Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tentang Cinta, yang Belum Lagi Memiliki Judul

4 Juli 2015   01:04 Diperbarui: 4 Juli 2015   01:08 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musim hujan datang lagi dan ini bulan Desember. Langit yang gelap sejak siang seakan membawa senja untuk datang lebih bergegas. Menjelma seperti tiba-tiba saja, membawa serta bayi-bayi hujan yang kian memekat. Tak sampai hitungan jam hujanpun turun. Dan derai hujan bersaut angin serta-merta meluruhkan satu demi satu dedaunan, yang memang telah menguning.

“Alangkah indahnya jika semua musim adalah musim hujan” suara datar lelaki tua di hadapanku seketika membuatku terperangah. Alangkah ajaibnya! Disaat begitu banyak orang yang merutuki hujan, ia justru menyukainya. Begitu sukanya ia hingga menginginkan semua hari bersimbah hujan.

“Mengapa harus begitu, Pak?” tanyaku penasaran seraya menaikkan risleting jaket hingga ke leher. Hembusan angin yang menerpa teras menambah sensasi dingin yang kurasakan.

“Entahlah…” jawabnya sambil melemparkan pandangan ke halaman, ke arah helai-helai kuning yang menggelincir turun disibak angin. “Tapi setidaknya hujan selalu menghadirkan nuansa yang berbeda, yang jauh lebih tenang dan religius,” lanjutnya lagi.

Kembali aku terperangah. Bukankah hujan justru mengganggu aktivitas? Orang-orang yang tertahan pulang, jamaah masjid yang menurun drastis, dan… satu hal lagi: Ancaman banjir! Lalu dimanakah letak ketenangan dan kereligiusannya?

Belum lagi keherananku lenyap ketika sosok tua itu kembali bersuara, ”Tapi sayangnya, begitu banyak orang yang justru memaknai hujan dengan cara yang salah. Mencacinya, juga berpikir buruk tentangnya.”

Untuk sesaat aku merasa tersindir. Mukaku sedikit memerah. Tapi kesu’udzonanku tak berbalas fakta sebab tak kulihat sedikitpun tuduhan pada wajah itu, wajah yang kini berubah sedih.

“Andai mereka tahu betapa banyaknya rahmat yang diturunkan Allah lewat hujan, lewat tetes demi tetes yang penuh berkah itu. Juga betapa Allah menurunkan sejumlah besar malaikatnya secara khusus, hanya untuk menjemput doa setiap hamba ketika hujan. Adakah keindahan dan ketenangan yang lebih besar dari itu, dari doa yang langsung dijamin oleh Dia Yang Maha Segala? Sungguh sebuah karunia yang tak akan pernah mampu kita reka…”

Kupandangi wajah tua di hadapanku itu dengan diam-diam, dan dengan diam-diam pula sebaris kagum menyesap ke dalam perasaanku. Diam-diam kurenungi lagi segala bijak yang tadi terlontar darinya, dari wajah yang belum lagi genap satu minggu mengontrak kamar di sebelahku.

Baru tiga hari ini aku berinteraksi dengannya. Bermula dari kebiasaan kami yang sama, menikmati hujan yang turun setiap senja –sambil menunggu maghrib- dari teras rumah. Pertama kali bertemu kami sama-sama heran, barangkali juga sama-sama merasa lucu. Bukan apa-apa, waktu itu kami kebetulan mengenakan setelan yang sama persis: Koko putih berpadu dengan sarung kotak-kotak kecil. Juga sama-sama membawa segelas teh hangat. Benar-benar sebuah kekompakan yang menyegarkan. Dan terasa lebih segar lagi ketika, kebetulan lagi, minat pembicaraan kami ternyata juga sama. Tentang kehidupan, tentang masalah-masalah yang sering terjelma dalam kehidupan, juga tentang hidup sesudah hidup. Walau biasanya aku yang lebih banyak menyerap hikmah darinya. Yah, bagaimanapun juga usia memang cukup berperan dalam hal ini. Terutama jika usia itu benar-benar dimanfaatkan secara maksimal!

Mendadak lelaki tua di hadapanku itu menghela napasnya dengan berat, seakan-akan ingin menghirupi semua udara yang ada diantara kami lalu menghembuskan sejauh-jauhnya. Sebuah firasat mendekapku tiba-tiba, memaksa jantungku untuk berderap lebih laju. Tanpa sadar aku menahan napas. Menunggu. Biasanya, setelah ia melakukan itu, sebuah kisah yang sarat hikmah akan mengalir dari lidahnya, setelah terlebih dahulu ia meneguk sisa teh di hadapannya. Dan… dugaanku tak keliru!

