Sekilas kenangan itu mau berkompromi dengan waktu. Aku pun menuju mereka berdua. Ibumu tersenyum sewaktu melihat kedatanganku.
“Lia tidak bisa mudik, Ji. Sibuk mengurusi anaknya. Apalagi hidup di kota besar.”
“Sekarang sudah berapa anaknya, Bik?”
“Empat, Ji.”
“Wah, bisa tambah nih.”
“Jangan. Jaman kini beda dengan jaman dulu. Jaman bibik dulu, bisa beranak tujuh, semua kebutuhan saban bulan terjamin pula oleh perusahaan timah. Apalagi hanya tinggal di kampung begini.”
“Beda jaman, beda repotnya, ya, Bik?”
“Ya itulah. Suaminya juga hanya pegawai biasa. Tapi kamu kapan?”
Aku tidak bisa menjawab dengan jujur, Lia, karena hatiku mendadak kembali berayun-ayun dengan bayangmu, dengan waktu-waktu yang aku sendiri tidak mampu mengaturnya.
*
Aku sendirian mengisi udara dan perayun biru yang sunyi. Bulan larut dalam dekap selimut langit. Sayang kamu tidak di sini bersamaku. Sayangnya aku dan kamu tidak bisa saling mengisahkan hari-hari yang lengang serta rasa yang meradang.