Kita sempat bertemu sesaat pada waktu meninggalnya ibumu beberapa waktu lalu, menyusul ayahmu satu setengah tahun silam. Wajahmu sembab dan selalu basah. Aku tidak tega melihatmu begitu. Tapi, yang paling mengganggu pandanganku adalah suamimu yang selalu dekat dengan posisimu.
Sempat pula kuingat, apabila bertemu ibumu, beliau selalu memberi tahu bahwa kamu sering menanyakan aku; apa kabarku dan di mana kini aku berada.
“Lia tidak percaya kalau kamu sudah kembali di kampung ini, Ji. Bibik sudah berkali-kali meyakinkan dia, Oji tidak akan pergi lagi. Seandainya kalian, ah, senang nian hati bibik, Ji. Kalian pasti memilih tinggal di sini, di kampung sendiri.”
Ah, berayun-ayunlah dirimu dalam ingatanku. Berayun-ayunlah waktu-waktu lalu. Rindu yang siap menerkamku dengan manyun. Ah, andai kita dulu benar-benar dalam satu ikatan, Lia.
*
Takdir, sudah pasti, itu yang tidak menjadikan aku dan kamu mewujudkan suatu ikatan jiwa. Perayun biru, paling tidak, bisa bersaksi tentang perjalanan tautan rasa yang tak terucapkan dari ranum bibirmu meski aku berusaha untuk merangkum sejengkal waktu pertemuan demi pertemuan.
“Kamu kurang berusaha, Oji,” katamu terakhir dalam perbincangan via ponsel sebelum kamu menikah. “Padahal kamu orangnya keras kepala.”
“Tentu saja keras kepala karena aku memang mencintaimu, Lia. Sebelum puber sampai tengah panas-panasnya. Bisa kamu bayangkan, ‘kan?”
“Itulah keras kepalamu sampai-sampai ibumu khawatir. Tapi kamu kurang berusaha.”
Aku tidak habis mengerti, kurang berusahaku yang bagaimana, sih. Kuingatkan lagi, usaha-usahaku untuk selalu dekat denganmu, dengan seluruh keluargamu. Keluargamu selalu kuanggap sudah seperti keluargaku, bahkan aku berusaha untuk tidak bermasalah dengan keluargamu karena aku sudah menjadikan semuanya adalah bagian dari hidupku, Lia.
Dan kusebut nama-nama pengincar cintamu. Mereka memang gigih, mendatangimu karena kamu-lah kembang kampung kita, bahkan ada yang sempat membuatku cemburu ketika kamu tunjukkan sepucuk surat dari seorang pesaing.