"Dimas," ucap Sulasmi sambil menyibak rambutnya. "Kau harus kembali, Nak!"
Dimas tercekat. Belum habis ia memikirkan bagaimana kedua orang tuanya ada di dini, sekarang sang Ibu memintanya untuk kembali ke Banyuates.
"Tapi, aku tidak bisa, Ibu. Aku tidak bisa kembali ke Banyuates!" Dimas palingkan pandangan. Ia tidak yakin akan bisa memenuhi permintaan itu.
Wiratama, ayahnya, menghela napas. Ia kemudian memandangi istrinya sejenak. Senyum manis mengukir di wajahnya yang keriput.
"Ayah tahu kau bisa, Nak. Kembalilah dan bebaskanlah rakyat Banyuates dari cengkeraman Kebo Alas," katanya
Dimas mulai tertunduk. Bening meluncur membasahi pipi.
"Aku sudah gagal, Ayah. Sekarang, aku hanya bisa lari seperti seorang pengecut. Oh, bukan. Aku sudah menjadi pengecut sebelum pelarianku ini."
"Bukan seperti itu, Dimas."
"Lalu apa, Ayah?" sergah Dimas, "Anakmu yang kau banggakan ini. Anakmu yang kau latih sendiri hingga menguasai ilmu pedang seperti dirimu ini sudah gagal. Aku yang membuat kalian berdua tewas. Tindakanku itu yang akhirnya membuat para bandit menguasai desa. Sekarang, aku pun tidak mampu membantu laskar untuk selamat dari serangan bandit-bandit itu."
Dimas menangis sesengukan. Dadanya semakin sesak. Tangannya mengepal keras dan dipukulkan berkali-kali di atas rumput. Rasa bersalah memenuhi pikiran dan hati. Penyesalan diri semakin menjadi atas apa yang terjadi pada orang tuanya, warga desa, dan laskar.
"Semua orang pasti pernah gagal, Dimas," sahut Sulasmi dengan suara lembut, "tidak ada makhluk yang sempurna di dunia ini. Namun, hanya mereka yang mau untuk bangkit dari kegagalan itulah yang akan menjadi pemenang. Ibu yakin engkau mampu menghadapi semua ini, Anakku."