“Melihat hujan yang sederas ini selalu mengenangkanku pada Rado,” mulainya.

“Rado?”

“Ya, Rado. Salah satu anak tetanggaku di sana,” ujarnya sambil menyebutkan nama sebuah tempat di pinggiran Surabaya. “Jika dia masih hidup, barangkali usianya tak berbeda jauh denganmu,” lanjutnya lagi dengan suara yang bergetar, penuh dengan derai kerinduan yang meretik- retik.

“Apakah ia sudah meninggal?” tanyaku dengan agak ragu.

Lelaki tua di depanku tak segera menjawab. Tangannya sibuk memutar-mutar gelas teh, meminumnya sedikit, lalu memutar-mutarnya lagi dengan gerak yang sama.

Agak lama juga keadaan itu berlangsung, hingga detik melahirkan menit dan menit menjelma sekumpulan diam yang menunggu resah. Dan ketika keresahan itu pecah, sebait kisah langsung meruah dari lidahnya.

Jika ada musim yang begitu penting bagi Rado, katanya memulai cerita, adalah musim hujan. Bukan karena ia begitu mencintai hujan sebab baginya, hujan tak lebih dari bulir-bulir yang menyemai basah segala yang disinggahinya. Hingga suatu hari, pandangannya terhadap hujan menjadi berubah sama sekali.

Tiba-tiba saja kami tak berada di teras lagi. Tak ada gelas teh di atas meja, juga tak ada lembar-lembar kuning yang jatuh ditiban hujan. Semuanya lenyap, berganti dengan pemandangan di sebuah kamar yang semrawut. Dan di dalam kamar yang tak genah itulah Rado duduk menekuri lantai. Wajahnya terlihat begitu kuyu, dengan rambut yang tersusun acak seperti ditumpuk lalu diaduk-aduk di atas kepalanya.

Sudah tiga hari ia tak keluar dari kamarnya, sejak pertemuan terakhirnya dengan Dahlia, sosok yang telah begitu kerap menghiasi kesehariannya. Tapi bahkan waktu yang selama itu tak mampu meredam segala riak yang menggelegak di dadanya, yang terus bergeliat-geliat dengan resah.

Berawal dari dua tahun yang lalu, ketika Dahlia mengajaknya untuk pulang bersama. Saat itu hujan tengah deras-derasnya. Dan ia tak membawa payung. Biasanya, hujan bukanlah sebuah masalah baginya. Tapi kali ini ia benar-benar butuh untuk tiba di rumah secepatnya. Hampir saja ia nekad menerobos hujan ketika pening di kepala memaksa langkahnya untuk undur. Dan payungpun berpindah tangan. Sejak saat itu ia tak pernah lagi pulang sekolah sendirian.

Dan kebersamaan yang begitu sering perlahan menerbitkan gemuruh di hati Rado. Gemuruh yang bertambah-tambah setiap kali ia bertemu dengan Dahlia, mengantar pulang, atau sekedar bertukar kata di kantin sekolah. Tiba-tiba saja ia merasa Dahlia tak lagi sekedar teman sekelasnya, melainkan serumpun bunga yang dengan cepat merambahi seluruh lekuk di hatinya. Bunga yang indah, sekaligus juga penuh gejolak. Dan segala gejolak itu mencapai puncaknya ketika ia, pada suatu hari yang basah, mengutarakannya kepada Dahlia. Dahlia tak menjawab. Tapi rona di pipinya adalah jawaban yang sangat raya bagi Rado, yang seketika memekar-harumkan rumpun-rumpun yang kian merimbun di dadanya.

Dan waktu menjadi begitu berlari bagi Rado sebab cinta, memacunya untuk lebih bersegera. Tak terasa, dua belas bulan sudah ia lalui bersama Dahlia, bersama rangkaian bunga yang tertata kian indah di hatinya. Hingga suatu saat, sebuah perubahan melanda sekolahnya. Perubahan yang dibawa oleh para alumni SMUnya lewat BTA yang mereka buat. Para alumni itu, yang sebagian besar masih kuliah, menyumbangkan ilmunya kepada adik-adik kelasnya, setiap Sabtu. Tidak hanya pelajaran umum, mereka juga memberikan kajian tentang Islam secara lebih mendalam.

