Mohon tunggu...
El Sabath
El Sabath Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

"Akar sosial adalah masyarakat dan kajemukan, dan "Fenomena Sosial Di dasarkan pada gambaran nilai normatif Individu, terhadap ruang interaktif relasi sosial, hal yang mendasar adalah sosial sebagai fenomena individu yang tidak terlepas dari sumberdaya, yang relatif dan filosofis, dan apakah ranah sosial adalah sesuatu yang sesuai makna filosofis, atau justru gambaran dari kehampaan semata, yang tidak dapat di ukur sikap atau ruang lingkup sosialkah, yang berarti suatu ilutrasi pamplet kekacauan revolusi massa, atau komunisme historis dalam sejarah pergerakan politik?"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Asas Konsekuensi dalam Philosofy of Etics, Menyoal Paradigma Ushul 'Annahyu Lil, Wujubi' sebagai Presfektif Mendasar Hukum Islam

10 November 2024   03:11 Diperbarui: 10 November 2024   04:16 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dialektika Nahi dan Amar: Analisis Metodologis dalam Perspektif Ushul Fiqh.


Abstrak.

Esai ini mengkaji hubungan dialektis antara konsep larangan (nahi) dan perintah (amar) dalam metodologi hukum Islam (ushul fiqh). Fokus utama penelitian ini adalah menganalisis bagaimana suatu larangan secara inherent mengandung kewajiban untuk melakukan tindakan yang berlawanan, dengan mengacu pada kaidah ushul " " (larangan terhadap sesuatu merupakan perintah untuk melakukan kebalikannya).

Pendahuluan.

Dalam diskursus ushul fiqh, pemahaman tentang nahi (larangan) dan amar (perintah) memainkan peran fundamental dalam proses istinbath al-ahkam (penggalian hukum). Kedua konsep ini tidak hanya berfungsi sebagai indikator hukum yang berdiri sendiri, tetapi juga memiliki hubungan dialektis yang kompleks yang mempengaruhi cara kita memahami dan mengimplementasikan hukum Islam.

Landasan Teoretis.

1. Definisi dan Ruang Lingkup.

Menurut Al-Ghazali dalam "Al-Mustashfa" (1993: 415), nahi didefinisikan sebagai:
" "
(Perkataan yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan bentuk yang khusus)

Sementara itu, Al-Amidi dalam "Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam" (1982: 232) mendefinisikan amar sebagai:
" "
(Tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi)

2. Hubungan Dialektis Nahi-Amar.

Imam As-Syatibi dalam "Al-Muwafaqat" (1997: 159) menjelaskan bahwa setiap larangan dalam syariat mengandung dua dimensi:
1. Dimensi preventif ( )
2. Dimensi konstruktif ( )

Analisis Metodologis.

1. Struktur Logika Hukum.

Dalam "Rawdhat al-Nazhir" (1981: 378), Ibnu Qudamah mengemukakan bahwa hubungan nahi-amar memiliki struktur logis yang dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Premis Mayor: Setiap larangan mengandung tuntutan untuk meninggalkan
b) Premis Minor: Meninggalkan yang dilarang adalah wajib
c) Kesimpulan: Larangan menghasilkan kewajiban untuk melakukan kebalikannya

2. Implikasi Praktis.

Al-Qarafi dalam "Al-Furuq" (1998: 243) mengklasifikasikan implikasi praktis dari hubungan nahi-amar dalam beberapa kategori:

1. Implikasi Langsung ()
   - Larangan zina Kewajiban menjaga kesucian
   - Larangan riba Kewajiban bertransaksi halal

2. Implikasi Tidak Langsung ( )
   - Larangan berlebihan Kewajiban moderasi
   - Larangan kemungkaran Kewajiban amar ma'ruf

Aplikasi Kontemporer

Dalam konteks modern, pemahaman tentang hubungan nahi-amar memiliki relevansi penting dalam berbagai isu:

1. Lingkungan
   - Larangan merusak alam Kewajiban konservasi

2. Ekonomi
   - Larangan monopoli Kewajiban kompetisi sehat

3. Sosial
   - Larangan diskriminasi Kewajiban kesetaraan

Hubungan dialektis antara nahi dan amar dalam ushul fiqh menunjukkan kompleksitas dan kedalaman metodologi hukum Islam. Pemahaman ini tidak hanya penting secara teoretis tetapi juga memiliki implikasi praktis yang signifikan dalam pengembangan hukum Islam kontemporer.

Dalam khazanah pemikiran Islam, ilmu Ushul Fiqh merupakan metodologi yang menjembatani antara teks wahyu dengan realitas kehidupan manusia. Di antara pembahasan yang menarik dalam disiplin ini adalah dialektika antara konsep larangan (nahi) dan kewajiban (wujub), yang terangkum dalam kaidah " " (an-nahyu lil wujubi) atau dalam elaborasi yang lebih lengkap " " (an-nahyu 'an asy-syai' amrun bi dhiddihi).


Dimensi Filosofis Kaidah.

Imam Al-Syafi'i dalam magnum opusnya "Al-Risalah" menggarisbawahi bahwa setiap ketentuan syariat memiliki dimensi positif dan negatif. Ketika Allah SWT dan Rasul-Nya melarang sesuatu, secara implisit terkandung perintah untuk melakukan kebalikannya. Ini bukan sekadar permainan logika, melainkan mencerminkan kesempurnaan syariat dalam membimbing kehidupan manusia.

Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam "Al-Mustashfa", logika ini berakar pada pemahaman bahwa syariat tidak pernah hadir dalam ruang kosong. Setiap larangan (nahi) memiliki 'illat (alasan hukum) yang bermuara pada perlindungan terhadap maslahat dan pencegahan mafsadat. Ketika syariat melarang sesuatu, secara otomatis menghadirkan kewajiban untuk mengambil sikap atau tindakan yang berlawanan dengan larangan tersebut.

Aplikasi dalam Konteks Hukum.

Hal, pertama, ialah kapasitas dalam "Dimensi Ibadah" di dalam konteks ibadah, kaidah ini memiliki aplikasi yang sangat jelas. Misalnya, larangan shalat bagi wanita yang sedang haid tidak hanya bermakna "jangan shalat", tetapi mengandung kewajiban untuk meninggalkan shalat selama masa haid. Imam An-Nawawi dalam "Al-Majmu'" menegaskan bahwa meninggalkan shalat dalam kondisi ini adalah wajib, bukan sekadar pilihan. 

Kedua, kemudian, yakni, "Dimensi Muamalah", di dalam ranah koridor pemikiran, muamalah (interaksi sosial-ekonomi), aplikasi kaidah ini lebih kompleks dan dinamis. Larangan terhadap riba, misalnya, tidak hanya bermakna "jangan bertransaksi dengan riba", tetapi mengandung kewajiban untuk, dalam rangka seperti, mencari alternatif transaksi yang halal, atau mengembangkan sistem ekonomi berbasis bagi hasil, dan atau, membangun kesadaran ekonomi syariah. 

Dan, ketiga, "Dimensi Akhlak" seperti, terkait konteks ini sebagai presfektif, oleh, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam "I'lam Al-Muwaqqi'in" memberikan perspektif menarik tentang aplikasi kaidah ini dalam dimensi akhlak. Larangan bersikap sombong, misalnya, secara otomatis mewajibkan sikap tawadhu' (rendah hati). Larangan berbohong mengandung kewajiban untuk berkata jujur.

Implikasi Metodologis.

Pemahaman terhadap kaidah ini memiliki implikasi metodologis yang signifikan dalam pengembangan hukum Islam, yakni beberapa ihwalnya adalah, pertama, pada "Dimensi Preventif dan Konstruktif" dimana artikulasinya adalah setiap larangan dalam syariat memiliki dua dimensi, yakni, terkait, "Preventif" atau "Mencegah" kerusakan (dar'u al-mafasid), dan pada poin keduanya adalah pola "Konstruktif" yakni, artinya "Membangun" kebaikan (jalbu al-mashalih). 

Kemudian kedua, adalah, "Gradasi Hukum". Dalam hal ini, Imam Al-Qarafi dalam "Al-Furuq" menjelaskan bahwa tingkat kewajiban meninggalkan sesuatu yang dilarang sejajar dengan tingkat keharaman melakukannya. Ini menghasilkan gradasi hukum yang rinci:

  • Haram Wajib ditinggalkan
  • Makruh Sunah ditinggalkan
  • Mubah Pilihan bebas

Relevansi Kontemporer.

Dalam konteks modern, kaidah ini memiliki relevansi yang semakin penting. Terutama, dalam isu lingkungan. Bahwa, larangan merusak lingkungan mengandung kewajiban untuk, melakukan konservasi, mengembangkan teknologi ramah lingkungan, dan, membangun kesadaran ekologis. 

Kedua, yakni, isu sosial, bahwa, larangan diskriminasi mengandung kewajiban untuk, mempromosikan kesetaraan, membangun sistem yang adil, dan mengembangkan budaya inklusif. Dan, ketiga, isu ekonomi, seperti, larangan monopoli dan eksploitasi mengandung kewajiban untuk, mengembangkan sistem ekonomi berkeadilan, membangun mekanisme pasar yang sehat, dan, melindungi kepentingan publik. 

