Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu Pun Berayun-ayun di Perayun Biru

29 April 2016   22:36 Diperbarui: 30 April 2016   11:36 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Anton cerai!” Spontan saja sebutanku. Tradisi orang kampung kita, Lia, harus spontan mengucap itu.

“Itu bintang jatuh, Oji. Katakan apa keinginanmu. Lekaslah!”

“Aku ingin Lia jadi istriku.” Aku menoleh ke kamu.

“Gila kamu ini!” Kamu tetap memandang langit.

Mungkin benar ucapanmu itu, Lia. Aku memang gila, tepatnya tergila-gila padamu. Kalau ibuku tahu, bisa kacau kelak. Pasalnya, ibuku masih berharap aku melanjutkan belajar hingga tamat kelak.

“Kini apa keinginanmu, Lia, cepatlah!” Pandanganku beralih ke langit.

“Jadi puteri istana para bangsawan.”

Aku kembali menoleh ke kamu. Dalam benakku, sungguh jauh anganmu seakan sulit dijangkau oleh kuda terbangku, meski kita sama-sama orang kampung. Seperti juga tadi, ‘anton cerai’, yang dalam tradisi kampung kita harus spontan diucapkan karena benda di langit yang jatuh pertanda anton sedang menuju.

Kamu ingat, ‘kan, apa itu anton? Kuberi tahu lagi, anton itu sejenis makhluk halus berupa kepala terbang, Lia. Hantu berkepala manusia tanpa badan itu muncul untuk menghisap darah. Harus disebutkan ‘anton cerai’ supaya anton terberai-berai di langit dan gagal sampai ke tempat tujuan jahatnya.

*

Di perayun biru kamu sedang khusyuk membaca novel karya seseorang dari negeri para penenggak tuak. Sinar mentari sore terhalang oleh kerapatan pohon di belakangmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun