Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

FOMO: Ketakutan yang Membuat Kita Kehilangan Kehidupan Nyata

7 Oktober 2024   18:26 Diperbarui: 7 Oktober 2024   18:38 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest.com/mind_help 

FOMO (Fear of Missing Out) adalah perasaan cemas dan takut yang muncul ketika seseorang merasa tertinggal atau tidak terlibat dalam suatu aktivitas yang sedang populer atau yang dilakukan orang lain. Perasaan ini sering kali dipicu oleh media sosial, di mana kita bisa melihat orang lain menjalani pengalaman, tren, atau mendapatkan kesempatan yang mungkin kita lewatkan. Akibatnya, FOMO menimbulkan rasa kecemasan bahwa orang lain sedang bersenang-senang, hidup lebih baik, atau mendapatkan sesuatu yang lebih baik dibandingkan diri kita.

Fenomena ini bukan hanya tentang kehilangan kesempatan fisik, tetapi juga emosional. Misalnya, seseorang mungkin merasa cemas ketika tidak hadir dalam acara sosial atau melewatkan diskusi hangat tentang berita terkini. FOMO juga bisa membuat seseorang merasa tertekan untuk terus-menerus memantau media sosial agar tetap "up to date" dengan apa yang sedang terjadi. Ironisnya, meskipun seseorang berusaha menghindari rasa ketinggalan, FOMO justru bisa membuat seseorang kehilangan momen berharga dalam kehidupan nyata karena terlalu fokus pada apa yang "mungkin" sedang terjadi di luar sana.

Pada akhirnya, FOMO dapat mempengaruhi kesejahteraan mental dan emosional, membuat seseorang merasa kurang puas dengan kehidupan mereka sendiri karena membandingkannya dengan kehidupan orang lain yang hanya terlihat di permukaan.

Salah satu penyebab utama FOMO (Fear of Missing Out) adalah penggunaan media sosial, yang memberikan akses mudah dan cepat kepada jutaan informasi dari berbagai belahan dunia. Platform seperti Instagram, yang sangat populer di kalangan berbagai lapisan masyarakat, memfasilitasi perasaan ini melalui fitur-fitur yang dirancang untuk terus memperbarui konten visual seperti foto dan video.

Contoh yang jelas adalah fitur Instastory, yang memungkinkan pengguna untuk membagikan momen keseharian mereka, baik berupa kegiatan sehari-hari, acara sosial, liburan, atau pencapaian pribadi. Saat melihat postingan-postingan ini, viewer sering kali hanya melihat sisi terbaik dari kehidupan orang lain, yang ditampilkan dengan sangat menarik. Ini memicu perasaan bahwa orang lain menjalani hidup yang lebih bahagia, lebih seru, atau lebih produktif dibandingkan diri kita sendiri.

Pengaruh ini semakin kuat karena media sosial menyajikan kehidupan secara instan dan real-time. Sebuah gambar atau video dari teman atau influencer yang sedang liburan, menghadiri pesta, atau mencoba sesuatu yang baru bisa membuat kita merasa tertinggal. Kita mulai membandingkan rutinitas kita yang tampak lebih biasa atau kurang "menarik," meskipun apa yang kita lihat hanyalah potongan kecil dan sering kali terkurasi dari realitas mereka.

Proses ini tidak hanya menciptakan rasa cemas, tetapi juga bisa membuat seseorang merasa kurang berharga atau tidak puas dengan kehidupannya sendiri. Akhirnya, FOMO yang dipicu oleh media sosial seperti Instagram dapat berdampak negatif pada kesehatan mental, termasuk peningkatan stres, kecemasan, dan rasa tidak aman karena perbandingan yang konstan dengan orang lain.

Menurut VeryWellMind, FOMO (Fear of Missing Out) adalah fenomena yang bisa dialami oleh semua gender dan kelompok usia. Tidak peduli apakah kita remaja, dewasa muda, atau bahkan orang yang lebih tua, perasaan cemas karena ketinggalan sesuatu bisa muncul kapan saja. Hal ini terutama disebabkan oleh akses mudah ke media sosial dan aliran informasi yang tak henti-hentinya. Mereka yang mengalami FOMO sering kali memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah karena terus-menerus membandingkan hidup mereka dengan apa yang mereka lihat di luar sana, yang sering kali terlihat lebih "ideal" atau "bahagia."

Timbul pertanyaan, bagaimana kita bisa tahu jika kita mengalami FOMO? Beberapa gejala yang sering muncul meliputi:

1. Selalu Ingin Tahu Gosip Terbaru

Keinginan untuk selalu tahu gosip terbaru adalah salah satu gejala dari FOMO (Fear of Missing Out) yang lebih spesifik dan umum terjadi. Gosip, yang sering kali berhubungan dengan kabar atau cerita mengenai kehidupan pribadi orang lain, menjadi magnet bagi mereka yang ingin selalu tahu apa yang terjadi di sekitar mereka, terutama hal-hal menarik atau kontroversial. Dorongan untuk mengetahui gosip terbaru muncul dari rasa ingin terlibat dalam percakapan sosial yang relevan dan rasa takut tertinggal informasi yang penting atau menarik.

Ada beberapa alasan mengapa seseorang selalu ingin tahu gosip terbaru:

a. Rasa Ingin Tahu yang Alami

Secara alami, manusia cenderung ingin tahu tentang apa yang terjadi dalam kehidupan orang lain, terutama jika hal tersebut melibatkan kejadian dramatis, skandal, atau perubahan yang signifikan. Gosip sering kali memberikan narasi yang menarik dan memuaskan rasa ingin tahu ini. Bagi mereka yang mengalami FOMO, ketertarikan ini menjadi lebih intens, karena mereka merasa tidak ingin ketinggalan detail menarik yang bisa mereka bagikan atau diskusikan dengan orang lain.

b. Kebutuhan untuk Terhubung Secara Sosial

Dalam banyak kasus, mengetahui gosip terbaru adalah cara untuk merasa "terhubung" dengan orang lain. Mengetahui kabar atau rumor terkini memungkinkan seseorang untuk ikut dalam percakapan sosial, baik secara online maupun offline. Orang yang mengalami FOMO sering kali merasa bahwa mereka harus terus mengetahui gosip terbaru agar tetap relevan dan tidak terisolasi dari komunitas mereka. Jika mereka ketinggalan gosip, mereka khawatir kehilangan kesempatan untuk berinteraksi atau memberikan pendapat tentang topik yang sedang hangat.

c. Pengaruh Media Sosial dan Berita Sensasional

Media sosial dan platform berita sensasional memperkuat keinginan untuk selalu tahu gosip terbaru dengan memberikan akses mudah ke kabar yang terus diperbarui. Fitur seperti trending topics, hashtags, atau postingan viral sering kali menarik perhatian dan menumbuhkan rasa ingin tahu lebih lanjut. Orang yang mengalami FOMO mungkin merasa perlu mengecek platform-platform ini secara rutin agar tidak tertinggal informasi atau rumor yang sedang ramai dibicarakan.

d. Mendapatkan Rasa "Kuasai Informasi"

Mengetahui gosip terbaru bisa memberikan seseorang rasa "kuasa" atau keunggulan informasi dibandingkan orang lain. Mereka merasa lebih up-to-date dan memiliki kontrol terhadap percakapan yang terjadi di sekitar mereka. Hal ini memberikan kepuasan tersendiri, karena mereka merasa memiliki pengetahuan yang orang lain mungkin belum tahu. Namun, ini juga bisa menjadi sumber kecemasan, karena seseorang merasa bahwa mereka harus selalu berada di garis depan untuk mengetahui semua hal yang terjadi.

e. Rasa Validasi dan Keikutsertaan dalam Tren Sosial

Gosip sering kali memberikan validasi sosial, terutama ketika seseorang bisa membagikan informasi terbaru yang belum banyak orang ketahui. Mereka yang mengalami FOMO mungkin merasa lebih diterima secara sosial ketika mereka bisa berkontribusi pada diskusi tentang gosip terbaru. Ini juga terkait dengan keinginan untuk mengikuti tren sosial dan tetap relevan di kalangan teman atau komunitas mereka.