Kaidah "An-Nahyu Lil Wujubi" merupakan bukti kekayaan metodologis dalam ilmu Ushul Fiqh. Melalui kaidah ini, kita dapat memahami bahwa syariat Islam tidak sekadar sistem larangan, melainkan panduan komprehensif yang memadukan aspek preventif dan konstruktif dalam membimbing kehidupan manusia. 

Dalam dimensi etika Islam, kaidah " " (an-nahyu lil wujubi) tidak sekadar berbicara tentang aspek legal-formal, tetapi menyentuh lapisan terdalam dari konstruksi moral dan etika manusia. Paradigma ini meniscayakan sebuah pemahaman bahwa setiap larangan (nahi) membawa konsekuensi etis yang menuntut tanggung jawab moral dalam bentuk kewajiban (wujub) yang bersifat kontradiktif terhadap larangan tersebut.


Fondasi Etis dalam Konstruksi Kaidah

1. Dimensi Moralitas Intrinsik.

Imam Al-Ghazali dalam "Ihya Ulumuddin" menguraikan bahwa setiap perintah dan larangan dalam syariat memiliki dimensi batin yang berkaitan dengan pembentukan karakter (tahdzib al-akhlaq). Ketika syariat melarang suatu perbuatan, secara intrinsik mengandung pembentukan nilai moral yang berlawanan dengan perbuatan tersebut. Misalnya:

- Larangan berbohong Pembentukan kejujuran

- Larangan kikir Kultivasi kedermawanan

- Larangan zalim Pengembangan keadilan

2. Aspek Pertanggungjawaban Moral.

Menurut Imam Al-Qusyairi dalam "Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah", setiap larangan syariat membawa konsekuensi ganda:

a) Pertanggungjawaban lahiriah ( )

   - Meninggalkan perbuatan yang dilarang

   - Melaksanakan kewajiban yang kontradiktif

b) Pertanggungjawaban batiniah ( )

   - Membentuk kesadaran moral

   - Mengembangkan kematangan spiritual

Dimensi Konsekuensial dalam Paradigma Etis.

Pengertian, ke-satu, adalah, Hierarki Konsekuensi. Ulama, seperti, Al-'Izz ibn 'Abd As-Salam dalam "Qawa'id Al-Ahkam" memaparkan hierarki konsekuensi etis. Yang pertama, "Konsekuensi Individual" ( ) Dalam, artian, pembentukan karakter personal, dan pengembangan kesadaran moral individu. 

Kedua, "Konsekuensi Sosial" ( ) yakni, harmonisasi hubungan sosial, dan, pembentukan tatanan masyarakat beretika. Ketiga, "Konsekuensi Universal" ( ) yakni, dalam, keseimbangan ekosistem moral, dan, harmonisasi hubungan manusia-alam. Kedua dalam konteks ini, mengenai, "Gradasi Tanggung Jawab Etis". 

Imam Al-Syatibi dalam "Al-Muwafaqat" mengklasifikasikan gradasi tanggung jawab etis. Hal, pertama, "Dharuriyyat" () yang adalah, merupakan, konsekuensi fundamental, dan berkaitan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Kedua, "Hajiyyat" () yakni, konsekuensi sekunder yang menyangkut kesempurnaan nilai moral. Dan, hal yang ketiga, "Tahsiniyyat" () adalah, konsekuensi tersier, berkaitan dengan keindahan akhlak.

Implementasi Paradigmatik.

Hal ke-satu, yakni, di dalam "Konteks Personal" dalam implementasi kaidah ini dalam konteks personal meliputi

Pertama, Transformasi Diri, yakni dari larangan berbuat buruk menuju kewajiban memperbaiki diri, dan, dari pencegahan keburukan menuju kultivasi kebaikan. Kedua, "Pengembangan Kesadaran" yang berada pada pemahaman mendalam tentang konsekuensi tindakan, dan terkait, internalisasi nilai-nilai moral

Hal, ke-dua, yakni, "Dalam Konteks Sosial" yang berlaku pada dimensi, "Tanggung Jawab Kolektif" pada, pengertian, penciptaan lingkungan yang mendukung nilai moral, dan, pembangunan sistem sosial yang beretika.

Kemudian, "Transformasi Struktural" yang melibatkan, pengembangan institusi yang mendukung moralitas, dan pembaruan sistem yang mengedepankan etika.

Implikasi Kontemporer.

Persoalan, pertama dalam dimensi pembahasan ini adalah, terkait, "Etika Lingkungan" dimana, larangan merusak alam mengandung konsekuensi etis, semisal dalam perkara berikut yakni, kewajiban konservasi aktif, atau, pengembangan kesadaran ekologis, dan, pembangunan berkelanjutan.

Baik, pun pada dimensi "Etika Profesional" bahwa, larangan praktik tidak etis dalam profesi meniscayakan, akan pengembangan kode etik komprehensif, dalam, implementasi standar profesional tinggi, dan, kultivasi integritas profesional. Serta, dalam kategori klasifikasi, "Etika Digital" yang, di dalam era digital, paradigma ini relevan untuk, sebagai, pengembangan etika bermedia sosial, perlindungan privasi digital, dan, pembangunan literasi digital beretika. 

Tinjauan etis terhadap kaidah "An-Nahyu Lil Wujubi" menunjukkan bahwa paradigma ini bukan sekadar rumusan hukum, melainkan konstruksi moral yang komprehensif. Ia menyediakan kerangka konseptual untuk memahami dan mengimplementasikan tanggung jawab etis dalam berbagai konteks kehidupan.


Menelusuri Dimensi Etis: Perjalanan Makna dalam Kaidah An-Nahyu Lil Wujubi.

Dalam hamparan pemikiran Islam, kita menemukan jejak-jejak kebijaksanaan yang tersirat dalam setiap kaidah ushul fiqh. Salah satu yang menarik untuk ditelusuri adalah kaidah "An-Nahyu Lil Wujubi" - sebuah prinsip yang mengajarkan bahwa di balik setiap larangan, tersembunyi sebuah kewajiban yang harus ditunaikan.

Membuka Tirai Makna.

Bayangkan sejenak ketika seorang ibu melarang anaknya bermain api. Larangan ini bukanlah sekadar kata "jangan", melainkan mengandung pesan mendalam tentang kewajiban menjaga keselamatan diri dan orang lain. Demikianlah, dalam setiap larangan syariat, kita menemukan lapisan-lapisan makna yang lebih dalam dari sekadar "tidak boleh".

Imam Al-Ghazali, dalam renungan spiritualnya, mengajak kita memahami bahwa setiap larangan adalah pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kehendak Ilahi. Ketika Allah melarang kebohongan, sesungguhnya Dia sedang membimbing kita menuju kewajiban menegakkan kejujuran. Ketika syariat melarang kezaliman, ia sebenarnya sedang mengajarkan kewajiban menegakkan keadilan.

Merajut Benang Etika.

Dalam tenunan kehidupan sehari-hari, kaidah ini mewujud dalam berbagai bentuk. Seorang pedagang yang memahami larangan menipu pembeli, tidak hanya berhenti pada "tidak menipu", tetapi melangkah lebih jauh dengan membangun kejujuran dalam setiap transaksi. Seorang guru yang menyadari larangan berlaku kasar kepada murid, mengembangkan kasih sayang dan kesabaran dalam mendidik.

Imam Al-Qusyairi menganalogikan proses ini seperti seorang pematung. Ketika ia memahat batu, setiap bagian yang dibuang (larangan) sebenarnya sedang membentuk keindahan yang diinginkan (kewajiban). Setiap "tidak" dalam syariat adalah langkah menuju "ya" yang lebih bermakna.

Dimensi Personal dan Sosial.

Dalam ruang personal, kaidah ini mengajarkan bahwa transformasi diri tidak cukup hanya dengan menghindari keburukan. Seseorang yang berhenti dari kebiasaan buruk harus mengisinya dengan kebiasaan baik. Layaknya ruang kosong yang harus diisi, jiwa yang ditinggalkan keburukan harus diisi dengan kebaikan.

Ibn 'Atha'illah As-Sakandari dalam Hikam-nya menggambarkan:
"Jika engkau tinggalkan maksiat karena takut hukuman, itu adalah taubatnya orang awam. Namun jika engkau tinggalkan maksiat dan menggantinya dengan ketaatan karena malu kepada Allah, itulah taubatnya orang khawas (special)."

Dalam dimensi sosial, pemahaman ini melahirkan gerakan-gerakan positif. Larangan merusak lingkungan tidak berhenti pada "tidak merusak", tetapi berlanjut pada gerakan pelestarian alam. Larangan berbuat zalim berkembang menjadi gerakan penegakan keadilan sosial.

Resonansi Kontemporer.

