Bab 1: Bisikan Gelisah di Tengah Keramaian
Langit Ponorogo sore itu dicat dengan gradasi jingga kemerahan, seolah enggan melepaskan panas mentari yang perlahan tenggelam. Hiruk pikuk keramaian pasar malam menyambut kedatangan Laras, langkahnya diiringi alunan dangdut koplo yang meledak-ledak dari warung tenda. Namun, di balik keramaian itu, Laras tak kuasa mengabaikan bisikan gelisah yang mengendap di benaknya.
Sebagai jurnalis investigasi muda, Laras tengah menyelami pusaran Pemilu 2024. Lima kotak suara, lima pertarungan, serasa beban yang tak ringan di pundaknya. Capres-cawapres, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota, masing-masing janji manis para kandidat berseliweran di layar kaca dan media sosial.
"Hei Laras! Ngapain bengong aja, sini gabung!" sapa Bima, aktivis muda yang kerap menjadi partner diskusi Laras. Bima meraih gelas berisi es teh manis dan menyerahkannya pada Laras.
"Mikirin Pemilu, Bim. Rasanya makin panas aja suasana politiknya," sahut Laras, menyerup tehnya pelan.
"Wah, pantes aja muka kamu kusut kayak baju belum disetrika," goda Bima sambil terkekeh.
"Bukan urusan muka, Bim. Tapi ini soal masa depan bangsa loh! Gimana nasib kita kalau salah pilih?" Laras menatap serius ke arah panggung kecil tempat para calon anggota DPRD Kota beradu pidato.
"Betul juga sih," Bima menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tapi jujur aja, bingung milih siapa. Janji semua manis, tapi mana yang beneran bisa dipegang?"
"Nah, itu dia masalahnya!" seru Laras, semangatnya kembali menyala. "Makanya tugas kita sebagai warga negara yang kritis ya cari tau sebanyak-banyaknya. Jangan cuma dengerin janji doang, tapi rekam jejak dan program mereka juga harus dibedah."
Diskusi mereka terhenti oleh teriakan penjual martabak manis. Bima tak kuasa menahan godaan, memesan dua porsi untuk mereka santap sambil melanjutkan obrolan.