Sayangnya, obsesi terhadap gosip dapat mengalihkan perhatian seseorang dari hal-hal yang lebih bermakna dalam hidup. Terlalu fokus pada gosip bisa membuat seseorang kurang memperhatikan perkembangan atau kemajuan pribadi, hubungan yang autentik, atau bahkan tujuan hidup yang lebih besar. Pada akhirnya, meskipun mengetahui gosip terbaru mungkin memberikan kepuasan sementara, perasaan kosong atau ketidakpuasan bisa muncul karena kecenderungan ini tidak memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan jangka panjang.

2. Terobsesi dengan Aktivitas Orang Lain

Seseorang yang mengalami FOMO (Fear of Missing Out) sering kali memiliki dorongan kuat untuk selalu mengetahui kehidupan orang lain. Dorongan ini muncul dari perasaan bahwa orang lain mungkin sedang melakukan hal-hal menarik atau mendapatkan pengalaman yang lebih baik daripada dirinya. Akibatnya, mereka merasa perlu terus memantau aktivitas dan momen orang lain, terutama melalui media sosial, agar tidak ketinggalan atau merasa "tidak ikut" dalam pengalaman tersebut.

Kecenderungan ini membuat seseorang terus-menerus menggulir timeline, memeriksa postingan, cerita, dan pembaruan dari teman, keluarga, atau bahkan orang asing dan selebriti. Fitur-fitur di media sosial seperti stories dan feeds memberikan akses tanpa henti ke kehidupan orang lain, yang terlihat penuh dengan momen bahagia, pencapaian, dan peristiwa menarik. Hal ini memicu rasa ingin tahu yang berlebihan tentang apa yang dilakukan orang lain, dengan siapa mereka berinteraksi, dan bagaimana mereka menghabiskan waktu mereka.

Perasaan ini bisa sangat intens, sampai-sampai seseorang merasa harus mengetahui semua detail kehidupan orang di lingkaran sosial mereka. Mereka mungkin merasa cemas atau gelisah jika tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam kehidupan orang lain atau jika mereka ketinggalan kabar terbaru. Sebagai akibatnya, perhatian mereka teralihkan dari fokus pada kehidupan pribadi dan pengalaman mereka sendiri ke perhatian yang berlebihan pada kehidupan orang lain.

Keinginan ini sering kali didorong oleh ketakutan bahwa mereka mungkin kehilangan sesuatu yang penting atau seru, seperti acara sosial, pencapaian teman, atau tren terbaru. Mereka mungkin merasa bahwa mengetahui kehidupan orang lain memberikan mereka kontrol atau koneksi dengan dunia di luar diri mereka, meskipun sebenarnya hal ini hanya memperburuk perasaan terisolasi dan kecemasan.

Selain itu, keinginan untuk selalu mengetahui kehidupan orang lain sering kali diikuti dengan kebiasaan membandingkan diri sendiri dengan apa yang dilihat di media sosial. Ini bisa menyebabkan perasaan rendah diri, iri hati, dan tidak puas karena seseorang merasa bahwa hidupnya kurang menarik atau kurang berharga dibandingkan dengan yang mereka lihat dari orang lain.

Pada akhirnya, kebutuhan untuk selalu tahu kehidupan orang lain ini bisa merusak fokus seseorang terhadap kehidupan nyata mereka sendiri, mengurangi kemampuan untuk menikmati momen dan hubungan yang autentik di dunia nyata.

3. Mengeluarkan Uang Melebihi Kemampuan 

Salah satu dampak negatif dari FOMO (Fear of Missing Out) adalah kecenderungan untuk mengeluarkan uang melebihi kemampuan demi membeli barang atau mengikuti tren yang sebenarnya tidak penting. Orang yang mengalami FOMO sering kali merasa tertekan untuk mengikuti gaya hidup, produk, atau aktivitas terbaru yang sedang populer, meskipun itu di luar kemampuan finansial mereka. Dorongan ini biasanya muncul karena mereka tidak ingin merasa "tertahan" atau "ketinggalan zaman" dibandingkan dengan orang lain di sekitar mereka, baik di dunia nyata maupun di media sosial.

Ada beberapa alasan mengapa seseorang cenderung menghabiskan uang secara berlebihan karena FOMO:

a. Tekanan Sosial dan Media Sosial

Media sosial memegang peran besar dalam memperkuat FOMO. Platform seperti Instagram atau TikTok sering menampilkan gaya hidup mewah, tren mode terbaru, gadget canggih, atau liburan eksklusif yang dilakukan oleh orang lain. Melihat postingan ini berulang kali membuat seseorang merasa bahwa mereka perlu mengikuti tren tersebut agar tidak tertinggal atau merasa terasing. Akibatnya, mereka terdorong untuk membeli barang-barang yang mungkin tidak mereka butuhkan, hanya untuk tetap terlihat up-to-date dan "in" di mata orang lain.

b. Keinginan untuk Diakui dan Diterima

Banyak orang yang merasa bahwa mengikuti tren adalah cara untuk mendapatkan pengakuan sosial. Mereka membeli barang-barang terbaru, seperti pakaian, gadget, atau produk kecantikan, dengan harapan bisa terlihat seperti orang-orang yang mereka idolakan atau teman-teman di lingkaran sosial mereka. Rasa takut bahwa mereka akan dianggap "tidak gaul" atau "tidak relevan" jika tidak mengikuti tren memaksa mereka untuk mengeluarkan uang lebih dari kemampuan finansial mereka. Ini bisa mencakup membeli ponsel terbaru, pakaian dari merek terkenal, atau bahkan mengikuti gaya hidup tertentu seperti sering makan di tempat-tempat mewah.

c. Pembenaran Diri

Salah satu aspek dari FOMO adalah kecenderungan untuk membenarkan pengeluaran yang sebenarnya tidak perlu. Seseorang mungkin meyakinkan dirinya bahwa membeli barang-barang tertentu adalah bentuk "investasi" sosial atau penting agar tidak ketinggalan zaman. Dalam banyak kasus, mereka menganggap bahwa pengeluaran ini adalah hal yang wajar untuk mendapatkan pengakuan sosial atau agar tetap diterima di komunitas tertentu. Namun, pembenaran ini sering kali menutupi kenyataan bahwa barang-barang tersebut sebenarnya tidak esensial dan hanya dibeli untuk mengejar kesan atau validasi dari orang lain.

