"Ngomong-ngomong, kamu udah mantap belum mau pilih siapa?" tanya Laras sambil menggigit martabak manisnya.
"Belum," Bima menggeleng. "Masih menimbang. Tapi yang pasti, aku nggak mau golput lagi kayak Pemilu kemarin."
"Bagus dong!" Laras menyemangatinya. "Ingat, suara kamu berharga, Bim. Jangan sia-siakan."
Tiba-tiba, sorot lampu panggung beralih ke arah mereka. Calon anggota DPRD Kota yang sedang berpidato, seorang pengusaha muda bernama Rian, menatap mereka dengan senyum lebar.
"Hai para pemuda! Kalian adalah harapan masa depan bangsa! Jangan biarkan suara kalian hilang! Mari bersama kita wujudkan Ponorogo yang lebih maju dan sejahtera!"
Tepuk tangan menggema, para pendukung Rian bersorak sorai. Laras dan Bima saling berpandangan, tatapan mereka penuh tanda tanya. Ada sesuatu yang janggal dalam pidato Rian, seolah ada yang disembunyikan di balik senyum ramah dan janji manisnya.
"Menarik nih," bisik Laras ke Bima. "Kayaknya ada cerita di balik senyum manis calon yang satu ini."
"Bener banget," Bima menyetujui. "Kayaknya bakal seru kalau kita gali lebih dalam tentang dia."
Dengan semangat detektif yang berkobar, Laras dan Bima menghabiskan malam itu mengamati gerak-gerik Rian dan pendukungnya. Bisikan gelisah di benak Laras tak lagi sekedar gelisah, tapi menjadi panggilan untuk menguak kebenaran di balik hiruk pikuk pemilu. Simfoni suara demokrasi telah dimulai, dan Laras tak ingin menjadi pendengar pasif. Dia ingin menjadi pemain, mengubah alunan suaranya menjadi sebuah investigasi yang mampu menggugah kesadaran masyarakat.
Bab 2: Jejak Digital dan Aroma Kecurigaan
Sinar matahari pagi mengintip melalui celah jendela kamar kost Laras, membangunkannya dari tidur yang tak nyenyak. Semalaman ia disibukkan dengan menjelajah dunia maya, membedah jejak digital Rian, sang calon anggota DPRD Kota yang menarik perhatiannya.