Mak Inah menghela napas, kerutan di wajahnya semakin dalam. "Itu politik uang, Nay. Dulu zaman Ibu, nggak ada kayak gitu. Orang milih pemimpin ya karena hati nurani, bukan karena diiming-imingi duit."
"Tapi Mak, sekarang orang kayak gitu banyak. Katanya kalau nggak nerima uang, suara kita percuma," lirih Naya.
"Percuma apanya? Suara kita itu harga diri, Nay! Harga diri bangsa Indonesia! Nggak boleh digadaikan demi recehan uang," tegas Mak Inah, suaranya bergetar menahan emosi.
Naya mengangguk pelan. Ia tahu Mak Inah benar. Tapi godaan uang itu nyata, apalagi bagi warga desanya yang hidup pas-pasan. Ia teringat Pak Diman, tetangga sebelah, yang pagi tadi terlihat sumringah menghitung lembar demi lembar uang dari amplop misterius.
"Nay, kamu inget cerita kakekmu tentang Pemilu pertama Indonesia?" Mak Inah mengalihkan perhatian Naya.
Naya mendongak, matanya berbinar. Kakeknya, seorang veteran pejuang kemerdekaan, sering bercerita tentang semangat para pahlawan memperjuangkan hak pilih. "Inget, Mak. Mereka rela berkorban nyawa demi hak kita memilih pemimpin dengan bebas, tanpa tekanan."
"Betul. Dan kebebasan itu harus kita jaga, Nay. Jangan biarkan dibeli dengan uang," pesan Mak Inah.
Naya mengepalkan tangan, tekad mengeras di hatinya. "Iya, Mak. Aku nggak akan jual suara aku! Aku akan lawan praktik kotor ini!"
Di Jakarta, gedung mewah milik seorang pengusaha tampak riuh rendah.
"Pak Bos, semua sudah beres. Uang sudah dibagikan ke daerah-daerah target," seorang pria berbadan tegap melapor.
Pria paruh baya yang disapa Pak Bos itu menyeringai. "Bagus. Pastikan kemenangan di tangan kita. Ingat, siapa pun yang menghalangi, sikat!"