Sabtu berganti Sabtu. Tak terasa enam bulan sudah ia dan Dahlia mengikuti BTA. Hingga pada Sabtu yang kedua puluh lima Dahlia mengutarakan keinginannya untuk berjilbab.

Esoknya, beberapa kejap ia sempat terpana ketika bertemu dengan Dahlia. Inikah Dahlia? Alangkah anggunnya! Alangkah dahsyatnya pengaruh sepotong kain penutup kepala itu, hingga mampu menorehkan mentari pada wajah pemakainya. Dan keterpanaan itu disungginya terus hingga ia mengantar Dahlia pulang.

Sepanjang perjalanan mengantar itu ia terus membisu. Berbagai pikiran silih berganti di hatinya. Tentang sesuatu, yang berhubungan dengan jilbab Dahlia. Tentang uraian-uraian lembut yang selalu mengalir dari pengajar BTAnya. Tiba-tiba saja ia merasa sangat cemas. Sebuah kehilangan membuat sketsa di benaknya. Kehilangan yang besar. Sangat besar. Kehilangan Dahlia.

Inikah saat itu, pikirnya, bersamaan dengan kalimat Dahlia yang nyaris persis. Hanya merubah ‘kah’ dengan ‘lah’.

“Saat apa?” ucapnya mencoba bertahan. Tapi keteduhan di mata Dahlia membuat pertahanannya segera bobol. Ya, dengan Dahlia ia memang tak pernah butuh segudang kata-kata. Cukup lewat mata dan senyuman. Sebab Dahlia adalah dirinya. Adalah kumpulan binar yang selalu menyemarak di setiap langkahnya.

“Aku telah hijrah kini,” katanya.

“Ya,” suara Rado terdengar patah, seperti ranting kering yang terinjak hingga remah.

“Atas nama cinta, izinkan aku meraih cinta –Nya,” lanjutnya lagi dengan lembut. Ada fibrasi tipis yang mengalir dalam kelembutan itu.

Sesaat Rado merasa ragu. Tapi wajah bening di depannya melarikan keraguannya entah kemana. Bagaimana mungkin ia mampu menolak pinta darinya, dari wajah yang selalu memberikan senyum, tawa juga pelangi dalam setiap kesehariannya. Pada wajah yang setiap permohonannya, adalah kehormatan bagi Rado untuk mewujudkannya. Pada wajah yang …

“Berjanjilah,” pintanya, “Berjanjilah bahwa kaupun akan berada di jalur ini...”

Tak ada kata-kata yang terucap. Hanya anggukan. Sebuah anggukan yang berarti ’ya’ untuk hidayah dan ‘selamat tinggal’ bagi masa lalu. Sejak saat itu, tak ada lagi yang namanya pulang bersama bagi Rado. Tak ada lagi.

Tapi kenangan yang telah sempat merasuki hari-harinya, begitu saja meneteskan kerinduan. Dari hari ke hari, kerinduan Rado semakin tebal. Kerinduan kepada sosok yang telah hijrah itu.

Hampir semua yang ia mampu telah ia lakukan, untuk mengusir kerinduan itu. Tapi bukannya berkurang, justru perasaan itu kian dalam menghujam hingga jauh ke ceruk terdalam yang ada di hatinya. Dan kerinduan yang bergelisahan itu terus saja meraung-raung, memaksanya untuk mencoba kembali ke masa lalu. Dibuatlah janji dengan Dahlia.

“Maaf, aku membawa seorang teman,” ucap Dahlia sesampainya di kantin sekolah.

“Mengapa?” tanya Rado dengan gelisah. Suaranya terdengar seperti sedang menahan sesuatu.

“Tak apa-apa. Aku hanya tak ingin ber-khalwat denganmu,” jawabnya, dengan tetap menunduk.

 Rado tertawa kecil. Suaranya terdengar patah dan amat kering. “Bagaimana mungkin kita ber-khalwat? Sengaja kupilih tempat yang paling tengah, dan bukan di pojok sana,” ucapnya seraya menunjuk tempat yang biasa mereka duduki.

“Aku hanya berjaga-jaga.”

“Tapi kantin cukup ramai, bukan? Please, beri aku kesempatan.”

Dengan agak enggan, akhirnya Dahlia meminta temannya untuk pindah. Tapi ia tetap menunduk. Menunggu.

