"Ini baru permulaan, Nay," Rani berpesan melalui video call. "Kita harus terus mengawasi jalannya pemerintahan, memastikan tidak ada lagi praktik kotor yang terjadi."
"Betul, Ran," Naya tersenyum. "Perjuangan kita belum selesai. Kita harus terus bersatu, bersuara, dan berani melawan ketidakadilan demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik."
Bara, yang kini menjadi aktivis pemilu nasional, mengangkat tangannya membentuk kepalan. "Bersama, kita bisa! Demokrasi Indonesia akan terus bergema!"
Kisah Naya, Bara, Rani, dan para pendukung mereka menjadi inspirasi bagi banyak orang. Mereka membuktikan bahwa dengan keberanian, persatuan, dan semangat pantang menyerah, perubahan menuju demokrasi yang lebih baik bisa diraih.
Namun, bisikan-bisikan ancaman masih terdengar samar-samar. Akankah mereka berhasil menjaga teguh demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah? Nantikan kisah selanjutnya...
Bab 5: Gelombang Balik yang Menerpa Lagi
Kemenangan diraih, namun euforia tak bertahan lama. Bisikan-bisikan ancaman bertransformasi menjadi aksi nyata. Bara, yang terus vokal menyuarakan keadilan, mendapat teror. Motornya dirusak, rumahnya dilempari batu, bahkan ia menerima pesan berisi ancaman pembunuhan.
Tak hanya Bara, Naya dan para aktivis di Desa Sukamaju pun tak luput dari intimidasi. Mereka difitnah, dikucilkan, bahkan diancam akan kehilangan pekerjaan. Ketakutan merayap, menguji keteguhan mereka.
"Nay, kita lanjutkan perjuangan ini atau mundur?" Asep bertanya setelah mendapat ancaman dari preman suruhan pihak lawan.
Naya menatap hamparan sawah yang menghijau di bawah sinar matahari pagi. "Ingat kata Mak Inah, Sep? Kejahatan nggak akan pernah menang. Kita nggak boleh mundur karena takut diintimidasi."
"Tapi mereka punya kuasa, Nay," desah Asep. "Kalau mereka terus menerus menekan, apa yang bisa kita lakukan?"