Mohon tunggu...
Ahmad Afandi
Ahmad Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh

Masih Belajar Menulis (Kembali) !!

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Merebut Desa: Bagian 2

8 September 2024   16:00 Diperbarui: 8 September 2024   16:12 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimas tengadahkan kepala. Ia pandangi wajah sang ibu yang tersenyum manis pada wajah keriputnya.

"Tapi, aku sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan, Ibu?" tanya Dimas. Air mata masih mengalir deras di wajahnya.

Kedua orang tuanya saling pandang sekali lagi. Lalu, keduanya tersenyum lebar. Sorot mata mereka berbinar-binar penuh harapan.

"Kau pasti akan menemukan jawabannya, Nak," jawab mereka berdua serempak.

***

Air mengucur dari langit-langit membasahi wajah Dimas. Meskipun tidak terlalu besar, tapi kecepatan jatuhnya sudah cukup untuk menepuk mata seseorang agar segera bangun.

Dimas mengucek-ucek matanya saat sadarkan diri. Sambil menggeser tubuhnya, Dimas mulai memandangi lingkungan sekitar. Sebuah lubang menggantung di langit-langit. Sinar matahari menembus masuk dan menerangi tempat yang mirip dengan lorong batu tua.

Dimas menerka-nerka tempat apa ini sebenarnya. Udara lembap dengan campuran bau tanah dan lumut menguar dari lantai yang becek. Siratan akar pohon yang halus bergelayutan di langit-langit menghalangi pandangannya ke depan. Namun dari celahnya, tampak jelas ada cahaya kuning aneh berkilat di ujung lorong.

Ia bangkit dari tempatnya duduk. Digerakkan tubuhnya yang pegal-pegal serta dibersihkan pula bajunya dari lumpur dan daun basah yang menempel. Cahaya tersebut membuatnya penasaran dan mulai langkahkan kaki untuk mencari tahu sendiri. Nyamuk dan serangga kecil mulai menghambur saat ayunan pedangnya memapras akar-akar pohon yang menghalangi jalan. 

Dimas terkejut ketika sampai di ujung lorong. Ruangan luas yang diterangi sinar matahari dari langit-langit yang berlubang. Cahaya tersebut juga menyinari sebuah pedang jingga-hitam yang terbaring di atas altar batu.

Ia mengambil dan amati pedang tersebut. Decak kagum tiada berhenti keluar dari mulutnya. Belum pernah selama ini, ia dapati pedang dengan motif sambaran api pada bagian mata pedangnya. Motif tersebut juga memancarkan cahaya kuning yang berdenyut-denyut. Menambah penasaran akan siapa gerangan yang memiliki pedang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun