Sebuah persaingan yang cukup sengit nan seru ketika itu, Lia. Aku tidak pernah merasa mampu bersaing dengan mereka. Lalu aku melanjutkan belajar ke luar pulau untuk membekali diri sebelum terjun dalam persaingan tingkat lanjut melawan para pengincar cintamu. Ah, tetap saja semua akhirnya kalah oleh takdir masing-masing. Edi-lah pemenangnya.
“Asalkan kamu tahu, Oji, justru kamu dulu pemenangnya. Itulah tadi kubilang sampai-sampai ibumu khawatir. Ya, khawatir kalau kamu memilih menikah di usia muda belia.”
Aku terhentak. Aku tidak percaya itu, Lia.
“Aku sengaja menunjukkan surat dari cowok itu agar kamu tahu aku seperti apa di hadapanmu. Aku ingin melihat reaksimu, Oji.”
“Tapi kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?”
“Ya, sekarang kamu tahu juga, dulu aku takut pada ibumu, Oji.”
“Takut? Mengerikan, ya, ibuku?” Seketika aku ternganga.
“Ibumu selalu menyindir aku apabila sedang ngobrol dengan ibuku. Biarkan Oji menamatkan belajarnya, begitu kata ibumu. Ibuku pun menyampaikan itu padaku hingga aku sempat bertengkar dengan ibuku.”
Oh! Memang, ada kekhawatiran seorang ibu ketika anaknya sedang berada pada masa puber membara, terlebih aku selalu berkunjung ke rumahmu sepulang sekolah dan kulanjutkan selepas magrib. Orang-orang kampung kita pun terbiasa dengan menikah muda.
“Mengapa baru kini juga kamu ungkapkan, Lia?”
“Dengar dulu, Oji sang keras kepala. Kamu akhirnya melanjutkan belajar ke luar pulau adalah upaya ibumu untuk memisahkan kita.”