Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti di depan TPS. Seorang pria berjas keluar, diikuti beberapa preman berbadan tegap. Pria itu, yang dikenal sebagai kaki tangan Pak Bos, sang pengusaha kaya, langsung berjalan menghampiri Naya.
"Kamu Naya, kan?" ujarnya dengan nada mengintimidasi. "Minggir sana, ganggu pemilih lain!"
Naya tak bergeming. "Bapak yang ganggu demokrasi! Mau beli suara warga, ya?"
Pria berjas itu tertawa sinis. "Kamu anak ingusan ngerti apa? Ini sumbangan untuk pembangunan desa!"
"Pembangunan kok pakai sogok? Ngeles aja, Bapak!" Naya tak gentar meski preman-preman itu mulai mendekatinya.
Keributan itu membuat warga semakin resah. Beberapa pemuda desa yang melihat Naya dikeroyok mulai maju membantunya. Suasana tegang menyelimuti TPS.
Tiba-tiba, suara lantang Mak Inah memecah ketegangan. "Woi! Apa-apaan ini? Ganggu pemilu, ya?"
Mak Inah, dengan tongkat kayu di tangannya, berdiri tegap di depan Naya. Para pemuda desa pun ikut maju, membentuk pagar betis melindungi Naya dan Mak Inah.
Pria berjas itu terkejut melihat perlawanan warga. Ia melirik anak buahnya, memberi kode untuk mundur. Mereka tak ingin berurusan dengan warga yang sudah terlanjur emosi.
"Ingat ya, warga Sukamaju," Mak Inah bersuara lantang, "suara kita harga diri kita! Nggak bisa dibeli sama siapa pun!"
Warga bersorak sorai, mengelu-elukan Mak Inah dan Naya. Pria berjas itu dan anak buahnya pun akhirnya pergi dengan tangan hampa.