d. Kecemasan Akan Kehilangan Peluang

FOMO membuat seseorang merasa bahwa mereka harus segera mengambil bagian dalam tren atau membeli produk tertentu sebelum kesempatan tersebut hilang. Misalnya, saat ada produk yang sedang viral, banyak orang yang merasa tertekan untuk segera membelinya agar tidak ketinggalan momen, meskipun barang tersebut tidak benar-benar penting dalam hidup mereka. Ini menyebabkan keputusan keuangan yang impulsif, di mana seseorang mengabaikan kondisi keuangan mereka demi mengejar tren sementara.

e. Akumulasi Utang dan Tekanan Finansial

Sayangnya, kebiasaan mengeluarkan uang melebihi kemampuan karena FOMO dapat menyebabkan akumulasi utang dan masalah finansial yang serius. Seseorang mungkin merasa terpaksa menggunakan kartu kredit atau meminjam uang untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak penting. Ini bisa memicu siklus berbahaya, di mana mereka terus-menerus terjebak dalam tekanan sosial dan finansial. Utang yang menumpuk akibat pengeluaran yang tidak terkontrol ini pada akhirnya bisa mengganggu kesejahteraan mental dan emosional mereka.

f. Ketidakpuasan Jangka Panjang

Meskipun membeli barang-barang mewah atau mengikuti tren terbaru mungkin memberikan kepuasan jangka pendek, perasaan tersebut biasanya tidak bertahan lama. Setelah euforia awal mereda, seseorang yang mengalami FOMO mungkin kembali merasa cemas atau tidak puas karena selalu merasa tertinggal dengan tren berikutnya. Ini memicu siklus pembelian berlebihan yang berulang, di mana mereka terus mencoba mengejar standar sosial yang terus berubah.

Pada akhirnya, keputusan untuk mengeluarkan uang melebihi kemampuan karena FOMO tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga bisa berdampak buruk pada kesejahteraan emosional dan hubungan seseorang. Menjadi lebih sadar tentang kebiasaan belanja, belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta mengelola tekanan sosial dengan bijaksana adalah langkah penting untuk menghindari jebakan FOMO.

4. Tergoda untuk Terus-Menerus Memeriksa Ponsel

Kebiasaan selalu mengecek gadget, terutama ponsel, menjadi salah satu ciri khas dari seseorang yang mengalami FOMO (Fear of Missing Out). Ketergantungan pada gadget ini muncul karena dorongan kuat untuk tetap terhubung dan mendapatkan informasi terbaru setiap saat. Seseorang yang mengalami FOMO merasa bahwa mereka tidak bisa "lepas" dari perangkat digitalnya, karena takut ketinggalan sesuatu yang penting, seperti berita, tren, atau aktivitas orang lain.

Contoh paling umum dari kebiasaan ini adalah mengecek ponsel segera setelah bangun tidur dan sesaat sebelum tidur. Orang yang mengalami FOMO merasa bahwa memeriksa notifikasi media sosial, email, atau pesan adalah hal pertama yang harus dilakukan begitu mereka membuka mata. Ini menjadi rutinitas yang sulit dihentikan, seolah-olah ada kebutuhan mendesak untuk selalu tahu apa yang terjadi di dunia luar, bahkan sebelum mereka memulai aktivitas harian.

Begitu pula sebelum tidur, kebiasaan ini muncul kembali. Alih-alih beristirahat dan menenangkan pikiran, mereka akan menghabiskan waktu mengecek postingan terbaru, berita, atau konten dari teman-teman di media sosial. Rasa cemas karena takut tertinggal informasi atau ketinggalan momen penting membuat mereka sulit untuk benar-benar menenangkan diri. Akibatnya, kebiasaan ini dapat mengganggu pola tidur, menyebabkan stres, dan bahkan memperburuk kesehatan mental secara keseluruhan.

Kebiasaan ini mencerminkan bahwa seseorang yang mengalami FOMO seakan tidak bisa berpisah dari gadgetnya, karena mereka merasa kehilangan kendali jika tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ini menciptakan siklus kecemasan yang terus-menerus, di mana seseorang merasa "tidak cukup" atau tertinggal karena perbandingan yang konstan dengan apa yang mereka lihat di layar gadget. Hal ini bisa berdampak pada kualitas hidup, mengurangi perhatian pada momen-momen nyata, dan membuat seseorang terisolasi dari pengalaman dunia nyata.

5. Mengatakan “Ya” Bahkan Disaat Sedang Tidak Ingin 

Salah satu perilaku umum yang dialami oleh orang yang mengalami FOMO (Fear of Missing Out) adalah mengatakan "ya" pada ajakan, permintaan, atau aktivitas, meskipun mereka sebenarnya tidak tertarik atau tidak merasa nyaman. Ini terjadi karena mereka takut ketinggalan pengalaman atau momen sosial, dan tidak ingin merasa terasing dari lingkungannya. Orang yang mengalami FOMO cenderung merasa bahwa menolak suatu ajakan akan membuat mereka kehilangan kesempatan penting atau menarik, meskipun pada kenyataannya aktivitas tersebut tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi mereka.

Berikut beberapa alasan mengapa seseorang yang mengalami FOMO sering kali merasa terpaksa mengatakan "ya" meskipun sebenarnya tidak ingin:

a. Takut Ketinggalan Kesempatan

Ketakutan terbesar orang yang mengalami FOMO adalah merasa tertinggal atau terlewatkan dari sesuatu yang menyenangkan, penting, atau bermanfaat. Ketika ada ajakan untuk acara sosial, hangout, atau kegiatan lainnya, mereka merasa cemas bahwa jika mereka menolak, mereka mungkin akan kehilangan pengalaman yang berharga. Perasaan ini sering kali muncul meskipun kegiatan tersebut sebenarnya tidak relevan atau menarik bagi mereka. Dalam usaha untuk tidak melewatkan apapun, mereka akhirnya mengatakan "ya" bahkan ketika tidak ingin.

b. Kebutuhan untuk Dianggap Relevan

Orang yang mengalami FOMO sering merasa perlu tetap relevan dalam lingkaran sosial mereka. Mereka takut jika mereka menolak ajakan atau kegiatan, teman-teman mereka akan melanjutkan tanpa mereka, dan ini bisa menyebabkan perasaan keterasingan. Oleh karena itu, mereka mengatakan "ya" agar tetap terhubung dengan lingkungan sosialnya, meskipun mereka harus mengikuti kegiatan yang tidak mereka sukai atau bahkan tidak perlu.

c. Tekanan Sosial

Tekanan sosial memainkan peran besar dalam kebiasaan ini. Banyak orang merasa bahwa mereka harus selalu setuju dengan ajakan dari teman atau kolega untuk menjaga hubungan sosial. Mereka mungkin takut bahwa jika mereka menolak, mereka akan dianggap tidak kooperatif atau bahkan dijauhi. Ketika mengalami FOMO, tekanan ini menjadi lebih besar, dan orang tersebut merasa sulit untuk menolak meskipun sebenarnya mereka lebih memilih tidak ikut serta.

d. Mengorbankan Diri untuk Validasi Eksternal

Kebiasaan mengatakan "ya" meskipun tidak ingin sering kali disebabkan oleh kebutuhan untuk mendapatkan validasi atau persetujuan dari orang lain. Mereka yang mengalami FOMO mungkin merasa bahwa dengan selalu bersedia ikut dalam berbagai aktivitas, mereka akan mendapatkan penerimaan dan pengakuan dari teman-teman atau lingkungannya. Mereka khawatir bahwa jika mereka menolak, mereka akan kehilangan posisi atau status sosial tertentu, yang membuat mereka merasa tidak berharga.

e. Merasa Terpaksa Berpura-pura Menikmati

Ketika seseorang mengatakan "ya" pada ajakan yang tidak mereka inginkan, sering kali mereka harus berpura-pura menikmati kegiatan tersebut. Meskipun sebenarnya merasa lelah, tidak tertarik, atau ingin melakukan hal lain, mereka merasa terpaksa untuk menunjukkan bahwa mereka senang mengikuti acara tersebut. Hal ini dapat menjadi beban emosional dan mental, karena mereka tidak hanya menghabiskan waktu mereka pada hal-hal yang tidak mereka nikmati, tetapi juga harus menekan perasaan mereka yang sebenarnya.

f. Mengorbankan Waktu dan Energi untuk Kegiatan yang Tidak Penting

Akibat dari selalu mengatakan "ya" adalah seseorang mengorbankan waktu dan energi mereka untuk hal-hal yang tidak penting atau tidak bermanfaat. Mereka mungkin merasa kewalahan karena terlibat dalam terlalu banyak aktivitas, tanpa mendapatkan kepuasan atau manfaat nyata dari pengalaman tersebut. Pada akhirnya, ini bisa mengganggu keseimbangan kehidupan pribadi mereka, termasuk mengorbankan waktu istirahat, pekerjaan, atau kegiatan yang lebih bermakna.

g. Menyebabkan Ketidakpuasan dan Kelelahan

Kebiasaan selalu mengatakan "ya" ketika tidak ingin pada akhirnya akan menyebabkan ketidakpuasan dan kelelahan. Seseorang yang sering merasa terpaksa mengikuti ajakan akan merasa semakin jauh dari keinginan dan kebutuhan pribadinya. Ini dapat menimbulkan stres, frustrasi, dan bahkan menurunkan kesejahteraan mental. Mereka juga bisa merasa terjebak dalam rutinitas yang mereka tidak nikmati, yang membuat mereka merasa tertekan atau terbebani secara emosional.

Untuk mengatasi kecenderungan ini, penting bagi seseorang yang mengalami FOMO untuk belajar menetapkan batasan pribadi dan merasa nyaman dengan mengatakan "tidak" ketika mereka benar-benar tidak ingin atau tidak perlu mengikuti ajakan. Menyadari bahwa menolak tidak selalu berarti kehilangan sesuatu yang berharga dan bahwa kesejahteraan pribadi lebih penting daripada mengikuti semua hal tanpa henti adalah langkah penting untuk mengurangi dampak negatif FOMO dalam kehidupan sehari-hari.

6.  Lebih peduli dengan Media Sosial daripada Kehidupan Nyata

Salah satu dampak besar dari FOMO (Fear of Missing Out) adalah pergeseran perhatian dari kehidupan nyata ke dunia maya. Orang yang mengalami FOMO cenderung lebih peduli dengan apa yang terjadi di media sosial daripada dengan momen-momen dalam kehidupan nyata. Mereka terfokus pada bagaimana mereka terlihat di dunia maya dan merasa perlu untuk mengikuti atau menyesuaikan diri dengan tren yang mereka lihat di sana. Hal ini dapat menciptakan keinginan kuat untuk diakui dan diterima oleh orang lain di platform digital.

Keinginan untuk diakui ini sering kali muncul dalam bentuk usaha yang intens untuk mendapatkan validasi sosial melalui jumlah "likes," komentar, dan interaksi di media sosial. Seseorang mungkin merasa tidak puas dengan kehidupannya sendiri, sehingga mereka mencoba menciptakan citra tertentu yang terlihat lebih menarik atau "ideal" di dunia maya. Misalnya, seseorang mungkin membagikan foto-foto yang diedit atau dipilih dengan hati-hati untuk menunjukkan bahwa mereka juga mengalami momen-momen "menyenangkan" yang setara dengan apa yang mereka lihat dari orang lain.

Kebutuhan untuk diakui dan diterima ini menyebabkan seseorang terus-menerus membandingkan diri dengan apa yang ditampilkan oleh orang lain di media sosial. Mereka menjadi lebih terobsesi dengan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain, bukan tentang bagaimana mereka sebenarnya menjalani hidup. Sering kali, mereka mengorbankan pengalaman nyata, seperti waktu bersama keluarga, istirahat yang cukup, atau bahkan kesehatan mental, demi memposting atau tetap terlibat dalam percakapan dan aktivitas di dunia maya.

Akibatnya, ini menciptakan siklus yang berbahaya. Semakin seseorang berusaha mendapatkan pengakuan dari media sosial, semakin mereka merasa kurang puas dengan diri mereka sendiri karena standar yang mereka ikuti biasanya tidak realistis. Mereka terus-menerus mengejar validasi eksternal, yang bisa menyebabkan ketegangan emosional, kecemasan, dan perasaan tidak berharga jika mereka tidak mendapatkan respons yang mereka harapkan.

Pada akhirnya, ketergantungan pada pengakuan di dunia maya ini bisa mengganggu hubungan nyata dan momen-momen penting di kehidupan sehari-hari. Seseorang mungkin merasa terisolasi secara emosional karena lebih fokus pada kesan digital daripada membangun hubungan nyata dengan orang di sekitar mereka. Ini mengakibatkan ketidakpuasan yang lebih dalam terhadap kehidupan, meskipun terlihat aktif dan "berhasil" di media sosial.

Gejala-gejala ini bisa berdampak negatif pada kesejahteraan emosional dan mental. Oleh karena itu, penting untuk mengenali dan menyadari kapan kita mulai mengalami perasaan FOMO, sehingga kita dapat mengambil langkah untuk mengelola kecemasan ini dan kembali fokus pada kehidupan kita sendiri tanpa merasa terbebani oleh apa yang mungkin kita lewatkan.

TIPS MENGURANGI PERASAAN FOMO

Pinterest.com/teachingexpertise 
Pinterest.com/teachingexpertise 

1. Fokus Pada Diri Sendiri 

Setiap orang tidak mungkin terus mengikuti perkembangan setiap saat, begitu pula dengan kebahagiaan. Hidup itu penuh dinamika, selalu berputar, dengan momen-momen bahagia, sedih, menantang, dan penuh makna. Harapan untuk selalu bahagia atau selalu berada di puncak pencapaian adalah sesuatu yang tidak realistis. Namun, orang yang mengalami FOMO (Fear of Missing Out) sering kali terjebak dalam perangkap perbandingan sosial, di mana mereka merasa bahwa hidup mereka harus selalu sesuai dengan apa yang mereka lihat dari orang lain, terutama di media sosial.

a. Hidup Tidak Bisa Selalu Mengikuti Perkembangan

Di dunia yang terus berkembang dengan sangat cepat, mencoba mengikuti semua tren, berita, atau inovasi terbaru akan terasa sangat melelahkan. Tidak mungkin bagi seseorang untuk selalu berada di garis depan setiap perkembangan karena waktu, energi, dan sumber daya terbatas. Misalnya, tren mode, teknologi, atau hiburan selalu berubah, dan seseorang yang terus berusaha untuk tetap up-to-date akan mengalami tekanan yang besar. Ini menciptakan ketegangan internal dan bisa membuat seseorang merasa tertinggal jika mereka tidak mengikuti tren terbaru.

Kenyataannya, tidak ada yang bisa berada di mana-mana sekaligus atau mengetahui segala sesuatu yang sedang terjadi. Menerima kenyataan ini adalah langkah penting untuk melepaskan diri dari tekanan FOMO. Fokus pada hal-hal yang benar-benar penting bagi diri sendiri, daripada mengejar tren yang terus berganti, akan membawa lebih banyak kepuasan dan ketenangan.

b. Kebahagiaan Tidak Mungkin Abadi

 Kehidupan manusia terdiri dari berbagai momen yang terus berganti, dan kebahagiaan adalah salah satu dari banyak emosi yang kita rasakan. Tidak mungkin seseorang selalu merasa bahagia setiap saat karena hidup selalu penuh dengan perubahan, tantangan, dan emosi lain seperti kesedihan, kebingungan, atau kegelisahan. FOMO sering kali diperparah oleh gambar-gambar kehidupan orang lain yang terlihat sempurna di media sosial—seperti liburan indah, momen keluarga yang bahagia, atau pencapaian besar. Ini menciptakan ilusi bahwa orang lain selalu bahagia, dan kita seharusnya juga merasa demikian.

Namun, kenyataannya, setiap orang mengalami pasang surut dalam hidup mereka, termasuk orang-orang yang tampak bahagia di media sosial. Menerima bahwa kebahagiaan bukanlah keadaan yang permanen, melainkan momen-momen yang muncul dan hilang, akan membantu seseorang melepaskan tekanan untuk selalu terlihat atau merasa sempurna. Justru melalui pengalaman berbagai emosi, kita bisa lebih menghargai momen-momen kebahagiaan ketika itu datang.

c. Tidak Perlu Membandingkan Diri dengan Orang Lain

Membandingkan diri dengan orang lain adalah salah satu penyebab utama FOMO. Ketika seseorang melihat pencapaian atau momen bahagia orang lain, mereka sering kali merasa bahwa hidup mereka kurang berharga atau tertinggal. Ini menimbulkan rasa cemas dan ketidakpuasan, karena mereka merasa tidak bisa mencapai standar yang sama dengan orang lain. Padahal, setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda, dengan tantangan, kesempatan, dan keberhasilan yang unik. Membandingkan diri dengan orang lain sering kali tidak adil, karena kita hanya melihat bagian terbaik dari hidup mereka, bukan perjuangan di baliknya.

Lebih baik fokus pada tujuan dan pencapaian pribadi, daripada mencoba mengejar standar yang ditetapkan oleh orang lain. Kebahagiaan dan kesuksesan datang dalam berbagai bentuk, dan apa yang penting bagi satu orang mungkin tidak relevan bagi orang lain. Setiap orang menjalani hidup dengan cara mereka sendiri, dan yang penting adalah menemukan apa yang benar-benar membawa kepuasan dan makna dalam kehidupan kita masing-masing, bukan apa yang terlihat di luar.

d. Menerima Keunikan Diri

Alih-alih membandingkan diri dengan orang lain, penting untuk menerima dan merayakan keunikan diri sendiri. Setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda, dengan ritme, prioritas, dan tujuan yang berbeda pula. Orang yang mengalami FOMO cenderung terlalu fokus pada apa yang mereka tidak miliki, daripada mensyukuri apa yang mereka miliki dan pencapaian yang telah mereka raih. Penerimaan terhadap diri sendiri dan rasa syukur atas kehidupan kita adalah kunci untuk mengurangi rasa cemas dan tidak puas yang sering disebabkan oleh perbandingan sosial.

e. Keseimbangan dalam Menghadapi Perubahan Hidup

 Hidup selalu berubah, dan kita tidak bisa selalu berada dalam puncak kebahagiaan atau kesuksesan. Ada saat-saat kita berada di atas, dan ada pula saat-saat kita harus menghadapi tantangan. Daripada berusaha untuk terus berada di puncak atau mengejar kebahagiaan tanpa henti, lebih baik belajar untuk menghadapi setiap perubahan hidup dengan keseimbangan. Menerima momen-momen sulit sama pentingnya dengan merayakan saat-saat bahagia. Ini membantu kita menjaga kesehatan mental dan mengurangi stres yang disebabkan oleh harapan yang tidak realistis.

Pada akhirnya, memahami bahwa hidup adalah perjalanan yang penuh variasi—dan tidak harus selalu sempurna atau mengikuti setiap perkembangan—akan membantu seseorang menjalani hidup dengan lebih tenang dan puas. Fokus pada apa yang benar-benar penting bagi diri sendiri dan menerima bahwa setiap orang menjalani kehidupan dengan cara yang berbeda adalah langkah penting untuk membebaskan diri dari tekanan FOMO dan meraih kebahagiaan sejati.

2. Membatasi Penggunaan Media Sosial dan Gadget 

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu pemicu utama FOMO (Fear of Missing Out) adalah postingan dan update orang lain di media sosial. Ketika kita terlalu banyak menghabiskan waktu di platform seperti Instagram, Facebook, atau TikTok, kita terus-menerus terpapar dengan highlight kehidupan orang lain, yang sering kali terlihat lebih menarik, bahagia, dan sukses. Postingan-postingan tersebut dapat menciptakan ilusi bahwa kehidupan orang lain selalu sempurna, yang kemudian memicu rasa cemas, iri, dan perasaan tertinggal. Oleh karena itu, dengan membatasi diri dalam penggunaan media sosial, kita dapat mengurangi dampak negatif FOMO dan menjaga keseimbangan mental kita.

a. Mengurangi Paparan terhadap Perbandingan Sosial

Media sosial sering kali membuat kita membandingkan kehidupan kita dengan orang lain, meskipun perbandingan tersebut tidak adil. Kita biasanya hanya melihat momen-momen terbaik dari kehidupan orang lain, sementara bagian sulit atau tantangan hidup mereka jarang ditampilkan. Ini menyebabkan ilusi bahwa hidup mereka selalu lebih baik daripada hidup kita. Dengan membatasi penggunaan media sosial, kita secara otomatis mengurangi paparan terhadap perbandingan sosial yang tidak sehat ini, yang dapat membantu kita fokus pada kehidupan kita sendiri dan lebih bersyukur atas apa yang kita miliki.

b. Mengurangi Kecemasan dan Ketidakpuasan

Terlalu banyak menghabiskan waktu di media sosial bisa meningkatkan perasaan cemas dan ketidakpuasan dengan kehidupan kita sendiri. Ketika kita melihat teman-teman atau selebriti yang tampaknya menjalani hidup yang lebih baik—dengan liburan mewah, prestasi besar, atau momen-momen bahagia lainnya—hal ini dapat memicu rasa tidak puas dengan situasi kita sendiri. Dengan membatasi akses ke media sosial, kita dapat menciptakan ruang untuk refleksi diri yang lebih sehat, di mana kita tidak terus-menerus merasa tertinggal atau gagal.

c. Fokus pada Kehidupan Nyata

Media sosial cenderung menarik perhatian kita dari apa yang terjadi di kehidupan nyata. Kita bisa menghabiskan berjam-jam menggulir feed, mengecek update terbaru, atau berinteraksi di dunia maya, sementara kehidupan nyata kita, seperti waktu untuk keluarga, teman-teman, atau hobi, bisa terlupakan. Membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial membantu kita kembali fokus pada hal-hal yang lebih nyata dan bermakna, seperti hubungan personal yang mendalam, pencapaian diri, dan aktivitas yang benar-benar memberikan kebahagiaan.

d. Menjaga Kesehatan Mental

Penggunaan media sosial yang berlebihan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental, terutama bagi mereka yang rentan terhadap perbandingan sosial dan FOMO. Mengurangi waktu di media sosial memberi kita ruang untuk menjaga kesehatan mental dengan lebih baik, karena kita tidak terus-menerus dibombardir oleh informasi atau postingan yang memicu kecemasan dan ketidakpuasan. Mengatur batasan dalam penggunaan media sosial, seperti menggunakan aplikasi pengatur waktu atau hanya mengecek media sosial pada waktu-waktu tertentu, dapat membantu menjaga keseimbangan emosional dan mental kita.

e. Meningkatkan Produktivitas dan Kesejahteraan

Media sosial sering kali menjadi distraksi yang besar, mengganggu produktivitas kita di pekerjaan, studi, atau kegiatan sehari-hari. Dengan membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial, kita dapat lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dan bermakna dalam hidup kita. Waktu yang biasanya digunakan untuk menggulir feed media sosial dapat dialihkan ke aktivitas yang lebih bermanfaat, seperti berolahraga, membaca, mengembangkan keterampilan baru, atau sekadar menikmati waktu dengan orang-orang terdekat. Ini juga membantu kita merasa lebih produktif dan puas dengan pencapaian sehari-hari.

f. Membangun Hubungan yang Lebih Sehat

Membatasi penggunaan media sosial juga membantu kita membangun hubungan yang lebih sehat dengan orang-orang di sekitar kita. Alih-alih berinteraksi secara virtual, kita dapat lebih fokus pada interaksi tatap muka yang lebih bermakna. Kehadiran fisik dan perhatian penuh pada percakapan dengan orang-orang terdekat akan membuat hubungan menjadi lebih erat dan autentik, yang pada akhirnya memberikan kebahagiaan yang lebih mendalam daripada sekadar interaksi di media sosial.

g. Membuat Waktu untuk Diri Sendiri

Dengan membatasi media sosial, kita juga memberikan lebih banyak waktu untuk diri sendiri. Ini bisa berarti momen untuk refleksi diri, merencanakan tujuan hidup, atau sekadar menikmati ketenangan tanpa distraksi. Menghabiskan waktu untuk introspeksi dan berfokus pada kesejahteraan diri sendiri jauh lebih produktif daripada membandingkan diri dengan orang lain di media sosial. Waktu ini juga bisa digunakan untuk menumbuhkan kreativitas, menjelajahi hobi baru, atau mencari cara-cara lain untuk meningkatkan kualitas hidup kita.

h. Mengembangkan Mindset Positif

Ketika kita tidak lagi terus-menerus terpapar oleh kehidupan orang lain di media sosial, kita mulai mengembangkan mindset yang lebih positif. Kita tidak lagi merasa perlu mengikuti semua tren atau mencapai standar kebahagiaan yang ditetapkan oleh orang lain. Sebaliknya, kita bisa lebih fokus pada apa yang membuat kita bahagia dan merasa puas dengan kehidupan kita sendiri. Dengan mindset yang lebih positif, kita akan lebih mampu mengatasi perasaan cemas atau takut ketinggalan, dan lebih menikmati momen-momen dalam hidup kita tanpa tekanan dari luar.

Secara keseluruhan, membatasi penggunaan media sosial adalah langkah penting untuk mengurangi FOMO dan menjaga kesehatan mental kita. Dengan lebih sedikit distraksi dari kehidupan orang lain, kita dapat lebih fokus pada diri sendiri, menikmati momen-momen kehidupan, dan mencapai kebahagiaan yang lebih autentik.

3. Mencari Koneksi Nyata 

Sebagai makhluk sosial, manusia secara alami membutuhkan interaksi dan hubungan dengan orang lain untuk merasa terpenuhi dan bahagia. Kebutuhan ini tidak hanya mencakup sekadar komunikasi, tetapi juga kehadiran fisik dan emosi dalam hubungan yang nyata. Sayangnya, dalam era media sosial, banyak orang menggantikan hubungan sosial yang otentik dengan interaksi virtual, yang sering kali lebih dangkal dan tidak memberikan kedalaman emosional yang sama. Hal ini dapat memperburuk perasaan FOMO (Fear of Missing Out), karena media sosial menampilkan versi terbaik dari kehidupan orang lain, yang membuat kita merasa tertinggal atau kurang dalam hidup kita.

Untuk mengatasi hal ini, penting untuk kembali mengutamakan hubungan sosial yang nyata dan membangun koneksi autentik dengan orang lain. Ketika kita fokus pada interaksi langsung, perasaan FOMO perlahan akan memudar, karena hubungan nyata memberikan dukungan emosional, kebahagiaan, dan kepuasan yang jauh lebih mendalam daripada interaksi di dunia maya.

a. Hubungan Nyata Lebih Mendalam dan Bermakna

Hubungan sosial yang dibangun melalui interaksi tatap muka atau kehadiran fisik jauh lebih mendalam daripada hubungan yang hanya terbentuk di media sosial. Ketika kita bertemu langsung dengan teman atau keluarga, kita bisa berbagi emosi, pengalaman, dan pikiran secara lebih personal. Percakapan yang terjadi dalam kehidupan nyata sering kali lebih jujur dan terbuka, memungkinkan kita untuk merasa lebih terhubung secara emosional. Koneksi ini membantu kita merasa diterima dan didukung, yang pada akhirnya mengurangi perasaan cemas dan terisolasi yang sering disebabkan oleh FOMO.

b. Mengurangi Ilusi yang Diciptakan oleh Media Sosial

Media sosial sering kali menampilkan versi ideal dari kehidupan orang lain. Foto liburan, momen bahagia, pencapaian, dan gaya hidup mewah adalah sebagian kecil dari kenyataan hidup mereka, tetapi ini menciptakan ilusi bahwa orang lain selalu bahagia dan sukses. Ketika kita terlalu fokus pada kehidupan virtual ini, kita mulai membandingkan diri kita dengan orang lain, yang memicu FOMO. Namun, dalam interaksi langsung, kita dapat melihat dan merasakan realitas kehidupan orang lain dengan lebih jelas—termasuk tantangan, kegagalan, dan kesedihan yang mungkin tidak terlihat di media sosial. Ini membantu kita memahami bahwa semua orang menghadapi pasang surut dalam hidup mereka, sehingga kita tidak lagi merasa tertinggal.

