“Anton cerai!” Spontan saja sebutanku. Tradisi orang kampung kita, Lia, harus spontan mengucap itu.
“Itu bintang jatuh, Oji. Katakan apa keinginanmu. Lekaslah!”
“Aku ingin Lia jadi istriku.” Aku menoleh ke kamu.
“Gila kamu ini!” Kamu tetap memandang langit.
Mungkin benar ucapanmu itu, Lia. Aku memang gila, tepatnya tergila-gila padamu. Kalau ibuku tahu, bisa kacau kelak. Pasalnya, ibuku masih berharap aku melanjutkan belajar hingga tamat kelak.
“Kini apa keinginanmu, Lia, cepatlah!” Pandanganku beralih ke langit.
“Jadi puteri istana para bangsawan.”
Aku kembali menoleh ke kamu. Dalam benakku, sungguh jauh anganmu seakan sulit dijangkau oleh kuda terbangku, meski kita sama-sama orang kampung. Seperti juga tadi, ‘anton cerai’, yang dalam tradisi kampung kita harus spontan diucapkan karena benda di langit yang jatuh pertanda anton sedang menuju.
Kamu ingat, ‘kan, apa itu anton? Kuberi tahu lagi, anton itu sejenis makhluk halus berupa kepala terbang, Lia. Hantu berkepala manusia tanpa badan itu muncul untuk menghisap darah. Harus disebutkan ‘anton cerai’ supaya anton terberai-berai di langit dan gagal sampai ke tempat tujuan jahatnya.
*
Di perayun biru kamu sedang khusyuk membaca novel karya seseorang dari negeri para penenggak tuak. Sinar mentari sore terhalang oleh kerapatan pohon di belakangmu.