahnya? Cukup satu kali menghubungi salah satu rekan yang cuma menjadi petinggi di sebuah Ormas Partai Anu, maka bereslah semua, tanpa perlu rancu dan bebeliet sama sekali.
Yang paling membuat saya bingung barangkali cuma tentang penyelenggaraan sebuah jenjang institusi pendidikan yang bernama: PAUD. Saya berbaik sangka bahwa kebingungan saya jelas berdasarkan keawaman saya tentang hal itu. Sebuah keawaman yang teramat sering menghasut saya untuk bertanya, apa sebenarnya fungsi dan tujuan dibentuknya lembaga tersebut. Apakah institusi tersebut berada di bawah jenjang TK? Setara? Di atasnya? Tapi mengapa saya melihatnya sama persis dengan TK? Barangkali PAUD cuma bentuk lain dari TK yang murah dan terjangkau untuk masyarakat, ucap saya lagi dalam hati dengan tetap mencoba berkhusnudzon. Tapi benarkah...?
Saya jelas tahu bahwa di awal kemunculannya, PAUD jauh lebih murah, bahkan jika dibandingkan dengan TK yang paling murah sekalipun. Betapa tidak? Dengan penyelenggaraan yang umumnya dilakukan di Sekretariat RW, mereka hanya mengutip biaya pendidikan seikhlasnya dari siswa.
Pernah saya dengar mereka hanya mengutip biaya belajar Rp. 100,- perhari, yang kemudian disesuaikan menjadi Rp. 500,- dan atau Rp. 1000,- per minggu. Hanya saja campur tangan pemerintah pada program belajar jenjang usia dini tersebut terus saja membuat PAUD seperti tak bosan-bosannya menyesuaikan diri.
Kekhawatiran karena pengajar PAUD awalnya murni dari Ibu-ibu PKK yang peduli terhadap pendidikan, yang secara umum asing terhadap segala macam tentang kognitif, afektif serta entah akhiran ‘if’ apalagi yang lainnya, yang cukup penting dalam penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini, yang jelas-jelas lebih bersifat khusus jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan di atasnya, dalam waktu yang tak lama menjadikan begitu banyak universitas yang membuka program tersebut di kampus mereka. Dan selanjutnya... mengucurlah kran uang dari pemerintah, yang barangkali saja untuk menunjukkan kesensitifan mereka terhadap aspirasi masyarakat, dalam hal ini dunia pendidikannya.
Dengan hanya menyediakan tempat berukuran 10 X 10 meter plus beberapa prosedural lainnya yang standard, dana dari pemerintah sebesar Rp. 25.000.000,- (data waktu pembuatan artikel ini-Red) langsung siap untuk dicairkan. Dan ketika biaya belajar PAUD yang dibebankan kepada siswa terus meningkat jumlahnya buah penyesuaian yang dilakukan, menimbulkan sebuah wacana baru tentang perlu atau tidaknya para guru PAUD tersebut memperoleh gaji dan atau tunjangan dari pemerintah, dan sebagainya dan sebagainya yang entah akan menuju kemana akhir kisahnya.
Barangkali saja dikemudian hari akan terbentuk sebuah PAUD Negeri, atau PAUD Percontohan, seperti yang saat ini saya temui pada Institusi TK. Dan hingga hal itu terjadi, barangkali saja saya akan tetap tidak paham apa bedanya PAUD dengan TK, baik dari segi metodologi pengajarannya maupun dari biaya penyelenggaraannya. Dan mungkin juga saya akan tetap tidak paham mengapa untuk sebuah jenjang pendidikan yang relatif sama dan berdekatan, harus memiliki bentuk yang berbeda...?
Belum lagi masalah etika, saat saya kembali tak habis pikir mendengar cerita siswa wanita sebuah sekolah menengah yang dihukum bergoyang ngebor ala Inul di depan kelas, yang bahkan dalam jagad hiburan yang jelas-jelas memang tempat untuk bergoyangpun masih kerap menjadi kontroversi.
Atau tentang suap nilai, mulai dari besaran rupiah terkecil untuk setiap mata pelajaran hingga tukar guling antara siswa dengan guru untuk memperoleh peringkat terbaik. Siswa wanita, tentunya. Gurunyapun jelas guru pria. Dengan alat tukar guling yang bukan rupiah, yang saya sendiri bahkan tak berani menyebutkannya secara gamblang dalam tulisan ini. Serta banyak lagi informasi tak membanggakan lainnya tentang dunia pendidikan di negeri ini, yang sekali lagi saya yakinkan bahwa semua itu bukanlah sekedar sensasi atau ilusi yang terlahir dari halusinasi.
“Darimana lo tahu semua itu, Bayangan...?”