Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serangan Fajar Berlumuran Uang: Sebuah Kisah Demokrasi yang Tercoreng

14 Februari 2024   06:03 Diperbarui: 14 Februari 2024   06:15 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
belitongekspres.disway.id

Mak Inah menghela napas, kerutan di wajahnya semakin dalam. "Itu politik uang, Nay. Dulu zaman Ibu, nggak ada kayak gitu. Orang milih pemimpin ya karena hati nurani, bukan karena diiming-imingi duit."

"Tapi Mak, sekarang orang kayak gitu banyak. Katanya kalau nggak nerima uang, suara kita percuma," lirih Naya.

"Percuma apanya? Suara kita itu harga diri, Nay! Harga diri bangsa Indonesia! Nggak boleh digadaikan demi recehan uang," tegas Mak Inah, suaranya bergetar menahan emosi.

Naya mengangguk pelan. Ia tahu Mak Inah benar. Tapi godaan uang itu nyata, apalagi bagi warga desanya yang hidup pas-pasan. Ia teringat Pak Diman, tetangga sebelah, yang pagi tadi terlihat sumringah menghitung lembar demi lembar uang dari amplop misterius.

"Nay, kamu inget cerita kakekmu tentang Pemilu pertama Indonesia?" Mak Inah mengalihkan perhatian Naya.

Naya mendongak, matanya berbinar. Kakeknya, seorang veteran pejuang kemerdekaan, sering bercerita tentang semangat para pahlawan memperjuangkan hak pilih. "Inget, Mak. Mereka rela berkorban nyawa demi hak kita memilih pemimpin dengan bebas, tanpa tekanan."

"Betul. Dan kebebasan itu harus kita jaga, Nay. Jangan biarkan dibeli dengan uang," pesan Mak Inah.

Naya mengepalkan tangan, tekad mengeras di hatinya. "Iya, Mak. Aku nggak akan jual suara aku! Aku akan lawan praktik kotor ini!"

Di Jakarta, gedung mewah milik seorang pengusaha tampak riuh rendah.

"Pak Bos, semua sudah beres. Uang sudah dibagikan ke daerah-daerah target," seorang pria berbadan tegap melapor.

Pria paruh baya yang disapa Pak Bos itu menyeringai. "Bagus. Pastikan kemenangan di tangan kita. Ingat, siapa pun yang menghalangi, sikat!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun