Di London, Rani menatap layar laptopnya dengan gelisah.
Berita tentang dugaan politik uang di Pemilu Indonesia memenuhi layar. Rani tahu, meski jauh di perantauan, ia tak bisa tinggal diam.
"Aku harus melakukan sesuatu," gumam Rani. Ia mulai mengetik dengan cepat, merumuskan rencana kampanye edukasi online untuk para WNI di luar negeri, mengajak mereka menggunakan hak pilih dengan jujur.
Fajar semakin terang, menyinari tiga insan dari tiga tempat berbeda, yang sedang memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Akankah mereka berhasil? Nantikan kelanjutan kisahnya...
Bab 2: Bisikan dan Bayangan
Matahari meninggi, memanaskan udara desa yang biasanya sejuk. Namun, ketegangan di TPS (Tempat Pemungutan Suara) Desa Sukamaju justru semakin dingin. Naya, dengan selembar karton bertuliskan "Tolak Politik Uang!" berdiri tegak di depan pintu masuk. Tatapannya tajam mengamati setiap orang yang hendak memasuki TPS.
"Eh, Naya, mau nyoblos ya?" sapa Pak Diman, tetangganya, dengan senyum kaku.
Naya balas tersenyum, tapi suaranya tegas. "Nggak, Pak. Saya cuma mau ingetin, jangan lupa gunakan hak pilih Bapak sesuai hati nurani, bukan karena iming-iming uang."
Pak Diman melirik ke belakang, gelisah. "Kamu ini ngomong apa, hah? Nggak usah sok suci!"
"Saya nggak sok suci, Pak. Tapi saya nggak mau demokrasi kita dirusak sama praktik kotor kaya gini!"
Suara Naya lantang, menarik perhatian warga lain yang mengantre. Beberapa berbisik-bisik, ada yang setuju, ada pula yang tak nyaman.