Jengah, Rado memandang wajah di hadapannya. Keinginannya maju-mundur. Sesaat ia membuka mulut, tapi sesaat pula ia menutupnya kembali. Ia ingin cinta, tapi ia khawatir cinta di depannya terluka. Ia ingin membagi kerinduannya, tapi ia khawatir kerinduan itu justru akan membuat kerinduan di hadapannya gelisah. Akhirnya, ia bangkit dari kursi, dan terus berjalan keluar kantin. Ia telah kalah. Dan cintalah yang mengalahkannya.

Alangkah rumitnya cinta!

Sudah tiga hari ini ia memikirkannya, namun cinta tetap mengunci maknanya rapat-rapat. Segala kenangan telah ia hamparkan, juga segala kesan. Tapi tak satupun pemahaman baru yang ia peroleh.

Ia memang tahu bahwa cintanya kepada Dahlia begitu besar. Tapi ia juga tahu bahwa Allah lebih mencintai Dahlia. Dan dengan cinta itu, Dahlia mensucikan lagi cintanya hingga menjadi cinta kepada –Nya. Dan ia? Apakah ini adalah teguran untuknya? Karena ia telah mencuri milik –Nya… tanpa ‘perdagangan’ yang sah? Ataukah memang selalu begini, akhir dari fitrah yang terefleksi secara salah?

Sampai di sini ceritanya berhenti. Sebuah beban kembali terhambur dari napasnya. Keras. Berat. Sebelum akhirnya ia berrsuara lagi.

“Itulah terakhir kalinya aku melihat Rado, setelah sore harinya ia berpamitan kepadaku.”

“Apakah ia bilang hendak kemana?” tanyaku cepat, penasaran.

Lelaki tua itu menggeleng pelan. “Ia hanya bilang ingin mencari sesuatu. Ia hanya bilang tak ingin terjebak dalam lingkaran tanpa akhir.”

Ada haru ada gembira aku mendengar ucapannya. Ternyata Rado tak lantas ‘terkubur’.

Dalam sebuah buku Islam pernah kubaca, bahwa ketika usia seseorang telah genap lima belas tahun, maka genap pulalah segala hormon dan kelengkapan tubuhnya. Barangkali itu salah satu faktor yang memicu ‘Tragedi Rado’, selain faktor media informasi dan yang lainnya, tentu saja. Bukankah film- film sejenis Gita Cinta Dari SMU begitu merebak? Begitu booming hingga menginspirasi lahirnya gita-gita baru dari SMU, yang hanya mengandalkan cinta sebagai ‘titik pusat’ nya? Alangkah naifnya…

Dalam hati aku merasa simpati kepada Rado. Aku memang belum pernah merasakan cinta. Kalau tawuran pernah, ketika aku masih duduk di bangku STM. Tapi dari yang pernah kudengar, seseorang akan sangat sukar untuk lepas dari cinta yang menjeratnya. Dan ketika cinta itu kandas, segala yang indah-indah seketika menjelma kenangan yang begitu buruk, yang melahirkan khayal-khayal kengerian yang terus mendera.

Tapi Rado justru berbeda. Dengan gagahnya ia bertahan, mencoba melepaskan diri dari segala belenggu yang coba membuatnya tak berdaya, walau dengan segala keterpurukan yang ia rasakan.

Dan simpatiku semakin bertambah ketika suara berat di depanku kembali terdengar.

“Sempat kudengar ia mondok di sebuah pesantren,” katanya, berbarengan dengan kumandang adzan maghrib dari masjid depan. Dan entah mengapa, tiba-tiba saja hujan tak lagi menjadi halangan bagiku untuk berjamaah di masjid.

Dengan agak tergesa aku masuk ke dalam kamar, menukar pakaian dengan sarung dan koko. Juga sebuah payung. Baru saja aku menutup pintu kamar ketika, lagi-lagi, lelaki tua itu juga melakukan hal yang sama. Sesaat lamanya kami sama-sama tertegun. Betapa ajaibnya. Serasa aku sedang bercermin saja. Saat berikutnya tawa kami meledak. Kuhampiri sosok tua itu dengan hangat, untuk kemudian berangkat ke masjid bersama-sama.

Sepanjang jalan ke masjid aku terdiam. Merenung. Benar sekali ucapan sosok di sebelahku ini, tentang nuansa lain yang terbias dari hujan. Anganku kembali melayang, kepada kisah yang baru saja kudengar. Hujan yang kian menderas di atas payung membersitkan sebuah pemikiran di benakku. Barangkali saja, saat inipun Rado tengah menapaki pencariannya. Tentang cintanya… yang belum lagi memiliki judul.

Thorn Village, 2081015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun