***
Dalam kegelapan, Dimas merasakan suatu kehangatan yang familier. Kehangatan yang membawanya pada kenangan akan kehidupan lama.
Cahaya merekah saat matanya terbuka. Sebuah rumah joglo kayu mulai nampak. Perlahan diangkat pula tubuhnya dari pembaringan, lalu duduk beralaskan rumput halus dan empuk bagai tumpukan kapas.
Matanya mulai menerawang sekeliling. Pekarangan dengan pohon hijau dan semak kecil. Rumah joglo kayu berubah keemasan karena terpapar sinar matahari di ufuk timur.Â
Semua ini dikenalinya. Inilah rumah sebelum prahara dengan para bandit. Desiran pohon tertiup angin membawa pula masa indah di Banyuates. Desa yang mungkin tidak akan bisa ditinggalinya lagi.
Tiupan angin semakin kuat. Daun-daun mulai beterbangan lepas dari dahan. Meliuk tajam ke bawah dengan cepat lalu bergulung-gulung. Sebuah angin puyuh kecil terbentuk di tengah pekarangan.Â
Pusaran angin mulai meninggi. Debu dan daun yang turut serta terbawa angin mulai tergulung dan memadat satu sama lain. Pusaran semakin cepat dan warnanya semakin gelap.Â
Bus!
Angin mulai berhenti secara tiba-tiba. Saat itulah, Dimas terkejut melihat dua sosok yang muncul di bekas pusaran angin.
"Ayah! Ibu!" kata Dimas. Ia tidak percaya atas apa yang dilihatnya.
Kedua sosok ini tersenyum manis padanya.