Secara keseluruhan, meskipun kebanyakan dari kita memiliki ribuan kepercayaan moral yang berbeda dan tidak mungkin untuk memeriksa semuanya secara bersamaan, penting bagi kita untuk berusaha mencapai konsistensi dalam penilaian moral kita. Filsafat politik memberikan alat untuk mengidentifikasi dan mengatasi kontradiksi dalam sistem moral kita, memungkinkan kita untuk memprioritaskan keyakinan yang lebih kuat dan mengabaikan yang kurang relevan.
Proses ini sering kali sulit karena berarti kita harus berani melepaskan keyakinan yang telah lama kita pegang atau yang telah kita terima tanpa banyak pertimbangan. Namun, pada akhirnya, hal ini membantu kita untuk menjadi individu yang lebih konsisten dan rasional dalam membangun pandangan moral kita tentang dunia.
Pertanyaan tentang perbudakan sukarela menimbulkan konflik dalam kepercayaan moral yang khas dipegang oleh banyak orang Amerika—khususnya, keyakinan bahwa perbudakan adalah salah karena setiap orang memiliki hak yang tidak dapat dicabut untuk kebebasan, dan kepercayaan bahwa orang berhak melakukan apa yang mereka inginkan, selama tindakan tersebut tidak menyakiti orang lain. Kedua prinsip ini saling bertentangan dalam konteks perbudakan sukarela, memaksa kita untuk mempertimbangkan apakah prinsip-prinsip ini benar-benar koheren atau apakah salah satunya perlu dikompromikan.
1. Perbudakan: Pelanggaran Terhadap Hak Kebebasan
Perbudakan, dalam bentuk apa pun, dianggap salah oleh kebanyakan orang Amerika karena melanggar hak asasi manusia yang fundamental—hak untuk bebas dan mengontrol hidup sendiri. Menurut keyakinan ini, setiap orang berhak atas kebebasan mereka, dan perbudakan secara inheren menolak hak tersebut dengan menjadikan satu individu sepenuhnya bergantung pada kehendak orang lain. Oleh karena itu, dalam pandangan ini, tidak ada kondisi di mana perbudakan dibenarkan, karena kebebasan adalah hak yang tidak dapat dicabut.
2. Kebebasan Pribadi dan Otonomi
Di sisi lain, banyak orang Amerika juga percaya pada prinsip kebebasan pribadi, yaitu gagasan bahwa orang bebas melakukan apa yang mereka inginkan, selama tindakan tersebut tidak merugikan orang lain. Prinsip ini menekankan otonomi individu: hak untuk membuat keputusan tentang hidup sendiri, bahkan jika keputusan itu merugikan diri sendiri atau tampak tidak bijaksana bagi orang lain. Di bawah prinsip ini, jika seseorang dengan sadar dan sukarela memilih untuk menjadi budak, maka menurut logika kebebasan pribadi, kita mungkin merasa bahwa mereka memiliki hak untuk membuat keputusan tersebut, selama mereka tidak melanggar hak orang lain.
3. Konflik Moral: Perbudakan Sukarela
Ketika kita menerapkan kedua prinsip ini pada perbudakan sukarela, kita menghadapi konflik moral yang rumit. Jika seseorang secara sukarela setuju untuk menyerahkan kebebasan mereka dan masuk ke dalam kondisi perbudakan, apakah itu dapat dianggap sebagai bentuk kebebasan atau otonomi pribadi? Dalam hal ini, prinsip kebebasan pribadi tampaknya mendukung hak seseorang untuk membuat keputusan tersebut.
Namun, ini langsung bertentangan dengan keyakinan lain bahwa kebebasan adalah hak yang tidak dapat dicabut, dan karena itu, tidak ada individu yang dapat menyerahkan hak mereka untuk bebas—bahkan jika mereka ingin melakukannya. Dengan kata lain, meskipun perbudakan "sukarela" tampaknya menghormati pilihan pribadi, hal itu pada saat yang sama menghapus kebebasan secara permanen, yang merupakan pelanggaran prinsip mendasar tentang hak asasi manusia.
4. Analisis Filsafat: Apakah Perbudakan Sukarela Boleh?