Tak ada kata-kata yang terucap. Hanya anggukan. Sebuah anggukan yang berarti ’ya’ untuk hidayah dan ‘selamat tinggal’ bagi masa lalu. Sejak saat itu, tak ada lagi yang namanya pulang bersama bagi Rado. Tak ada lagi.
Tapi kenangan yang telah sempat merasuki hari-harinya, begitu saja meneteskan kerinduan. Dari hari ke hari, kerinduan Rado semakin tebal. Kerinduan kepada sosok yang telah hijrah itu.
Hampir semua yang ia mampu telah ia lakukan, untuk mengusir kerinduan itu. Tapi bukannya berkurang, justru perasaan itu kian dalam menghujam hingga jauh ke ceruk terdalam yang ada di hatinya. Dan kerinduan yang bergelisahan itu terus saja meraung-raung, memaksanya untuk mencoba kembali ke masa lalu. Dibuatlah janji dengan Dahlia.
“Maaf, aku membawa seorang teman,” ucap Dahlia sesampainya di kantin sekolah.
“Mengapa?” tanya Rado dengan gelisah. Suaranya terdengar seperti sedang menahan sesuatu.
“Tak apa-apa. Aku hanya tak ingin ber-khalwat denganmu,” jawabnya, dengan tetap menunduk.
Rado tertawa kecil. Suaranya terdengar patah dan amat kering. “Bagaimana mungkin kita ber-khalwat? Sengaja kupilih tempat yang paling tengah, dan bukan di pojok sana,” ucapnya seraya menunjuk tempat yang biasa mereka duduki.
“Aku hanya berjaga-jaga.”
“Tapi kantin cukup ramai, bukan? Please, beri aku kesempatan.”
Dengan agak enggan, akhirnya Dahlia meminta temannya untuk pindah. Tapi ia tetap menunduk. Menunggu.
Jengah, Rado memandang wajah di hadapannya. Keinginannya maju-mundur. Sesaat ia membuka mulut, tapi sesaat pula ia menutupnya kembali. Ia ingin cinta, tapi ia khawatir cinta di depannya terluka. Ia ingin membagi kerinduannya, tapi ia khawatir kerinduan itu justru akan membuat kerinduan di hadapannya gelisah. Akhirnya, ia bangkit dari kursi, dan terus berjalan keluar kantin. Ia telah kalah. Dan cintalah yang mengalahkannya.