Mohon tunggu...
Ahmad Afandi
Ahmad Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh

Masih Belajar Menulis (Kembali) !!

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Merebut Desa: Bagian 2

8 September 2024   16:00 Diperbarui: 8 September 2024   16:12 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sebuah desa (Pexels.com/Natasha Lois)

Dimas berlari menembus lebatnya hutan. Bajunya basah kuyup terguyur hujan yang deras.

Pekik pecah dari balik hujan. Suara jeritan kesakitan menyeruak seisi rimba. Ini adalah jeritan kawan seperjuangannya. Laskar perlawanan dari Desa Batang yang merupakan desa sebelah dari tempat tinggalnya yaitu Banyuates. Namun, tidak sekalipun dirinya menoleh ke belakang.

 "Larilah, Dimas, selamatkan dirimu!"  Terngiang perintah terakhir dari orang bernama Tsabit itu. 

Degup jantung semakin kencang. Semakin keras pula ayunan kakinya mengentak di atas lantai hutan yang becek. Ia terus berlari. Tidak tahu ke mana arah yang dituju.

Dua minggu setelah meninggalkan desa, Dimas harus bergerilya dengan laskar ini. Namun, para Bandit Hutan Larangan itu berhasil menemukan markas persembunyian. Mereka menyerang saat pasukan perlawanan tengah beristirahat.

Pertarungan pecah. Namun karena jumlah musuh cukup banyak, maka wakil ketua Tsabit memerintahkan sebagian anggotanya yang lain untuk pergi. Namun, tidak jelas ke mana harus pergi. Para bandit pun ikut menggempur anggota laskar yang coba larikan diri.

Satu demi satu anggota laskar terpecah. Tiga orang menjadi dua. Lalu, dua orang menjadi satu. Dimas salah satunya. Ia tidak mampu melawan balik para bandit yang menemukannya dengan salah satu anggota laskar.

"Aku akan mengulur waktu, pergilah!" Dimas sempat menolak perintah itu. Ia tahu bahwa perintah itu akan menjadi perintah terakhir seperti orang yang menyelamatkannya di Desa Banyuates dulu. Pria berkumis tipis yang merupakan ketua laskar. Namun, serangan yang tiba-tiba membut Dimas kewalahan. Ia pun memilih berlari. Terus berlari tidak tentu arah.

Pohon-pohon menjelma jadi tiang hitam yang samar menyembul dari tanah. Guyuran air hujan yang menghujam tubuhnya seperti menambah berat langkah. Matanya mulai sayu. Kedua kakinya semakin letih. Tubuhnya ingin sekali untuk roboh.

Gerakannya mulai gontai. Beberapa kali kakinya tersandung akar dan semak hutan, tapi masih dapat jaga keseimbangan. Saat itulah, tanpa disadari kaki kanannya menginjak sebuah lubang yang tertutup dengan daun dan ranting pohon. Seketika, tubuhnya terperosok masuk ke dalam bersama aliran air hujan 

***

Dalam kegelapan, Dimas merasakan suatu kehangatan yang familier. Kehangatan yang membawanya pada kenangan akan kehidupan lama.

Cahaya merekah saat matanya terbuka. Sebuah rumah joglo kayu mulai nampak. Perlahan diangkat pula tubuhnya dari pembaringan, lalu duduk beralaskan rumput halus dan empuk bagai tumpukan kapas.

Matanya mulai menerawang sekeliling. Pekarangan dengan pohon hijau dan semak kecil. Rumah joglo kayu berubah keemasan karena terpapar sinar matahari di ufuk timur. 

Semua ini dikenalinya. Inilah rumah sebelum prahara dengan para bandit. Desiran pohon tertiup angin membawa pula masa indah di Banyuates. Desa yang mungkin tidak akan bisa ditinggalinya lagi.

Tiupan angin semakin kuat. Daun-daun mulai beterbangan lepas dari dahan. Meliuk tajam ke bawah dengan cepat lalu bergulung-gulung. Sebuah angin puyuh kecil terbentuk di tengah pekarangan. 

Pusaran angin mulai meninggi. Debu dan daun yang turut serta terbawa angin mulai tergulung dan memadat satu sama lain. Pusaran semakin cepat dan warnanya semakin gelap. 

Bus!

Angin mulai berhenti secara tiba-tiba. Saat itulah, Dimas terkejut melihat dua sosok yang muncul di bekas pusaran angin.

"Ayah! Ibu!" kata Dimas. Ia tidak percaya atas apa yang dilihatnya.

Kedua sosok ini tersenyum manis padanya.

"Dimas," ucap Sulasmi sambil menyibak rambutnya. "Kau harus kembali, Nak!"

Dimas tercekat. Belum habis ia memikirkan bagaimana kedua orang tuanya ada di dini, sekarang sang Ibu memintanya untuk kembali ke Banyuates.

"Tapi, aku tidak bisa, Ibu. Aku tidak bisa kembali ke Banyuates!" Dimas palingkan pandangan. Ia tidak yakin akan bisa memenuhi permintaan itu.

Wiratama, ayahnya, menghela napas. Ia kemudian memandangi istrinya sejenak. Senyum manis mengukir di wajahnya yang keriput.

"Ayah tahu kau bisa, Nak. Kembalilah dan bebaskanlah rakyat Banyuates dari cengkeraman Kebo Alas," katanya

Dimas mulai tertunduk. Bening meluncur membasahi pipi.

"Aku sudah gagal, Ayah. Sekarang, aku hanya bisa lari seperti seorang pengecut. Oh, bukan. Aku sudah menjadi pengecut sebelum pelarianku ini."

"Bukan seperti itu, Dimas."

"Lalu apa, Ayah?" sergah Dimas, "Anakmu yang kau banggakan ini. Anakmu yang kau latih sendiri hingga menguasai ilmu pedang seperti dirimu ini sudah gagal. Aku yang membuat kalian berdua tewas. Tindakanku itu yang akhirnya membuat para bandit menguasai desa. Sekarang, aku pun tidak mampu membantu laskar untuk selamat dari serangan bandit-bandit itu."

Dimas menangis sesengukan. Dadanya semakin sesak. Tangannya mengepal keras dan dipukulkan berkali-kali di atas rumput. Rasa bersalah memenuhi pikiran dan hati. Penyesalan diri semakin menjadi atas apa yang terjadi pada orang tuanya, warga desa, dan laskar.

"Semua orang pasti pernah gagal, Dimas," sahut Sulasmi dengan suara lembut, "tidak ada makhluk yang sempurna di dunia ini. Namun, hanya mereka yang mau untuk bangkit dari kegagalan itulah yang akan menjadi pemenang. Ibu yakin engkau mampu menghadapi semua ini, Anakku."

Dimas tengadahkan kepala. Ia pandangi wajah sang ibu yang tersenyum manis pada wajah keriputnya.

"Tapi, aku sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan, Ibu?" tanya Dimas. Air mata masih mengalir deras di wajahnya.

Kedua orang tuanya saling pandang sekali lagi. Lalu, keduanya tersenyum lebar. Sorot mata mereka berbinar-binar penuh harapan.

"Kau pasti akan menemukan jawabannya, Nak," jawab mereka berdua serempak.

***

Air mengucur dari langit-langit membasahi wajah Dimas. Meskipun tidak terlalu besar, tapi kecepatan jatuhnya sudah cukup untuk menepuk mata seseorang agar segera bangun.

Dimas mengucek-ucek matanya saat sadarkan diri. Sambil menggeser tubuhnya, Dimas mulai memandangi lingkungan sekitar. Sebuah lubang menggantung di langit-langit. Sinar matahari menembus masuk dan menerangi tempat yang mirip dengan lorong batu tua.

Dimas menerka-nerka tempat apa ini sebenarnya. Udara lembap dengan campuran bau tanah dan lumut menguar dari lantai yang becek. Siratan akar pohon yang halus bergelayutan di langit-langit menghalangi pandangannya ke depan. Namun dari celahnya, tampak jelas ada cahaya kuning aneh berkilat di ujung lorong.

Ia bangkit dari tempatnya duduk. Digerakkan tubuhnya yang pegal-pegal serta dibersihkan pula bajunya dari lumpur dan daun basah yang menempel. Cahaya tersebut membuatnya penasaran dan mulai langkahkan kaki untuk mencari tahu sendiri. Nyamuk dan serangga kecil mulai menghambur saat ayunan pedangnya memapras akar-akar pohon yang menghalangi jalan. 

Dimas terkejut ketika sampai di ujung lorong. Ruangan luas yang diterangi sinar matahari dari langit-langit yang berlubang. Cahaya tersebut juga menyinari sebuah pedang jingga-hitam yang terbaring di atas altar batu.

Ia mengambil dan amati pedang tersebut. Decak kagum tiada berhenti keluar dari mulutnya. Belum pernah selama ini, ia dapati pedang dengan motif sambaran api pada bagian mata pedangnya. Motif tersebut juga memancarkan cahaya kuning yang berdenyut-denyut. Menambah penasaran akan siapa gerangan yang memiliki pedang ini.

Namun saat mengamati sekeliling, tidak ada satu pun tanda yang mengarah bahwa tempat ini sedang dihuni seseorang. Lorong tadi merupakan satu-satunya jalan masuk ke ruangan ini. Jalinan akar pohon yang lebat hingga lebatnya lumut yang tumbuh sudah jadi bukti bahwa tempat ini sudah lama terbengkalai.

Mata Dimas mulai tertuju pada tembok batu ruangan. Sebagian tembok tersebut tertutup oleh lumut dan cengkeraman akar pohon dari atas. Namun, sinar matahari membantunya untuk menangkap apa yang terukir di sana. 

"Apakah ini gerakan menebas?" Tangannya mulai bergerak dari sisi satu ke sisi yang lain. Meraba setiap ukiran yang menurutnya tidak asing. "Jadi, semua ini adalah teknik pedang?"

Seluruh tembok ruangan itu terukir relief teknik dan jurus berpedang. Sebagian dari teknik yang terukir masih asing di matanya. Namun sebagai orang yang sudah dilatih ilmu pedang oleh ayahnya, Dimas memahami betul dasar gerakan yang membentuk jurus-jurus asing itu.

"Jadi, tempat ini mungkin sebuah kuil yang digunakan oleh seorang ahli pedang dahulu kala. Kemudian, tempat ini ditinggalkan begitu saja ditelan hutan atau sengaja disegel ...." Dimas hentikan penilaiannya terhadap tempat ini. Ia penasaran akan kekuatan pedang aneh yang ada di tangan kanannya.

Dimas coba alirkan sedikit tenaga dalam pada pedang tersebut. Seketika, terpancarlah sinar terang dan menari-nari seperti api pada mata pedang tersebut. Ia lalu arahkan pandangan menuju lorong. Tubuhnya condong ke depan dan kaki kanan jadi tumpuan. Lalu, ditebaskanlah pedang tersebut hingga memunculkan angin panas. Empasan angin itu lalu masuk ke lorong dan membabat habis akar-akar yang menghalangi jalan.

Terkejutlah Dimas melihat kehebatan pedang tersebut. Pedang tersebut ternyata memiliki kesaktian. Tenaga dalam yang kecil saja mampu menghasilkan serangan yang besar.

"Kau pasti menemukan jawabannya." Seketika ucapan terakhir orang tuanya dalam mimpi itu terlintas di benaknya. 

Ia pandangi pedang sakti itu sekali lagi. Denyutan cahaya kuningnya serempak dengan degup jantung yang semakin berdebar untuk mengambil keputusan yang berat. Apa perlu ia kembali untuk merebut desanya? Keraguan mulai menyelimuti dirinya.

Dimas tidak yakin akan berhasil. Ia terlalu lemah untuk melawan Kebo Alas. Namun, bukankah Kebo Alas menggunakan gelang sakti untuk mengalahkannya? Sekarang, bukankah Dimas memiliki sebuah pedang sakti? Bukankah kekuatannya jadi seimbang?

Dimas termenung. Ia teringat bagaimana dirinya melakukan kesalahan waktu itu. Tindakan yang membuat orang tuanya tewas sia-sia di tangan Kebo Alas. Pikirannya mulai berat akan kesalahan yang telah diperbuat.

"Semua orang pasti pernah gagal." Menyambar pula ucapan ibunya dalam pikiran. 

Semua orang hebat bahkan pendekar paling sakti pun pernah gagal. Termasuk ayahnya, seorang ahli pedang yang gagal menghentikan Kebo Alas. Namun, apakah Dimas itu seperti ayahnya? Seorang pemimpin yang mau taruhkan nyawa demi selamatkan rakyatnya?

Kepalanya semakin berat. Keraguan semakin menumpuk. Pikirannya hanya menyatakan bahwa ia seorang pengecut. Seorang yang hanya bisa membuat keadaan semakin buruk. Ia juga merasa tidak berguna.

"Hanya mereka yang mau untuk bangkit dari kegagalan itulah yang akan menjadi pemenang." Dimas tersentak. Kata-kata ibunya itu seperti sambaran petir yang dahsyat di kepala. 

Dimas belum mencoba untuk bangkit. Selama ini, ia hanya lari dari kenyataan. Bersembunyi dari balik rasa bersalah tanpa mau berusaha bangkit. Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Kegagalan bisa jadi sebuah awal.

Dimas pegang erat-erat pedang tersebut. Cahaya-nya berdenyut semakin cepat dan terang.

"Masih ada kesempatan," ucapnya seraya memandangi seluruh ruangan. "Aku akan berlatih di sini!". 

Ia pandangi sekali lagi pedang sakti itu. Bayangan wajahnya terpantul pada mata pedang yang bersinar hangat dengan raut penuh keyakinan.

"Sekarang, aku harus temukan jalan keluar dari sini dan menjadikan kuil ini sebagai tempat berlatih ilmu pedang sakti." 

Ia melangkah menuju lorong dan menebaskan pedang sakti itu untuk membukakannya jalan keluar.

Bersambung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun