"Saya mungkin nggak ngerti banyak tentang politik, tapi saya tahu yang benar itu harus dibela," kata Naya sambil ikut berdemonstrasi menuntut investigasi independen atas dugaan kecurangan Rian.
Gerakan solidaritas dari masyarakat semakin meluas. Media massa nasional mulai ikut memberitakan kasus ini. Desakan untuk mengusut tuntas dugaan kecurangan Rian pun semakin menggema.
"Lihat, Laras! Masyarakat mulai sadar," Bima menunjukkan berita di layar ponselnya. "Ini berkat keberanianmu bersuara."
Laras tersenyum tipis. Meski perjuangan mereka belum usai, dukungan masyarakat menjadi suntikan semangat yang ia butuhkan. Ia tahu, mereka takkan bisa merobohkan tembok kecurangan seorang diri. Tapi dengan kekuatan solidaritas, mereka bisa menjadi angin perubahan yang mengikis bangunan busuk itu.
Bab 4: Perhitungan dan Kemenangan Moral
Hari pemilihan akhirnya tiba. Suasana Ponorogo dipenuhi euforia sekaligus ketegangan. Laras dan Bima tidak ikut menggunakan hak pilih mereka, tapi mereka tetap berada di kantor redaksi majalah, memantau proses pemungutan dan penghitungan suara.
"Tegang banget, Laras," Bima mengusap wajahnya yang berkeringat. "Kira-kira apa hasilnya ya?"
"Kita tetap berharap yang terbaik aja, Bim," Laras berusaha tegar, meski pikirannya tak bisa tenang.
Pukul 10 malam, hasil hitung cepat mulai bermunculan. Rian unggul sementara di beberapa daerah pemilihan, sesuai dengan dugaan mereka. Rasa kecewa sempat menyelimuti Laras dan Bima, namun mereka segera tersadar. Perjuangan mereka belum berakhir.
"Laras, ada perkembangan!" seru Bima tiba-tiba, matanya berbinar di depan layar komputer. " Bawaslu menemukan banyak kejanggalan dalam proses pemungutan suara di beberapa TPS yang dimenangkan Rian."
"Benarkah? Wah, ini bisa jadi titik balik!" Laras langsung menghubungi sumbernya di Bawaslu untuk mendapatkan informasi lebih detail.