Namun, kegelisahan mulai menghantui Naya. Ia menerima pesan anonim berisi ancaman, meminta mereka untuk tutup mulut dan mendukung kandidat yang kalah.
"Nggak usah takut, Nay," Asep berusaha menenangkan Naya. "Kita sudah bersatu, nggak akan biarkan mereka mengintimidasi kita."
"Tapi mereka punya kuasa, Sep," Naya lirih. "Apa yang bisa kita lakukan kalau mereka melawan dengan cara yang curang?"
Mak Inah, yang mendengar percakapan mereka, menghampiri Naya dan Asep. "Kejahatan nggak akan pernah menang, Nay. Kita harus tetap bersuara, sampaikan ke media nasional tentang ancaman yang kita terima."
Nasihat Mak Inah diamini Naya dan Asep. Mereka pun menghubungi Bara, menceritakan tentang ancaman yang mereka terima. Bara segera menghubungi media nasional, membuat berita tentang intimidasi yang dialami aktivis pemilu di daerah.
Berita intimidasi itu menjadi sorotan nasional. Publik geram dengan tindakan pihak yang tak sportif. Dukungan untuk Naya dan para aktivis pemilu pun mengalir deras.
Di ruang sidang, proses penghitungan suara berlangsung alot. Pihak Pak Bos mengajukan berbagai gugatan, menuduh terjadi kecurangan di beberapa daerah.
Bara dan tim redaksi hadir sebagai saksi ahli, menunjukkan bukti-bukti kecurangan yang dilakukan pihak Pak Bos. Persidangan disiarkan langsung oleh media, masyarakat menyaksikan dengan saksama.
Setelah melalui proses persidangan yang panjang, akhirnya keputusan final dikeluarkan. Hakim menolak semua gugatan pihak Pak Bos, kemenangan calon yang didukung Naya dan kawan-kawan tetap sah.
Kabar kemenangan disambut dengan sorak sorai di seluruh penjuru negeri. Naya, Bara, Rani, dan para pendukung mereka bersorak gembira, air mata haru mengalir membasahi pipi mereka.
Meski perjuangan mereka membuahkan hasil, Naya dan kawan-kawan sadar bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mewujudkan demokrasi yang bersih dan adil di Indonesia.