Dan simpatiku semakin bertambah ketika suara berat di depanku kembali terdengar.
“Sempat kudengar ia mondok di sebuah pesantren,” katanya, berbarengan dengan kumandang adzan maghrib dari masjid depan. Dan entah mengapa, tiba-tiba saja hujan tak lagi menjadi halangan bagiku untuk berjamaah di masjid.
Dengan agak tergesa aku masuk ke dalam kamar, menukar pakaian dengan sarung dan koko. Juga sebuah payung. Baru saja aku menutup pintu kamar ketika, lagi-lagi, lelaki tua itu juga melakukan hal yang sama. Sesaat lamanya kami sama-sama tertegun. Betapa ajaibnya. Serasa aku sedang bercermin saja. Saat berikutnya tawa kami meledak. Kuhampiri sosok tua itu dengan hangat, untuk kemudian berangkat ke masjid bersama-sama.
Sepanjang jalan ke masjid aku terdiam. Merenung. Benar sekali ucapan sosok di sebelahku ini, tentang nuansa lain yang terbias dari hujan. Anganku kembali melayang, kepada kisah yang baru saja kudengar. Hujan yang kian menderas di atas payung membersitkan sebuah pemikiran di benakku. Barangkali saja, saat inipun Rado tengah menapaki pencariannya. Tentang cintanya… yang belum lagi memiliki judul.
Thorn Village, 2081015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H