c. Membangun Rasa Empati dan Kebersamaan

Koneksi nyata dengan orang lain memungkinkan kita untuk membangun empati, memahami perasaan dan pengalaman mereka dengan lebih baik. Ketika kita berbicara langsung dengan seseorang, kita bisa merasakan suasana hati mereka, mendengar nada suara mereka, dan memahami bahasa tubuh mereka. Ini menciptakan rasa kebersamaan dan saling mendukung yang lebih kuat dibandingkan dengan hubungan di media sosial. Rasa kebersamaan ini membantu mengatasi FOMO, karena kita menyadari bahwa kita tidak sendirian dalam menghadapi tantangan hidup.

d. Meningkatkan Kesejahteraan Mental dan Emosional

Hubungan sosial yang sehat dalam kehidupan nyata memiliki dampak positif pada kesejahteraan mental dan emosional kita. Penelitian menunjukkan bahwa interaksi langsung dengan orang lain, terutama yang melibatkan percakapan mendalam dan dukungan emosional, dapat mengurangi stres, kecemasan, dan perasaan kesepian. Ketika kita merasa didukung oleh orang-orang di sekitar kita, perasaan FOMO akan berkurang secara alami, karena kita merasa lebih terpenuhi dan puas dengan kehidupan kita sendiri. Media sosial, di sisi lain, sering kali memperburuk perasaan cemas dan tidak puas, terutama ketika kita merasa hidup kita tidak seindah yang terlihat di feed orang lain.

e. Meningkatkan Kepuasan Sosial

Koneksi nyata memberikan kepuasan sosial yang lebih besar daripada interaksi di media sosial. Ketika kita berinteraksi langsung dengan orang lain, kita bisa merasakan kehadiran mereka, berbagi pengalaman bersama, dan menciptakan kenangan yang bermakna. Ini tidak hanya memberikan kebahagiaan, tetapi juga rasa memiliki dan dihargai dalam kelompok sosial kita. Dalam interaksi tatap muka, kita bisa merasakan kehangatan dari senyuman, tawa, dan kebersamaan yang sulit dirasakan melalui layar ponsel atau komputer. Pengalaman nyata ini jauh lebih memuaskan dan membantu kita merasa lebih terhubung secara emosional.

f. Mengalihkan Fokus dari Dunia Maya ke Dunia Nyata

Dengan mengutamakan hubungan nyata, kita juga mengalihkan fokus dari dunia maya ke dunia nyata. Ketika kita lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang di sekitar kita, perhatian kita tidak lagi terpusat pada apa yang terjadi di media sosial atau pada kehidupan orang lain yang kita lihat melalui layar. Alih-alih merasa tertinggal, kita mulai menghargai momen-momen kecil dalam kehidupan sehari-hari bersama orang-orang yang benar-benar penting bagi kita. Dengan demikian, kita mulai merasa lebih puas dengan kehidupan kita sendiri dan tidak lagi terobsesi dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih menarik di media sosial.

g. Menciptakan Ruang untuk Pertumbuhan Pribadi

Interaksi nyata dengan orang lain juga memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi. Ketika kita terlibat dalam percakapan yang mendalam dan bermakna, kita tidak hanya belajar tentang orang lain tetapi juga tentang diri kita sendiri. Hubungan yang baik memungkinkan kita untuk menerima kritik yang membangun, mendapatkan perspektif baru, dan berbagi pengalaman yang bisa membantu kita tumbuh sebagai individu. Ini adalah aspek yang sering hilang dalam interaksi di media sosial, di mana percakapan sering kali dangkal dan kurang mendalam.

h. Membangun Komunitas yang Kuat

Interaksi nyata membantu kita membangun komunitas yang kuat, yang bisa mendukung kita dalam jangka panjang. Teman, keluarga, dan komunitas lokal adalah sumber dukungan emosional yang penting, terutama ketika kita menghadapi tantangan atau kesulitan. Dengan memperkuat hubungan ini, kita merasa lebih aman dan stabil dalam kehidupan kita, yang pada akhirnya mengurangi perasaan FOMO. Ketika kita merasa terhubung dengan komunitas nyata, kita tidak lagi merasa perlu untuk mencari validasi atau penerimaan dari orang-orang di media sosial.

Dengan demikian, fokus pada hubungan nyata dan interaksi langsung dengan orang lain adalah cara yang efektif untuk mengatasi FOMO. Koneksi yang otentik memberikan kepuasan emosional yang lebih dalam, mengurangi tekanan dari media sosial, dan membantu kita merasa lebih puas dengan kehidupan kita sendiri. Ini menciptakan keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata, di mana kita bisa lebih menikmati momen-momen penting dalam hidup tanpa merasa tertinggal atau terasing.

4. Hargai diri sendiri 

Menyadari dan menghargai hal-hal baik yang kita miliki dalam hidup adalah kunci untuk mengurangi rasa iri dan perasaan kurang berharga yang sering kali dipicu oleh FOMO (Fear of Missing Out). Ketika kita terlalu fokus pada kehidupan orang lain, baik itu melalui media sosial atau lingkungan sekitar, kita bisa merasa seolah-olah hidup kita tidak cukup baik atau kita tertinggal dibandingkan dengan orang lain. Hal ini menciptakan perasaan cemas, iri, dan kekurangan. Namun, dengan berlatih untuk selalu bersyukur atas apa yang kita miliki, kita bisa mengatasi perasaan negatif ini dan menemukan kepuasan dalam kehidupan kita sendiri.

a. Menghargai Apa yang Kita Miliki

Setiap orang memiliki perjalanan hidup yang unik, dengan pencapaian, pengalaman, dan sumber daya yang berbeda-beda. Ketika kita fokus pada hal-hal positif yang ada dalam hidup kita—seperti keluarga, teman, kesehatan, atau pencapaian kecil sehari-hari—kita mulai menyadari bahwa hidup kita sebenarnya dipenuhi dengan hal-hal baik. Rasa syukur membantu kita memusatkan perhatian pada apa yang sudah kita miliki, daripada merasa iri terhadap apa yang dimiliki orang lain. Dengan bersyukur, kita tidak lagi memandang hidup kita melalui kacamata kekurangan, tetapi melalui kacamata kelimpahan.

b. Mengurangi Perasaan Iri

Iri hati sering kali timbul karena kita membandingkan hidup kita dengan orang lain, terutama ketika kita melihat kehidupan mereka melalui lensa media sosial. Namun, dengan menyadari hal-hal baik yang sudah kita miliki dan bersyukur atasnya, kita bisa meredam perasaan iri tersebut. Mengingat hal-hal baik dalam hidup kita membantu kita fokus pada diri sendiri dan mengurangi tekanan untuk mengejar standar kebahagiaan atau kesuksesan yang ditetapkan oleh orang lain. Rasa iri hanya timbul ketika kita merasa hidup kita kurang, dan dengan bersyukur, perasaan ini dapat diredam secara signifikan.