Di era digital ini, kaidah tersebut menemukan relevansi barunya. Larangan menyebarkan hoaks tidak cukup dengan "tidak menyebar", tetapi harus diimbangi dengan kewajiban menyebarkan informasi yang benar dan bermanfaat. Larangan cyberbullying harus dibarengi dengan gerakan menciptakan ruang digital yang aman dan positif.

Dalam dunia bisnis modern, larangan eksploitasi pekerja tidak berhenti pada standar upah minimum, tetapi berkembang menjadi konsep kesejahteraan karyawan yang komprehensif. Larangan pencemaran lingkungan berevolusi menjadi gerakan ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan.

Epilog: Merajut Masa Depan.

Memahami An-Nahyu Lil Wujubi bukan sekadar exercise intelektual, tetapi panduan praktis dalam membangun peradaban. Setiap larangan yang kita pahami adalah batu pijakan menuju kewajiban yang lebih mulia. Seperti malam yang mengandung janji fajar, setiap "tidak" dalam syariat mengandung "ya" yang lebih cerah.

Sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin Rumi:
"Di balik setiap 'tidak' ada 'ya' yang menunggu
Seperti malam yang menyimpan cahaya
Dalam setiap larangan tersembunyi perintah
Untuk menjadi lebih dekat kepada-Nya"

Mungkin inilah esensi terdalam dari kaidah An-Nahyu Lil Wujubi - bahwa dalam setiap larangan, tersembunyi undangan untuk menjadi version terbaik dari diri kita. Setiap "jangan" adalah panggilan untuk "jadilah", setiap penolakan adalah pintu menuju penerimaan yang lebih tinggi.

---

*Diadaptasi dari pemikiran para ulama klasik dan kontemporer, termasuk Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin), Al-Qusyairi (Ar-Risalah), Ibn 'Atha'illah (Al-Hikam), dan berbagai sumber kontemporer tentang etika Islam.*

Referensi.

1. Al-Ghazali, Abu Hamid. (2010). Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar Al-Ma'rifah.

2. Al-Qusyairi, Abdul Karim. (1989). Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah. Cairo: Dar As-Sya'b.

3. Ibn 'Abd As-Salam, Al-'Izz. (1991). Qawa'id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam. Damascus: Dar Al-Qalam.

4. Al-Syatibi, Ibrahim. (1997). Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah. Cairo: Dar Ibn Affan.

5. Ibn Miskawayh. (1994). Tahdzib Al-Akhlaq. Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah.

6. Al-Maward. (1989). Adab Ad-Dunya wa Ad-Din. Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah.

7. Ibn Al-Qayyim. (2003). Madarij As-Salikin. Beirut: Dar Al-Kitab Al-'Arabi.


1. Al-Ghazali, Abu Hamid. (1993). Al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.

2. Al-Amidi, Saif al-Din. (1982). Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Al-Maktab al-Islami.

3. As-Syatibi, Ibrahim. (1997). Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah. Kairo: Dar Ibn Affan.

4. Ibn Qudamah, Abdullah. (1981). Rawdhat al-Nazhir wa Jannat al-Manazhir. Riyadh: Jami'at al-Imam.

5. Al-Qarafi, Ahmad ibn Idris. (1998). Al-Furuq. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.

6. Al-Zarkashi, Badr al-Din. (1994). Al-Bahr al-Muhit fi Ushul al-Fiqh. Kuwait: Wizarat al-Awqaf.

7. Ibn Taymiyyah, Ahmad. (1995). Majmu' al-Fatawa. Madinah: Majma' al-Malik Fahd.# Kaidah Ushulul Fiqh Dalam Logika Ushul Mengenai Kewajiban Dan Larangan - Anhyu Lil Wujubi.
1. Al-Syafi'i, Muhammad ibn Idris. (1940). Al-Risalah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi.

2. Al-Ghazali, Abu Hamid. (1993). Al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.

3. An-Nawawi, Yahya ibn Syaraf. (1997). Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab. Damascus: Dar Al-Fikr.

4. Ibn Qayyim Al-Jauziyyah. (1991). I'lam Al-Muwaqqi'in 'an Rabb Al-'Alamin. Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah.

5. Al-Qarafi, Ahmad ibn Idris. (1998). Al-Furuq. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.

6. Al-Syatibi, Ibrahim. (1997). Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah. Kairo: Dar Ibn Affan.

7. Ibn Taymiyyah, Ahmad. (1995). Majmu' al-Fatawa. Madinah: Majma' al-Malik Fahd.# Tinjauan Segi Etis: Asas Konsekuensi Dalam Paradigma Kaidah Ushul - Anahyu Lil Wujubi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun