Aku melangkah, menuju keberadaanmu di situ. Sedikit agak cemas karena wajah Andi, Budi, Charli, dan Deni bergantian melintas di kepala seakan tengah melancarkan ancaman . Belum lagi apa kelak kata orang tua-orang tua kampung kita, yang kebetulan melihat kamu dan aku berayun-ayun berdua. Bisa-bisa nanti sampai ke telinga ibuku…
Ah, biarlah. Toh ini hari terakhir. Toh besok dan entah kapan lagi aku bisa duduk berdua denganmu di perayun biru itu.
“Eh, Oji. Tumben sore sudah kemari?”
“Kebetulan saja.”
“Sini, duduk.”
“Iya, terima kasih.”
Kamu bergeser ke satu bagian paling tepi. Dan aku pun duduk di bagian tepi lainnya. Biarlah udara menyekati diriku dan dirimu seperti kemarin-kemarin. Mungkin di tengah antara aku dan kamu terisi oleh hantu mencadin yang sok rajin, datang kesorean.
“Besok aku hendak merantau ke luar pulau, Lia.”
“Mendadak sekali!” Kamu menghadap aku dengan wajah beraneka makna.
Pada sore itu pula aku bisa menggenggam jemarimu. Perayun biru bisa menjadi saksi apabila suatu waktu kelak aku atau kamu ingkari atau pungkiri.
*