c. Fokus pada Pekerjaan dan Tujuan Saat Ini

Daripada mencari validasi dari orang lain atau merasa harus mengikuti tren tertentu, lebih baik fokus pada apa yang sedang kita kerjakan saat ini. Ketika kita sepenuhnya hadir dan terlibat dalam tugas atau tujuan kita, kita akan merasa lebih produktif dan puas. FOMO sering kali terjadi karena kita merasa ada hal lain yang lebih baik yang bisa kita lakukan, tetapi dengan memberikan perhatian penuh pada pekerjaan saat ini, kita bisa menemukan makna dan kepuasan dalam apa yang kita lakukan. Alih-alih berusaha membuktikan diri di mata orang lain, kita bisa mencapai kebahagiaan dengan mengejar tujuan pribadi dan meraih pencapaian yang bermakna bagi diri sendiri.

d. Menemukan Kepuasan dari Dalam Diri

Salah satu cara untuk mengatasi perasaan FOMO adalah dengan menemukan kepuasan dari dalam diri, bukan dari pengakuan atau validasi eksternal. Ketika kita merasa bahwa kebahagiaan dan keberhasilan kita harus diakui oleh orang lain, kita cenderung merasa tidak puas dan selalu mencari lebih banyak. Namun, jika kita dapat meraih kebahagiaan dan kepuasan melalui pencapaian pribadi, kita tidak lagi merasa perlu untuk membandingkan diri dengan orang lain. Fokus pada perkembangan diri, pencapaian yang kita raih sendiri, dan tujuan yang kita tetapkan untuk diri kita sendiri adalah langkah penting dalam mencapai kebahagiaan yang lebih stabil dan autentik.

e. Melatih Rasa Syukur Setiap Hari

Melatih rasa syukur adalah cara efektif untuk mengubah perspektif dan mengurangi FOMO. Dengan mengambil waktu setiap hari untuk merenung dan menghargai hal-hal baik dalam hidup, kita dapat membangun kebiasaan yang sehat untuk fokus pada hal-hal positif. Kebiasaan ini membantu kita merasa lebih puas dan menghargai momen-momen kecil dalam hidup yang sering kali terlewatkan. Ketika kita fokus pada hal-hal yang membuat kita bersyukur, kita lebih sedikit terpengaruh oleh perbandingan sosial atau keinginan untuk mengikuti apa yang orang lain lakukan.

f. Menghindari Perbandingan Sosial

FOMO sering kali diperparah oleh kebiasaan kita untuk membandingkan diri dengan orang lain. Perbandingan sosial, terutama di media sosial, menciptakan tekanan untuk selalu "ikut" dan membuktikan bahwa hidup kita sama menariknya dengan orang lain. Namun, hidup setiap orang berbeda, dan perjalanan setiap individu unik. Dengan menerima bahwa kita tidak perlu mengikuti standar orang lain dan memilih untuk fokus pada kebahagiaan kita sendiri, kita dapat melepaskan diri dari siklus perbandingan yang tidak sehat. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan dengan berhenti membandingkan, kita bisa merasa lebih nyaman dan puas dengan diri kita sendiri.

g. Mengubah Fokus dari Eksternal ke Internal

FOMO sering kali dipicu oleh tekanan eksternal untuk mengikuti tren atau mendapatkan pengakuan. Namun, dengan mengalihkan fokus dari pencapaian eksternal ke kebahagiaan dan kepuasan internal, kita bisa mengurangi kecemasan yang sering timbul akibat FOMO. Ini melibatkan menerima diri kita apa adanya, fokus pada apa yang benar-benar membuat kita bahagia, dan mengejar hal-hal yang bermakna bagi kita, bukan hanya untuk mengikuti harapan orang lain. Ketika fokus kita beralih ke hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup kita, kita akan merasa lebih tenang dan tidak lagi terjebak dalam siklus ketakutan akan ketinggalan.

h. Menikmati Momen Saat Ini

Sering kali, FOMO membuat kita terus-menerus mencari pengalaman atau kegiatan lain yang lebih baik daripada apa yang kita lakukan saat ini. Namun, dengan menyadari dan menikmati momen-momen kecil dalam kehidupan kita sehari-hari, kita dapat menemukan kebahagiaan yang lebih dalam. Menghargai momen sekarang, apakah itu berbincang dengan teman, menikmati secangkir kopi, atau menyelesaikan tugas kecil, membantu kita merasa lebih puas dan hadir dalam kehidupan kita sendiri. Ini juga mengurangi keinginan untuk terus-menerus mencari pengalaman baru di luar diri kita.

i. Memahami Bahwa Kebahagiaan Tidak Berasal dari Pembuktian

Salah satu penyebab FOMO adalah keinginan untuk membuktikan diri kepada orang lain—bahwa kita memiliki kehidupan yang menarik, sukses, atau bahagia. Namun, kebahagiaan sejati tidak datang dari pengakuan atau pembuktian kepada orang lain, melainkan dari bagaimana kita merasakan dan menghargai hidup kita sendiri. Ketika kita memahami bahwa kebahagiaan tidak memerlukan validasi dari luar, kita akan lebih bebas dari tekanan untuk mengikuti tren atau menunjukkan kehidupan kita kepada orang lain. Sebaliknya, kita dapat fokus pada kebahagiaan yang datang dari dalam, yang lebih stabil dan bermakna.

Secara keseluruhan, menyadari hal-hal baik yang kita miliki dan melatih rasa syukur membantu kita mengatasi perasaan FOMO dan menemukan kebahagiaan yang lebih autentik. Dengan fokus pada diri sendiri, kita tidak lagi terjebak dalam siklus perbandingan sosial atau keinginan untuk membuktikan diri. Sebaliknya, kita dapat menemukan kepuasan dalam pencapaian kita sendiri dan kebahagiaan dalam momen-momen kehidupan yang kita hargai.

Jangan sia-siakan hidup dengan terus merasa bahwa diri kita atau apa yang kita miliki tidak pernah cukup. Ketika kita selalu membandingkan hidup kita dengan orang lain, kita kehilangan kesempatan untuk menikmati dan menghargai apa yang ada di depan mata. Setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda, dengan tantangan, kesuksesan, dan kebahagiaannya sendiri. Tidak ada kehidupan yang sempurna, dan tidak ada satu jalur yang benar untuk semua orang.

Alih-alih terjebak dalam perbandingan yang tak berujung, cobalah untuk menikmati momen-momen kecil yang hadir dalam hidup kita. Setiap hari menawarkan peluang baru untuk bersyukur, tumbuh, dan merasa puas. Saat kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain, kita bisa lebih fokus pada apa yang benar-benar penting bagi diri kita sendiri—baik itu impian, hubungan, atau tujuan pribadi. Hidup ini singkat, dan ada begitu banyak hal berharga yang bisa kita nikmati jika kita belajar menghargai perjalanan kita sendiri tanpa tekanan untuk memenuhi harapan orang lain.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun