Dari perspektif filsafat politik, banyak yang akan berpendapat bahwa perbudakan sukarela tidak dapat dibenarkan karena kontradiksi yang ada dalam gagasan ini. Jean-Jacques Rousseau, misalnya, berpendapat bahwa seseorang tidak bisa secara sah menyerahkan hak untuk bebas, karena kebebasan adalah esensi dari kemanusiaan kita. Dengan kata lain, bahkan jika seseorang secara sukarela memilih untuk menjadi budak, keputusan itu pada dasarnya membatalkan kebebasan mereka sendiri, dan hal ini tidak dapat dianggap sebagai tindakan moral yang sah.
Menurut pandangan ini, hak asasi manusia (seperti kebebasan) tidak dapat dihapuskan, bahkan dengan persetujuan individu tersebut, karena ini akan melanggar martabat manusia dan mengarah pada situasi di mana seseorang menghilangkan status manusiawi mereka sendiri. Jadi, dalam konteks ini, prinsip kebebasan pribadi tidak dapat diterapkan secara penuh karena hak kebebasan itu sendiri tidak bisa dilepaskan.
5. Keseimbangan Antara Kebebasan dan Perlindungan Hak
Banyak negara modern dan sistem hukum juga mengakui bahwa ada batasan dalam hak individu untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan, terutama ketika hak itu mencakup penghancuran kebebasan mereka sendiri. Undang-undang melarang perbudakan dalam bentuk apa pun, termasuk perbudakan sukarela, karena prinsip kebebasan tidak hanya melibatkan hak untuk membuat pilihan, tetapi juga untuk melindungi martabat manusia dan memastikan bahwa kebebasan itu tidak bisa direnggut, bahkan oleh diri sendiri.
Dengan demikian, perbudakan sukarela tidak dapat diterima karena bertentangan dengan keyakinan mendasar bahwa hak untuk kebebasan adalah hak universal dan tidak dapat dicabut, dan melanggar prinsip moral yang lebih tinggi tentang hak asasi manusia yang berlaku secara universal.
Orang Amerika pada umumnya menghadapi kontradiksi moral yang kompleks dalam beberapa prinsip yang mereka pegang, terutama ketika menyangkut kebebasan individu dan perlakuan yang adil. Di satu sisi, mereka umumnya percaya bahwa setiap orang memiliki hak untuk memilih dengan siapa mereka ingin bergaul, termasuk hak untuk menentukan hubungan sosial atau ekonomi mereka. Di sisi lain, mereka juga percaya bahwa diskriminasi terhadap kelompok tertentu, seperti orang kulit hitam atau orang gay, tidak dapat diterima, bahkan dalam konteks pilihan pribadi pemilik bisnis. Kedua keyakinan ini, meskipun tampaknya kuat secara moral, sering kali menghasilkan konflik ketika diterapkan pada kasus-kasus nyata.
1. Kebebasan untuk Memilih: Hak untuk Bergaul
Prinsip kebebasan individu dalam bergaul adalah landasan yang dihormati dalam budaya Amerika. Ini terkait erat dengan nilai kebebasan pribadi dan hak otonomi yang dianggap esensial dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Hak untuk memilih siapa yang boleh atau tidak boleh diajak berinteraksi, baik secara pribadi maupun dalam konteks bisnis, dianggap sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan kebebasan bertindak. Misalnya, seseorang mungkin merasa mereka bebas untuk memilih klien, pelanggan, atau rekan bisnis berdasarkan preferensi pribadi mereka.
Namun, kebebasan ini juga sering dipahami dalam batasan ketidakmungkinan memaksakan hubungan orang tidak boleh dipaksa untuk bergaul dengan orang yang mereka tidak sukai. Pada dasarnya, ini adalah kebebasan negatif—kebebasan dari paksaan eksternal. Dalam konteks bisnis, ini bisa diterjemahkan sebagai hak pemilik bisnis untuk menentukan siapa yang mereka layani.
2. Melawan Diskriminasi: Keadilan dan Kesetaraan
Di sisi lain, orang Amerika juga sangat percaya pada keadilan dan kesetaraan, terutama terkait dengan hak-hak sipil. Pandangan ini menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan setara, terlepas dari ras, orientasi seksual, agama, atau karakteristik lainnya. Hal ini tercermin dalam berbagai undang-undang anti-diskriminasi yang melarang tindakan-tindakan diskriminatif dalam bisnis, perumahan, dan tempat umum. Misalnya, pemilik bisnis tidak boleh menolak layanan kepada seseorang berdasarkan identitas seperti warna kulit atau orientasi seksual. Prinsip ini berasal dari keyakinan bahwa diskriminasi melanggar hak asasi manusia dan menciptakan ketidakadilan yang sistemik.