"Hmm... ada yang janggal," gumam Laras sambil membaca artikel demi artikel tentang Rian. Sosok pemuda ramah nan ambisius itu kerap tampil di berbagai acara sosial, namun jejak rekamnya di bidang politik masih samar-samar.
"Rian ini pendatang baru di dunia politik, Lar. Dulu dia lebih dikenal sebagai pengusaha muda yang sukses," sahut Bima yang baru saja masuk ke kamar Laras, secangkir kopi hangat di tangannya.
"Nah, itu dia masalahnya, Bim. Kenapa pengusaha sukses tiba-tiba terjun ke politik? Apa motivasinya sebenarnya?" Laras menyerup kopi, pikirannya terus berputar mencari benang merah.
"Mungkin pengin ngebesarin pengaruhnya?" Bima menduga-duga.
"Bisa jadi. Tapi ada yang lebih ganjil lagi," Laras menatap layar laptopnya, menunjukkan foto Rian berdampingan dengan beberapa pejabat daerah. "Lihat nih, beberapa foto ini diambil sebelum Rian resmi mencalonkan diri. Kok dia bisa kenal sama pejabat-pejabat ini ya?"
"Wah, menarik nih. Jangan-jangan dia punya bekingan kuat di pemerintahan?" Bima ikut tertarik, matanya menyorot foto-foto tersebut.
"Itu yang perlu kita cari tahu," Laras mengepalkan tangannya, semangat detektifnya semakin meluap. "Kita perlu bicara langsung sama orang-orang yang kenal Rian dari dekat."
Hari-hari berikutnya Laras dan Bima disibukkan dengan wawancara. Mereka menemui teman masa kuliah Rian, mantan rekan bisnisnya, bahkan para pedagang kecil yang pernah dibantu Rian dalam program CSR perusahaannya. Setiap potongan informasi mereka kumpulkan, berharap bisa merangkai gambaran yang lebih jelas tentang sosok Rian yang sebenarnya.
"Dari obrolan sama temen kuliahnya, sepertinya Rian emang ambisius banget," Bima bercerita sambil menuangkan air putih ke gelasnya. "Dia selalu ngomongin pengin jadi orang sukses dan punya pengaruh."
"Trus dari mantan rekan bisnisnya gimana?" Laras bertanya, tak sabar mendengar informasi terbaru.
"Ngakunya sih Rian orang yang visioner dan dermawan. Tapi ada yang bilang dia juga lihai lobi sana-sini, suka memanfaatkan koneksi buat keuntungan bisnisnya."